Gaya Hidup
Tumpukan PR untuk Gelaran Konser
Di era sekarang, cyber crime sedang marak yang memanfaatkan gelombang antusiasme penonton.
Pascapandemi, para pecinta musik memang benar-benar dimanja dengan kehadiran berbagai pertunjukkan, baik dari artis dalam negeri maupun internasional. Sayangnya, tak semua pertunjukkan musik sukses menghibur pengunjung.
Banyak pula yang berakhir kekecewaan. Akibatnya beragam, mulai dari tiket palsu, ketidaknyamanan ketika acara berlangsung, atau ricuh selama pertunjukan. Belakangan ini, promotor Indonesia pun kian disorot publik karena menyelenggarakan konser yang menuai beragam berita tidak menyenangkan.
Beberapa hari lalu, konser band rock asal Inggris Bring Me the Horizon (BMTH) terpaksa berhenti mendadak dan pembatalan konser hari kedua. Tak cukup di situ saja, lagi-lagi konser Coldplay yang berlangsung Rabu (15/11/2023) juga meninggalkan cerita adanya kericuhan.
Di antaranya, disebabkan penonton yang tidak bisa masuk ke area konser karena tiket tidak bisa dipindai dan jebolnya beberapa gate. Dua kejadian ini menimbulkan pertanyaan, apakah promotor Indonesia tidak siap mendatangkan artis internasional?
Pengamat musik Buddy Ace mengatakan, kericuhan yang terjadi saat konser BMTH dan Coldplay memiliki konteks yang berbeda. Konser BMTH ricuh karena band tersebut menghentikan penampilan saat konser baru setengah jalan.
Akar masalahnya ada di sound system yang mati. Kondisi ini menurut dia jarang terjadi pada zaman sekarang. “Banyak faktor penyebab sound system mati. Yang paling utama penyebabnya adalah listrik padam. Di era sekarang, menggunakan genset listrik, kendala ini bisa diabaikan. Berarti ada kendala lain. Misalnya, genset sebagai sumber listrik nyala, seperti yang kita lihat dalam video, penyelenggara masih bisa bicara menggunakan microphone dan lampu nyala," kata Buddy kepada Republika, Kamis (16/11/2023).
Seharusnya, lanjut dia, penyelenggara menyelesaikan terlebih dulu masalah sound system kepada manajemen BMTH dan penonton. Dalam live show, masalah teknis di luar kendali manajemen bisa saja terjadi.
Inilah yang menyebabkan penonton marah karena mereka datang dari jauh dengan penuh semangat. Mereka sudah mengeluarkan biaya dan tenaga yang besar. “Jadi masalah jika panitia penyelenggara ‘terlambat’ mengabarkannya, baik kepada BMTH maupun penonton. Jika lebih cepat, kemarahan dari pihak BMTH dan penonton, menurut hemat saya, bisa diredam sejak dini,” ujar dia.
Sementara itu, Coldplay merupakan superstar dengan standar internasional. Konsekuensi produksi, promosi dan penampilan band harus sesuai dengan standar internasional. Membawa Coldplay ke Indonesia bernilai miliaran rupiah.
Oleh karena itu, penyelenggara dan pihak terkait tentu sudah memperhitungkan konsekuensi jauh sebelum konser digelar. Meski begitu, ini tidak membuat hal di luar kendali tidak terjadi.
Buddy menyoroti kasus penipuan sebesar Rp 15 miliar yang viral di media sosial. Menurut dia, kasus ini murni cyber crime yang terjadi di luar kendali manajemen. Sementara, soal scanner yang membaca “sudah digunakan” padahal penontonnya baru masuk dan melakukan scan, bisa saja ini merupakan bagian dari rangkaian penipuan saat membeli tiket.
“Artinya, mereka membeli tiket ‘bodong.’ Pelakunya memanfaatkan nomor tiket resmi yang sudah terjual, tapi dijual kembali seakan-akan belum terbeli. Bagaimana mekanismenya, pasti polisi cyber crime tentu sudah mengetahui modus operandinya,” ucapnya.
Bagi penyelenggara, ada beberapa hal yang harus diperhatikan khususnya saat mendatangkan artis berskala besar dan melibatkan puluhan ribu penonton. Pada era sekarang, cyber crime sedang marak yang memanfaatkan gelombang antusiasme penonton.
Berkaca pada konser Coldplay, Buddy menyarankan agar penyelenggara bisa menyiapkan satu ruang atau satu pintu masuk untuk menampung penonton yang “bermasalah.”
“Bermasalah dalam hal ini adalah mereka yang tiketnya tidak ada saat di-scan, tapi mereka bisa menunjukkan bukti melalui ponsel, men-capture hasil transaksi yang mereka lakukan secara online. Mereka sah melakukan transaksi secara daring, tapi tidak memiliki tiket karena berbagai macam penipuan,” kata dia.
Penyelenggara wajib menampung mereka dengan menyiapkan sebuah tempat transit sebelum mereka masuk. Ketika masalah sudah selesai bahwa mereka memang membeli tiket, tapi ada kendala teknis atau penipuan, penyelenggara wajib memberikan ruang khusus agar mereka masih bisa menonton konser.
“Artinya, kalau mereka membeli tiket VIP, festival, dan berbagai kategori lain, mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka menonton, tapi tidak pada tempat semestinya karena ada kendala teknis tadi. Kalau ternyata mereka memang pemilik tiket, ada bukti, mereka bisa langsung diarahkan ke nomor kursi,” ucapnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Masa Depan Film Dunia, Konser Musik
Kini, tur musik tidak lagi dapat diakses dengan mudah oleh semua orang,
SELENGKAPNYARagam Tren Wisata 2024, dari Destination Dupe Hingga Wisata Konser
Tayangan televisi dan film kini memberikan pengaruh lebih besar terhadap rencana liburan.
SELENGKAPNYAPanduan Lengkap Menonton Konser Coldplay 15 November Mendatang
Sebelum datang ke konser, penting bagi penonton untuk membaca panduan dengan seksama.
SELENGKAPNYA