Gaya Hidup
Aneka Warna Cerita Rekan Difabel Berkarya di Dunia Kerja
Di dunia kerja, peluang difabel dan nondifabel setara.
Perjalanan Hilarius Keduru, seorang difabel daksa asal Nusa Tenggara Timur, tidak sepenuhnya mulus dalam berikhtiar mencari kerja. Pria 35 tahun yang akrab disapa Hilari itu pernah menjadi korban penipuan ketika melamar kerja di sebuah perusahaan.
Berawal ketika Hilari mendapat surel informasi lowongan pekerjaan dari situs Indeed. Lantas, dia mendapat panggilan wawancara di sebuah perusahaan logistik untuk posisi dengan iming-iming gaji UMR dan berbagai tunjangan.
Setibanya di lokasi, Hilari diminta membayar uang administrasi sebesar Rp 1,6 juta. "Saya bayar saja karena berpikir saya bisa mendapat pekerjaan yang lumayan. Setelah itu saya diarahkan ke tempat lain, tapi saya sangat kecewa karena posisinya berbeda dengan lamaran awal yang disampaikan," kata Hilari.
Ketika dia mencoba mengonfirmasi kepada pihak yang melakukan wawancara kerja, panggilannya tidak pernah diangkat sampai sekarang. Dia pun akhirnya tidak melanjutkan pekerjaan itu dan mengikhlaskan uang Rp 1,6 juta yang pernah dibayarkan.
Padahal, perjalanan untuk menuju ke lokasi itu juga cukup penuh perjuangan. Kala itu, Hilari berdomisili di Balaraja, Tangerang, sementara panggilan wawancara di Duren Sawit, Jakarta Timur. Setelah itu, dia diminta pergi ke Kalideres, Jakarta Barat, untuk seminar pembekalan.
"Setelah dari Kalideres, saya diarahkan ke Ciputat Selatan dan saya belum ke sana sampai sekarang. Menyakitkan," ujar Hilari. Saat mencari tahu nama perusahaan, dia juga tidak menemukannya di mesin peramban Google.
Hilari berharap pemerintah memberantas situs bodong yang menjerat calon pekerja difabel. Sebab, penipuan itu telah memakan banyak korban. Salah satu teman Hilari mengalami hal sama.
Namun, kemudian ia dikuasai emosi akibat kecewa karena uangnya terkuras dan tak disalurkan ke perusahaan yang jelas hingga menikam pewawancara kerja dan kini terjerat hukum. "Sebenarnya kami juga tidak tahu sistem mereka seperti apa. Kalau tidak ada legalitas, mending dibasmi. Buat teman-teman difabel juga jangan terprovokasi info di medsos dan janji-janji manis sebuah pekerjaan," kata Hilari.
Akan tetapi, ada juga sejumlah pengalaman kerja Hilari yang menyenangkan dan membuat nyaman. Pada 2018, Hilari menjalani pelatihan jurusan logam di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas (BBRVPD) Cibinong, Bogor.
Dari sana, dia ditempatkan menjalani pelatihan di PT EDS Manufacturing Indonesia (PT PEMI) Balaraja, Tangerang. Hilari lantas dikontrak selama empat tahun. "Pengalamannya sangat bagus, fasilitas juga sangat bagus. Ada jalur akses disabilitas. Kami tidak dipandang sebagai difabel, dianggap sama seperti yang lain," ujarnya.
Dia salut sebab selama pandemi Covid-19 perusahaan tidak melakukan PHK karyawan, termasuk karyawan difabel. Adapun Hilari berpindah dari perusahaan karena kontrak kerja yang berakhir dan dia ingin mengeksplor kemampuannya dan mencari pengalaman baru.
Hilari berasal dari Desa Wangkung di Pulau Flores. Pada 2015, dia mengalami kecelakaan sepeda motor dan mengakibatkan tulang paha bagian kanan patah. Sekarang, Hilari bisa berjalan tanpa alat bantu, tapi sedikit berjinjit.
Beranjak dari PT PEMI, ia kemudian melamar di bagian sales marketing Bank CIMB Niaga. Dia sengaja tidak melamar melalui jalur difabel. Bahkan, baru sebulan kemudian atasan maupun rekan kerjanya mengetahui bahwa dirinya adalah difabel, dan sangat respek kepadanya.
"Itu juga habis kontrak. Sekarang baru masuk dua bulan saya kerja di PT Bestprofit bagian bursa berjangka. Nyaman, aman, ketersinggungan tidak ada. Lihat kaki saya pincang, memang sempat ada yang tanya, saya jelaskan kalau saya kecelakaan," ujar Hilari.
Dia mengaku terharu ketika momen briefing, manajer mengingatkan rekannya agar berhati-hati saat bertugas bersama Hilari. Pria itu tidak menyangka perhatian atasan dan rekan-rekannya begitu besar.
Dia pun merasa di dunia kerja, peluang difabel dan nondifabel setara, tapi bergantung niat dan kemauan. "Perusahaan tidak melihat fisik, tapi melihat kemampuan dan keberanian. Di surat lamaran yang saya kirimkan pun saya terbuka menuliskan bahwa saya memiliki keterbatasan fisik. Tapi, secara logika, saya bisa beradaptasi. Saya masih mampu berpikir sebagaimana orang pada umumnya," kata Hilari.
Hilari merupakan anggota Yayasan Diffable Action Indonesia (YDAI) sejak 2016. Dia juga pernah mengikuti Pelatihan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI di Pusat TIK Nasional (Pustiknas) Kominfo RI di Ciputat.
Perusahaan tidak melihat fisik, tapi melihat kemampuan dan keberanian.HILARIUS KEDURU, Difabel daksa asal Nusa Tenggara Timur.
Fasilitas yang Terus Dilengkapi
Sejak 2017, Ria, seorang difabel daksa asal Palembang, Sumatra Selatan, bekerja sebagai karyawan di Bank Rakyat Indonesia. Saat ini, perempuan 28 tahun itu tergabung di Divisi Fixed Assets Management & Procurement BRI di Jakarta.
Kepada Republika, Ria bercerita bahwa dirinya masuk BRI saat masih menjalani pelatihan di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas (BBRVPD) Cibinong, Bogor. Kini, balai tersebut telah berganti nama menjadi Sentra Terpadu Inten Soeweno.
"Pada saat itu, ada vendor SDM mencari pekerja disabilitas untuk BRI. Pihak vendor datang langsung ke tempat pelatihan kami dan sudah konfirmasi ke kepala pembina di sana dan memang kami dikhususkan untuk menjadi pekerja yang bekerja di BRI," ujar Ria.
Ria menyebut, hal tersebut merupakan pelaksanaan peraturan pemerintah, yakni UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas. Regulasi itu mengharuskan BUMN memperkerjakan karyawan disabilitas minimal dua persen dari jumlah karyawan yang ada.
Hingga kini, Ria mengaku betah bekerja di BRI. Dia merasa nyaman karena lingkungannya seperti keluarga. "Enak, nyaman, tidak merasa kalau saya itu berbeda, karena perlakuan mereka itu sama. Yang jarang disadari, kalau melihat saya kesulitan, mereka tidak serta-merta membantu, tapi bertanya dulu," kata Ria.
Menurut Ria, difabel bisa melakukan banyak hal sendiri dan tidak selalu butuh dibantu. Karenanya, dia sangat mengapresiasi orang lain yang bertanya dulu sebelum menawarkan bantuan. Itu membuat Ria merasa dihargai. Karyawan difabel dan nondifabel pun punya porsi pekerjaan yang sama.
Ria senang karena karyawan lain yang nondifabel tidak menganggap karyawan difabel sebagai beban dan tidak mengucilkan. Perempuan berhijab itu selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan kantor, termasuk di forum focus group discussion (FGD) tahunan atau setiap ada sesi performance.
Terkait fasilitas kerja untuk difabel, Ria mengatakan, kantornya sudah menyediakan berbagai hal dengan baik. Mulai dari ramp (bidang miring pengganti tangga), lift, tempat wudhu ramah difabel, toilet khusus difabel, dan meja kerja yang disesuaikan dengan kondisi tiap difabel.
Seiring waktu, selalu ada perbaikan fasilitas sebab perusahan menanyakan kebutuhan para karyawan difabel serta terbuka untuk berbagai masukan. Ria mencontohkan, dahulu belum ada tempat parkir khusus difabel sehingga bagi difabel yang membawa kendaraan cukup kerepotan harus mengantre sangat lama.
"Karena kami menyuarakan dan BRI juga memfasilitasi, akhirnya parkirnya sekarang sudah enak," ujar Ria. Di kantor pusat BRI, Ria menyampaikan pekerja difabel (lintas divisi) berjumlah sekitar 26 orang. Data tersebut belum termasuk karyawan difabel di kantor cabang.
Kondisi difabel Ria disebabkan kecelakaan tunggal kendaraan roda dua. Dia menjalani amputasi di salah satu kakinya pada akhir 2014. Setelah selesai perawatan medis, pada 2015-2016 Ria mengikuti pelatihan di Budi Perkasa Palembang dengan jurusan komputer.
Kemudian, pada Febuari 2017 Ria melanjutkan pelatihan nasional di BBRPVD/Sentra Inten Suweno Cibinong dengan jurusan desain grafis. "Lama pelatihan di sana 10 bulan, tapi saya di bulan kesembilan masa pelatihan sudah bekerja di BRI," ujar Ria.
Untuk memfasilitasi karyawan difabel, balai pelatihan di Cibinong disebutnya sudah bekerja sama dengan pabrik-pabrik atau PT yang membutuhkan tenaga kerja disabilitas. Pada bulan kedelapan pelatihan, biasanya banyak perusahaan besar yang datang ke sana untuk mewawancarai pekerja disabilitas.
Ria pun ingin terus mengembangkan kemampuannya. Saat ini, dia bekerja sambil berkuliah, selain mengurus keluarga. Ibu dua anak itu kini menjalani kuliah semester tiga di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (UHAMKA).
"Semoga berjalan lancar terus, amin, biar bisa lulus tepat waktu," kata Ria yang juga merupakan anggota dari Yayasan Diffable Action Indonesia (YDAI).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Ujian SIM Difabel Satlantas Polres Bantul
27 warga difabel mengikuti ujian SIM D secara kolektif yang diinisiasi oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta.
SELENGKAPNYAMengenal Beragam Teknologi yang Hadir untuk Difabel Netra
Teknologi yang semakin canggih banyak digunakan membantu penyandang difabel netra.
SELENGKAPNYAPelatihan Membatik bagi Penyandang Disabilitas
Pelatihan sebaagai langkah pemberdayaan agar penyandang disabilitas bisa bersaing di dunia kerja.
SELENGKAPNYA