Inovasi
Menakar Untung Rugi Kedatangan Starlink
Ada tiga level model bisnis menjadi satu dalam Starlink.
Konektivitas internet, saat ini sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Berbagai upaya untuk mampu mewujudkan konektivitas dari ujung Sabang hingga Merauke pun terus digeber.
Mulai dari, menggelar base transceiver station (BTS) di daerah 3T (Tertinggal, Terluar, dan Terdepan), hingga menghadirkan layanan satelit melalui Satria-1. Kini, salah satu upaya lain untuk mewujudkan konektivitas adalah menggandeng perusahaan satelit besutan Elon Musk, Starlink untuk beroperasi di Indonesia.
Rencana ini pun memunculkan banyak pertanyaan. Akan seperti apa dinamika persaingan layanan internet di Indonesia, setelah kehadiran Starlink? Konversasi pun tak jarang kian meluas, hingga kekhawatiran akan terancamnya kedaulatan digital Indonesia dan kemungkinan adanya spionase.
View this post on Instagram
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Henri Subiakto mengatakan semua orang sekarang tahu bahwa Starlink bukan sekadar satelit semata-mata. Jenis satelit Starlink adalah satelit low earth orbit.
Satelit ini tidak perlu lagi menggunakan satelit Bumi yang harus dioperasikan oleh perusahaan di luar satelit. Artinya, Henri menjelaskan, koneksi internetnya dapat langsung ke masyarakat dengan alat sederhana.
“Itu menyebabkan Starlink memiliki fungsi bukan hanya sekadar satelit, tapi dia juga merupakan flying ISP (internet service provider). Nah berarti apa? Tidak perlu lagi perusahaan ISP ketika menggunakan Starlink, itu yang pertama. ‘Oh ini bagus dong’ kan begitu kan, karena masyarakat bisa mendapatkan pelayanan-pelayanan,” ujar Henri.
Selain menjadi flying ISP, Starlink juga dapat menjadi layanan media over the top (OTT) karena Starlink memiliki perusahaan X. Sebagai informasi, Starlink dan X sama-sama dimiliki oleh Elon Musk.
Menurut Henri, ini berarti ada tiga level model bisnis menjadi satu dalam Starlink. Yaitu, satelit, ISP, dan OTT. Di dalam regulasi Indonesia, tiga hal tersebut memiliki regulasi sendiri-sendiri.
Dia menyebutkan, kalau bicara tentang ISP, itu ada turunan dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang persoalan pelayanan-pelayanan ISP. Begitu pula ketika Starlink menjadi OTT sama dengan katakanlah Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lainnya, itu juga diregulasi dengan PP tentang PSE. “Itu menjadi harus kita perhatikan karakteristik perbedaannya,” kata Henri.
Di satu sisi, Henri mengungkapkan, Indonesia memang membutuhkan sebuah teknologi seperti ini. Tetapi di sisi lain, teknologi seperti ini masuk ke Indonesia tanpa ada kontrol negara.
Contohnya, dalam UU ITE semua PSE tidak boleh menyebarkan konten-konten yang melanggar perundang-undangan, tidak boleh menyebarkan pronografi, tidak boleh menyebarkan penipuan dan perjudian.
View this post on Instagram
“Kalau dia itu langsung dikelola oleh perusahaan asing yang regulasinya berbeda dengan Indonesia. Amerika pornografi diperbolehkan, di Amerika judi diperbolehkan, di Amerika yang namanya hoaks saja juga bagian dari kebebasan berekspresi,” ujar Henri.
Memang ada hal yang sama, misalnya ujaran kebencian untuk rasis, Henri melanjutkan. Tetapi itu pun berbeda ukurannya. “Ini menyebabkan kita tidak akan punya kontrol terhadap konten-konten. Sementara kalau dia masih pakai sistem lama, katakanlah Facebook, Twitter, itu bagaimanapun juga Facebook harus tunduk kepada Undang-Undang ITE, ya kan? Karena mereka diwajibkan punya kantor di Indonesia. Nanti bagaimana dengan ini? Ini jadi persoalan baru yang harus kita hati-hati,” katanya.
Belajar dari Ukraina-Rusia
Henri kemudian mengatakan tentang Ukraina dalam perang Ukraina-Rusia bisa bertahan selama ini karena sistem komunikasi tentara-tentara Ukraina di-backup oleh Starlink, sehingga mereka bisa berkomunikasi. Sementara itu, Rusia sudah tidak memanfaatkan satelit-satelit yang mereka gunakan dahulu.
Menurut dia, ini juga bisa dianalogikan di Indonesia kalau ada pergolakan di Papua dan Starlink masuk Indonesia. “Itu akan ke-back up gerakan Papua Merdeka itu oleh Starlink. Boleh dong kita curiga, apalagi ini kan Amerika di belakangnya. Sekali lagi, teknologi itu di dalam politik itu bukan sekedar pilihan bebas, tapi konsekuensinya sangat tinggi,” Henri mengingatkan.
Dia menjelaskan lebih lanjut, ketika memilih teknologi Amerika, seperti cloud AS, komunikasi AS, dan X, maka data-data kita diregulasi dengan cara-cara serta aturan Amerika. Contoh aturan tersebut, lanjut Hendri, yaitu perusahaan-perusahaan Amerika tidak boleh melayani aparatur penegak hukum negara lain.
“Jadi ketika kita ini menggunakan teknologi Amerika, kemudian OTT-nya juga OTT Amerika, ISP-nya ISP Amerika, berlakulah undang-undang Amerika, tapi bekerjanya di sini. Itulah makanya kenapa lalu kita mengkritisi terhadap Starlink ini,” kata Henri.
Di sisi lain, Henri mengungkapkan infrastruktur yang sudah Indonesia bangun juga sebenarnya mampu untuk pelayanan internet, walaupun mungkin tidak serevolusioner Starlink. Indonesia sudah memiliki satelit SATRIA, ada Palapa Ring, dan sebagainya.
“Itu kenapa tidak kita manfaatkan secara optimal, dioptimalisasi. Saya malah khawatir ini, ini kepentingan-kepentingan asing masuk dan kalau Starlink ini dimanfaatkan tidak hati-hati itu justru merugikan kedaulatan Indonesia, terutama adalah integrasi Indonesia, persatuan Indonesia, kesatuan Indonesia sebagai sebuah negara besar,” ujar dia.
Teknologi itu di dalam politik itu bukan sekedar pilihan bebas, tapi konsekuensinya sangat tinggi.HENRI SUBIAKTO, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Harap-Harap Cemas Menunggu Sepak Terjang Starlink di Tanah Air
Starlink menargetkan peluncuran layanan telepon satelit komersial pada 2024.
SELENGKAPNYA