Iqtishodia
Melihat Konsep Nusantaranomics dalam Industri Bordir
Industri kreatif mempunyai pasar yang sangat luas di masyarakat Indonesia.
OLEH Jono M Munandar (Staf pengajar senior di Departemen Manajemen dan anggota Senat FEM IPB University)
Pendekatan pembangunan ekonomi yang berangkat dari akar tradisi dan sosial budaya bangsa Indonesia dipopulerkan dengan nusantaranomics. Ide nusantaranomics ini akan membentuk struktur hubungan yang mengarah kepada bisnis berkelanjutan.
Nusantaranomics sudah lama diterapkan oleh para pengusaha di Indonesia dalam menghasilkan produk-produknya tiap daerah. Masing-masing daerah mempunyai kearifan (nilai) lokal yang bersumber dari aspek religiusitas dan budaya. Jika dipahami lebih lanjut, kearifan lokal ini bermuara pada tiga aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.
Ketiga hal tersebut terintegrasi dalam sustainability business yang terjadi di masyarakat tradisional Indonesia pada umumnya. Integrasi dalam pola nusantaranomics ini penting dipahami karena mengandung pola nilai-nilai religi dan budaya yang sebenarnya mengarahkan kepada sustainability business. Hal ini sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh PBB untuk dicapai hingga tahun 2030, terutama tujuan nomor 8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi); nomor 11 (kota dan komunitas yang berkelanjutan); dan nomor 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.
Nusantaranomics diterapkan pada industri kreatif Indonesia yang tumbuh hampir di semua tingkat perekonomian, baik besar, menengah, dan kecil. Industri kreatif mempunyai keunikan yang sebagian besar didukung oleh perpaduan faktor sosial, budaya bangsa, kearifan lokal, kelestarian lingkungan dan ciri khas lainnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu, industri kreatif mempunyai pasar yang sangat luas di masyarakat Indonesia, bahkan mampu menembus pasar global. Kemenparekraf dalam Statistik Ekonomi Kreatif mencatat bahwa, kontribusi dari ekspor ekonomi kreatif (ekraf) terhadap ekspor nasional adalah 19,6 miliar dolar AS atau sebesar 11,9 persen pada tahun 2019.
Subsektor fashion berkontribusi paling tinggi yaitu sebanyak 62,04 persen, diikuti dengan kerajinan sebanyak 30,95 persen, kuliner sebanyak 6,76 persen, dan subsektor ekraf lainnya sebanyak 0,25 persen. Dalam tulisan ini akan dibahas kiat suksesnya industri kerajinan bordir Indonesia di pasar domestik maupun internasional.
Bordir atau sulaman adalah hiasan yang dibuat di atas kain atau bahan-bahan lain dengan jarum jahit, benang, potongan logam, mutiara, manik-manik, bulu burung dan payet. Ada dua teknik dalam membordir yaitu bordir manual dan bordir digital. Bordir manual menggunakan mesin khusus bordir yang dikendalikan oleh tangan manusia, sedangkan bordir digital menggunakan mesin khusus bordir yang dihubungkan ke komputer yang sudah di setting program untuk membordir sesuai dengan desain yang telah ditentukan.
Industri bordir indonesia memiliki daya tarik tersendiri dalam sulaman bordir, sehingga memberikan peluang yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional, di antaranya yaitu bordir Indonesia sebagian besar dibuat secara manual dengan menggunakan tangan sehingga memberikan nilai lebih terhadap hasil akhir dan motif bordir tradisional Indonesia diambil biasanya dari seni dan budaya setiap daerah yang memiliki karakter tersendiri (Kemendag 2013).
Industri bordir Indonesia yang sukses menembus pasar internasional dan lokal dengan kearifan lokalnya adalah industri bordir Tasikmalaya. Tasikmalaya merupakan daerah sentra produksi bordir di Provinsi Jawa Barat dan mendapat julukan sebagai kota bordir.
Kegiatan usaha bordir dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat dan kegiatan ini sudah berlangsung sejak lama. Pasar ekspor bordir telah mampu menembus pasar internasional seperti Arab Saudi, Singapura, Malaysia, dan Afrika. Sementara pasar lokal yang sudah dijangkau oleh industri bordir ini adalah Pasar Tanah Abang, Pasar Tegal Gubug, Cirebon dan daerah-daerah lainnya di Pulau Jawa maupun luar Jawa seperti Pasar Turi, Surabaya, Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah, Pulau Batam, Makassar, dan Pontianak, dan kota-kota lainnya di Indonesia (Jamilah 2016).
Kesuksesan industri bordir Tasikmalaya ini tidak terlepas dari upayanya yang senantiasa menjaga keakuratan kualitas produk agar konsumennya menjadi loyal; memproduksi dan mendistribusikan bordir secara terus menerus dengan prinsip kerja keras dan ikhlas; berbagi keuntungan dan ilmu dengan pekerja yang berdampak pada loyalitas pekerja dan industri; serta memberi bantuan ke pekerja dan konsumen agar pekerja dan konsumen menjadi loyal.
Nilai-nilai kearifan lokal (agama dan budaya) yang dikembangkan oleh masyarakat industri bordir di Tasikmalaya sejak 1920-an sampai saat sekarang, mampu dalam menghadapi penetrasi ekonomi pasar dan setidaknya mampu mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat pedesaan. Nilai-nilai tersebut meliputi sifat amanah, tawakal, silih asih-asah-asuh, bageur, sauyunan, pundung, dan etika Sunda.
Sifat amanah diwujudkan di antaranya dengan menjaga keakuratan kualitas produk yang berdampak pada loyalitas konsumen dan pekerja. Lalu, sifat tawakal diwujudkan di antaranya dalam produksi dan pendistribusian hasil bordir dilakukan secara terus menerus dan menyerahkan hasil rezekinya kepada Allah.
Selanjutnya, nilai moral Sunda silih asih-asah-asuh diwujudkan di antaranya dengan berbagi keuntungan dan ilmu dengan pekerja yang berdampak pada loyalitas pekerja terhadap industri. Lalu, nilai moral Sunda lainnya adalah bageur yang diwujudkan di antaranya dengan memberi bantuan ke pekerja atau pelanggan yang berdampak pada loyalitas konsumen dan pekerja.
Dalam menjalankan bisnisnya, pengusaha industri bordir Tasikmalaya mengedepankan sikap kebersamaan yang kuat (sauyunan), tidak menonjolkan diri dan cenderung bersifat kolektif. Hal tersebut ditunjukkan dengan pola hubungannya dengan pekerja yaitu pekerja dianggap sebagai mitra, bukan sebagai buruh.
Pengusaha juga cenderung lebih memilih mengalah daripada harus berkonflik dengan pekerjanya, atau disebut dengan pundung (Jamilah 2016). Pengusaha bordir Tasikmalaya juga berpegang pada etika Sunda yang tidak dapat dilepaskan dari pandangan dunia dan pandangan hidup orang Sunda.
Pandangan hidup orang Sunda mencakup keberadaan manusia sebagai pribadi; hubungan manusia dengan masyarakat; hubungan manusia dengan alam; dan hubungan manusia dengan Tuhan (Warnaen et al. 1987 dalam Jamilah 2016).
Selain industri bordir Tasikmalaya, tas bordir Aceh kelompok usaha Bersa Ingin Jaya yang dibina oleh Bank Indonesia (BI) cabang Lhokseumawe sejak tahun 2011 juga telah berhasil mengekspor produknya ke Eropa, Amerika Serikat, Brazil, Italia, Denmark, Spanyol, dan Turki. Produknya adalah dompet, tas, mukena, baju muslim, jilbab, sandal Aceh, peci, sarung bantal, hiasan dinding, baju koko, dan baju wanita untuk pesta dengan harga Rp 50 ribu-Rp 250 ribu.
Omset yang didapatkan per bulannya mencapai Rp 150 juta. Tas bordir Aceh ini memiliki ciri khas dibandingkan dengan produk bordir serupa pesaing lain untuk menarik konsumen yaitu menggunakan motif khas Aceh dan cara pembuatannya yang dijahit secara manual (strategi bauran produk berbasis motif dan handmade).
Industri bordir lainnya yang berhasil memasarkan produknya ke pasar internasional adalah bordir manual Ambun Suri yang berdiri sejak tahun 1975 di Bukittinggi dan telah berhasil mengekspor produknya ke Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia sejak tahun 1980. Suksesnya industri bordir ini di pasar domestik maupun internasional tidak terlepas dari upayanya dalam mengikuti berbagai pameran di dalam maupun luar negeri; senantiasa menjaga kualitas produknya dengan tetap menggunakan mesin tradisional dalam proses bordir; dan memiliki motif bentuk kerancang yang khas dan teknik pembuatan kerancang yang berbeda dari pesaing.
Motif yang digunakan sebagian besar berbentuk naturalis berupa flora yaitu bunga, daun, putik dan rumput-rumput serta fauna seperti burung cendrawasih, kupu-kupu, capung, dan lainnya. Bordir manual Ambun Suri memproduksi baju kurung, baju kebaya, koko, jilbab, selendang, taplak meja, sarung bantal, sprei, mukena sajadah dan yang lainnya sebanyak 100-200 pcs/bulan dan dijual dengan harga mulai dari Rp 150 ribu sampai dengan jutaan rupiah.
Dari uraian di atas, kesimpulannya dapat diringkas menjadi beberapa hal penting terkait bisnis, yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya, namun juga mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Secara ringkas dapat dilihat
Hal tersebut menjadi contoh keberhasilan kerajinan lokal Indonesia di pasar domestik hingga pasar internasional, dan sangat ramah lingkungan karena bahan baku yang digunakan dapat didaur ulang.
Indonesia masih memiliki banyak kerajinan lokal dengan ciri khas daerah yang perlu digali dan dikembangkan. Inilah peran pemerintah daerah dalam membantu pengembangan usaha (khususnya usaha kecil, menengah, dan mikro). Misalnya, memfasilitasi pengusaha untuk mempromosikan produknya dengan mengadakan pameran, mencari mitra bisnis atau pihak ketiga yang dapat terus menjual atau mengekspor produk di tempat baru, dan memberikan pelatihan kepada pekerja mengenai kualitas produk dan layanan.
Upaya lainnya adalah =menyediakan infrastruktur yang memadai untuk mendukung usaha. Karena selain bermanfaat bagi pemasukan ekonomi negara, industri kreatif ini juga menjadi wadah untuk menumbuhkembangkan kreativitas bagi pendiri bisnis dan juga pekerjanya, serta solusi bagi banyaknya jumlah tenaga kerja usia produktif di Indonesia, sekaligus membantu mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.