Gaya Hidup
Mengenal Apa Itu Uang Jemputan dalam Adat Minangkabau
Uang jemputan ini berlaku di wilayah Pariaman, wilayah pesisir pantai.
Beberapa waktu lalu, seorang calon pengantin wanita berinisial SIPS (25 tahun) diduga bunuh diri di sebuah kamar penginapan di Padang. Kasus meninggalnya SIPS ini viral dan menggegerkan jagat media sosial.
Narasi yang viral di media sosial mengungkapkan, SIPS datang ke Kota Padang untuk mengurus persiapan pernikahannya dengan seorang calon lulusan Akademi Kepolisian (Akpol). SIPS diduga nekat bunuh diri karena uang jemputan calon pengantin pria senilai Rp 500 juta. Namun, hal itu dibantah pihak keluarga korban bernama Rizki.
Untuk mengenal apa itu uang japuik atau uang jemputan, berikut penjelasan dari praktisi adat Syuhendri Dt Siri Maharajo. Syuhendri mengatakan, pada dasarnya masing-masing wilayah budaya di Minangkabau juga ada pada budaya lain dalam satu proses adat perkawinan memiliki khas. Menurut Syuhendri, ciri khas itulah yang menjadi simbol.
Kalau di Pariaman, Syuhendri menuturkan, penamaan simbol tersebut ada uang japuik dan baleh jalang. “Kalau di wilayah Darek pada umumnya dalam prosesi baraleknya, ada juga istilah manjapuik marapulai (mempelai laki-laki), namun tidak pakai uang, tapi pakai pasambahan (semacam perundingan di dalam adat)” ujar Syuhendri saat dihubungi oleh Republika, beberapa hari lalu.
Uang jemputan ini berlaku di wilayah Pariaman, wilayah pesisir pantai. Pariaman ini, menurut adat, adalah wilayah rantau Minangkabau.
Syuhendri menjelaskan, rantau yang dimaksudkan di sini merupakan wilayah perluasan adat secara ekonomi bagi masyarakat Minangkabau Darek (pegunungan). Sebagai wilayah perantauan uang japuik menjadi hal simbolis bagi masyarakat Pariaman sebagai subsidi untuk anak kemenakan mereka yang akan menjalani hidup berumah tangga.
Syuhendri menyebutkan, subsidi tersebut akan diperkuat dengan istilah baleh jalang, artinya pihak mempelai laki-laki juga menyiapkan sejumlah uang atau hal yang sudah disepakati untuk mengimbangi apa yang sudah disebut dengan uang jemputan tadi.
“Uang japuik dan baleh jalang menjadi dasar bagi mempelai baru untuk menjalani hidup bersama. Namun, sesuai perkembangan zaman, di masyarakat terjadi perubahan mindset terhadap hal ini, seolah-olah uang jemputan disesuaikan dengan tingginya pendidikan, jabatan, dan lain sebagainya. Sepanjang ini tidak pernah ada tragedi dalam soal ini. Kalau toh ada, paling riak-riak yang dapat terselesaikan secara mufakat,” kata Syuhendri.
Syuhendri kemudian mengungkapkan, uang jemputan pada dasarnya tidak selalu uang karena prinsip dari jemputan itu adalah untuk saling memuliakan. "Bila berkaitan dengan besaran, tentu saja tergantung musyawarah dalam keluarga," ujar dia.
Cara mencapai besaran uang jemputan juga berdasarkan gotong royong dalam keluarga. “Agaknya soal kegotongroyongan inilah yang menipis, menjadi tradisi uang japuik memunculkan ragam tafsir dalam masyarakat. Biasanya adat Pariaman tidak akan memberlakukan tata cara semacam ini bila perkawinan anak kemenakan mereka terjadi dengan orang dari luar adat Pariaman,” ujar dia.
Terkait bagaimana jika besaran uang jemputan tidak mencapai kesepakatan, Syuhendri mengatakan, sepanjang pengalaman yang terjadi selama ini, sangatlah jarang ditemukan ketidaksepakatan. “Uang jemputan bukan hal yang kaku. Namun, sebelum dibuat menjadi putusan, dia akan disepakati setidaknya oleh kedua belah pihak. Jalan tengah dengan musyawarah akan mencairkan segala persoalan,” katanya.
Di sisi lain, ada yang mengatakan kalau calon pengantin pria benar-benar cinta kepada calon pengantin perempuan, dia akan diam-diam memberikan uang japuik ke calon pengantin perempuan untuk nantinya diberikan kepada keluarga pihak laki-laki. Ketika ditanya, apakah boleh seperti itu? Syuhendri menyampaikan, secara teknis tidak masalah karena uang jemputan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang harus diumumkan dan menjadi komoditas orang banyak.
Menurut Syuhendri, masalah selama ini dalam masyarakat adalah uang jemputan itu seakan telah melekat dengan kemuliaan dan harga diri yang ditentukan dalam besaran uang yang diterima. Oleh karena itu, uang jemputan telah kehilangan makna simbolis sebagai alat untuk saling memuliakan.
“Saat ini, yang terjadi adalah tafsiran secara verbal pada masalah ini, seolah nilai dan derajat mempelai telah ditentukan dengan jumlah uang jemputan. Hal ini kembali pada mindset yang terjadi dalam masyarakat dengan pemahaman serta pengetahuan adat yang beragam, ditambah dengan segala perubahan yang ada,” ujar dia.
Uang jemputan bukan hal yang kaku.SYUHENDRI DT SIRI MAHARAJO, Praktisi Adat.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Cara Unik Pemuda Tasik Mencegah Orang Bunuh Diri
Breakroom Tasik juga menyediakan jasa deep talk atau konseling.
SELENGKAPNYAFenomena Bunuh Diri di Tengah Generasi Stroberi
Mereka dianalogikan sebagai stroberi yang gampang mengerut karena tak dapat menghadapi tekanan sosial
SELENGKAPNYAMelawan Depresi Penyebab Bunuh Diri
Allah Ta'ala memang sudah berjanji akan memberikan kepada manusia beragam rasa di dalam jiwa.
SELENGKAPNYA