Iqtishodia
Memutus Lingkaran Setan Kemiskinan
Lingkaran setan dari kemiskinan dapat diilustrasikan dari sisi permintaan, penawaran, dan keterbelakangan manusia serta sumber daya alam.
Oleh Dr. Sahara (Direktur Eksekutif International Trade Analysis and Policy Studies dan Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB University)
Kemiskinan merupakan salah satu hambatan dalam upaya pembangunan ekonomi suatu negara. Kemiskinan menciptakan kesenjangan yang mencolok di antara masyarakat, mengurangi kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama pangan, tempat tinggal yang layak, serta akses pendidikan dan layanan kesehatan.
Jika situasi ini dibiarkan tanpa penanganan, dapat mengakibatkan berbagai masalah sosial, seperti tingginya tingkat kriminalitas, gangguan kesehatan fisik dan mental, serta ketegangan dalam aspek sosial dan politik di wilayah yang menjadi kantong kemiskinan.
Gangguan-gangguan tersebut tentu saja akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, Todaro dan Smith (2011) menyarankan agar pembangunan ekonomi tidak hanya menitikberatkan pada pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga mengarah pada usaha konkret dalam mengurangi tingkat pengangguran, kemiskinan, dan disparitas antarwilayah.
Pada tingkat global, komitmen untuk mengurangi kemiskinan telah diwujudkan melalui Sustainable Development Goals (SDGs). Pada 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkenalkan rencana pembangunan global yang terdiri atas 17 tujuan dan 169 target.
SDGs mencakup tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Mengingat seriusnya tantangan kemiskinan yang dihadapi oleh banyak negara, eliminasi kemiskinan menjadi salah satu target utama dalam SDGs-1 (Target 1-No Poverty).
Secara spesifik, SDGs-1 bertujuan untuk menghapus kemiskinan dalam segala bentuknya dengan memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, usia, disabilitas, atau status sosial-ekonomi, memiliki akses setara terhadap kebutuhan dasar, seperti pangan, perumahan, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Di Indonesia, langkah-langkah untuk mengurangi tingkat kemiskinan terus diimplementasikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Data tentu saja menjadi basis yang penting dalam upaya penurunan kemiskinan tersebut terutama untuk mendapatkan informasi berapa garis kemiskinan di Indonesia, komoditas-komoditas apa saja yang menjadi penyumbang garis kemiskinan, serta di provinsi-provinsi mana yang tingkat kemiskinannya masih tinggi sehingga perlu menjadi prioritas utama dalam penanganan kemiskinan. Tulisan ini akan menjawab tiga pertanyaan utama tersebut.
Terkait dengan data, dalam menentukan garis kemiskinan, Badan Pusat Statistik (2023) mengadopsi pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) yang mencakup komoditas makanan dan non-makanan. Berdasarkan pendekatan tersebut, penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, yaitu nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.
Pada Maret 2023, secara rata-rata garis kemiskinan Indonesia adalah Rp 569.299 per kapita per bulan (daerah perkotaan) dan Rp 525.050 per kapita per bulan (wilayah perdesaan). Secara rata-rata, garis kemiskinan di tingkat nasional pada Maret 2023 adalah Rp 550.458 per kapita per bulan.
Garis kemiskinan tersebut sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan Maret 2022, yaitu Rp 521.494 per kapita per bulan di daerah perkotaan dan Rp 484.209 daerah pedesaan.
Garis kemiskinan juga berbeda antarprovinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Komoditas penyumbang garis kemiskinan di bagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok makanan dan nonmakanan. Pada Maret 2023, sumbangan garis kemiskinan makanan (GKM) jauh lebih besar dibandingkan garis kemiskinan bukan makanan (GKBM), yaitu 73 persen versus 27 persen di wilayah perkotaan dan sebesar 76 persen versus 24 persen di wilayah pedesaan.
Di wilayah pedesaan terdapat lima besar komoditas yang memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan, yaitu beras dengan kontribusi sebesar 23,73 persen, rokok keretek filter (11,34 persen), telur ayam ras (3,34 persen), daging ayam ras (2,93 persen), dan gula pasir (2,35 persen). Sementara, di wilayah perkotaan, lima besar komoditas yang memberikan sumbangsih terbesar terhadap garis kemiskinan, yaitu beras (19,35 persen), rokok keretek filter (12,14 persen), daging ayam ras (4,53 persen), telur ayam ras (4,22 persen), dan mi instan (2,56 persen).
Sementara itu, pada kelompok bukan makanan, lima besar komoditas yang memberikan sumbangan besar terhadap garis kemiskinan di pedesaan dan perkotaan adalah perumahan (8,36 persen di pedesaan versus 8,81 persen di perkotaan), bensin (3,78 persen vs 3,96 persen), listrik (1,78 persen vs 3,10 persen), pendidikan (1,19 persen vs 1,94 persen), dan perlengkapan mandi (1,14 persen vs 1,29 persen).
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (2023), persentase penduduk miskin di Indonesia sepanjang periode 2019–2021 cenderung mengalami peningkatan. Pada 2019, persentase penduduk miskin di tingkat nasional sebesar 9,41 persen, meningkat menjadi 10,14 persen pada 2021. Kenaikan tingkat kemiskinan tersebut disebabkan oleh pandemi Covid-19, di mana pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi menjadi -2,07 persen (2020) dan hanya sebesar 3,70 persen (2021).
Pada 2022-2023 sejalan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan di Indonesia turun dari 9,54 persen pada Maret 2022 menjadi 9,36 persen pada Maret 2023.
Jika ditinjau dari masing-masing provinsi, pada Maret 2023 terdapat 16 provinsi yang persentase penduduk miskinnya di atas nasional, beberapa di antaranya adalah Papua (26,03 persen), Papua barat (20,49 persen), Nusa Tenggara Timur (19,96 persen), Maluku (16,42 persen), Gorontalo (15,15 persen), Aceh (14,45 persen), dan Bengkulu (14,04 persen). Sebagian besar provinsi tersebut berada di kawasan timur Indonesia (KTI).
Tingginya angka kemiskinan di Indonesia terutama di 16 provinsi tersebut menuntut perhatian yang serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterlambatan dalam penanganan kemiskinan akan menyebabkan lingkaran setan kemiskinan akan semakin sulit untuk diputuskan.
Program-program pengentasan kemiskinan terutama terkait upaya untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) menjadi penting untuk dilakukan. Seperti diketahui, IPM mencakup tiga dimensi utama, yaitu kesehatan (dihitung melalui angka harapan hidup), pendidikan (dihitung melalui angka melek huruf dan angka partisipasi sekolah), dan pendapatan (dihitung melalui pendapatan riil per kapita). Menurut Todaro dan Smith (2006), pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas dari angkatan kerja.
Status kesehatan yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi bagi para pekerja dalam melakukan pekerjaan dan mengurangi waktu kerja yang hilang karena sakit yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dari para pekerja tersebut. Pendidikan adalah hal yang pokok dalam menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga. Pada dasarnya, seseorang yang berpendidikan lebih berpeluang memperoleh pendapatan yang lebih tinggi (Todaro dan Smith 2006).
Rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) akan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja dari penduduk. Produktivitas yang rendah berakibat pada rendahnya perolehan pendapatan sehingga meningkatkan kemiskinan dan menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung.
Menurut Jhingan (2016), lingkaran setan dari kemiskinan dapat diilustrasikan dari sisi permintaan, penawaran, dan keterbelakangan manusia dan sumber daya alam. Dari sisi permintaan, produktivitas pekerja yang rendah akan menyebabkan rendahnya pendapatan yang diperoleh yang pada gilirannya akan menyebabkan rendahnya tingkat permintaan para pekerja terhadap barang dan jasa. Rendahnya permintaan pekerja terhadap barang dan jasa menyebabkan keengganan bagi perusahaan untuk melakukan investasi yang kemudian menyebabkan rendahnya akumulasi kapital di suatu wilayah dan seterusnya akan berpengaruh kembali kepada rendahnya produktivitas.
Lingkaran setan dari sisi penawaran mengindikasikan bahwa produktivitas yang rendah berdampak pada menyebabkan pendapatan riil rendah. Tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan rendahnya tingkat investasi dan akumulasi kapital yang kemudian berdampak kembali pada rendahnya produktivitas.
Selanjutnya, lingkaran setan yang ketiga berkaitan dengan keterbelakangan manusia dan sumber alam. Dalam konteks ini, pengembangan sumber alam pada suatu negara tergantung pada kemampuan produktif manusianya. Jika penduduknya terbelakang dan buta huruf, memiliki keterampilan yang terbatas, lemah dalam penguasaan teknologi, pengetahuan dan aktivitas kewiraswastaan, maka sumber daya tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.
Ketidakmampuan untuk memanfaatkan sumber daya akan menyebabkan keterbengkalaian sumber daya yang pada gilirannya akan menyebabkan keterbelakangan sumber daya manusia.
Selain upaya peningkatan IPM, upaya lain yang perlu dilakukan untuk menurunkan angka kemiskinan adalah pengendalian inflasi dari komponen volatile food (pangan bergejolak), yaitu beras, telur ayam ras, daging ayam ras, gula pasir, bawang merah dan cabai. Pada komoditas nonmakanan, harga perumahan, listrik, bahan bakar, dan biaya pendidikan perlu mendapat perhatian utama.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, semakin mahal harga makanan dan nonmakanan akan semakin tinggi garis kemiskinan sehingga berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin. Upaya pengendalian harga tersebut tentu saja erat kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan infrastruktur yang dapat memperlancar arus keluar masuk barang di wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.