Gaya Hidup
Mengenali Jebakan Mitos Menyesatkan tentang Makanan di Media Sosial
Sejatinya, makan sehat tak perlu merusak keuangan seseorang.
Berbagai informasi soal nutrisi banyak beredar di media sosial. Sayangnya, terkadang sumbernya tidak jelas sehingga kebenaran dari informasi itu pun masih dipertanyakan. Bahkan, beberapa mitos membuat resah para pakar gizi yang sebenarnya.
Di antara sekian banyaknya mitos tersebut, ada lima mitos yang paling populer dan perlu diluruskan oleh orang yang mumpuni diranah gizi. Para ahli nutrisi memberikan pandangan mengenai lima mitos berikut, dikutip dari laman Huffington Post, Jumat (3/11/2023).
1. Informasi salah tentang makanan olahan
Spesialis bioma usus Tim Spector resah dengan informasi yang salah tentang makanan olahan, menyebutnya tidak masuk akal. Sebab, keju, kacang kalengan, dan roti juga termasuk dalam daftar makanan olahan dan tak perlu dihindari secara berlebihan.
Profesor epidemiologi genetik di King’s College London, Inggris, itu menjelaskan bahwa yang konsumsinya tak boleh berlebihan adalah makanan ultraproses (UPF) yang diproduksi secara industri. Spector juga tidak menyetujui rekomendasi pembatasan makan ekstrem.
2. Serealia dianggap sebagai 'penjahat'
Peneliti dalam bidang terapi nutrisi dan kesehatan usus, Megan Rossi, menyayangkan salah satu mitos umum bahwa serealia dianggap sebagai 'penjahat'. Sebut saja gandum, barley, dan rye.
Ketiganya dimusuhi karena kandungan gluten. Padahal, selama seseorang tidak mengidap penyakit celiac, serealia merupakan bagian penting dari diet. Orang yang rutin mengonsumsi serealia yang mengandung gluten cenderung memiliki kesehatan usus yang lebih baik berkat probiotik serta senyawa bernutrisi lainnya.
3. Berlebihan memakai istilah "toksik"
Istilah 'toksik' serta 'detoks' amat membuat Idrees Mughal jengkel karena sering dipakai secara tidak sesuai dan berlebihan di media sosial. Dokter Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) itu mengatakan, banyak orang tidak memahami maknanya.
Menurut Mughal, banyak produsen atau pengiklan hanya asal memakai kata-kata itu untuk memengaruhi konsumen. "Umumnya, orang-orang menanamkan rasa takut pada konten mereka agar audiens percaya pada narasi apa pun yang mereka jual," kata Mughal.
4. Berbagai klaim 'menurut studi'
Pendiri Alinea Nutrition, Alan Flanagan, menyarankan masyarakat lebih kritis jika ada konten yang mengeklaim sesuatu dengan embel-embel 'menurut studi'. Tanyakan dan cari tahu, apakah klaim itu punya dasar dan bukti yang bisa dipertanggungkawabkan atau tidak.
Flanagan juga sebal dengan orang-orang yang memperlakukan makanan tertentu seperti 'musuh'. Dia menekankan bahwa tidak ada yang disebut 'makanan musuh'. Itu adalah informasi yang salah, mengaburkan kenyataan sederhana soal karakteristik pola makan.
5. Obsesi pada protein
Michael Greger dari American College of Lifestyle Medicine berpendapat obsesi terhadap protein sudah tidak terkendali. Dia berpendapat, di media sosial, banyak pihak menyebarkan informasi yang salah tentang manfaat protein bagi tubuh.
Selain itu, Greger menyoroti juga soal makan sehat yang dianggap mahal. Padahal, makan sehat tak perlu merusak keuangan seseorang. Kombinasi makanan "murah" seperti apel, kacang, kubis, ubi, juga buah, dan sayur lain sudah sangat sehat dan bernutrisi.
Mitos Gangguan Makan
Gangguan makan telah lama dikaitkan dengan perempuan, padahal kondisi itu tidak selalu terkait gender tertentu. Memang benar kasus gangguan makan lebih sering didiagnosis pada kaum hawa, tapi bukan berarti pada pria tidak rentan terhadap kondisi ini.
Seperti halnya perempuan, sebagian laki-laki juga mengidap gangguan makan akibat tekanan terkait citra tubuh, daya tarik, dan bentuk fisik ideal. Ketidakpuasan terhadap tubuh atau penilaian negatif terhadap penampilan dapat memicu perilaku makan tidak sehat.
Pria kerap terpapar standar tubuh yang tidak realistis, menekankan pada otot dan kelangsingan, yang dapat memicu ketidakpuasan terhadap tubuh. Faktor psikologis yang mendasari seperti rendahnya harga diri, perfeksionisme, kecemasan, depresi, dan trauma dapat memperparah hal itu.
Faktor biologis seperti kecenderungan genetik dan ketidakseimbangan hormon juga dapat menyebabkan gangguan makan pada pria. Atlet pria, terutama yang menggeluti olahraga yang mengutamakan berat badan juga berisiko lebih tinggi karena tekanan untuk mencapai bentuk tubuh atau kelas berat tertentu.
Klinik rehabilitasi gangguan makan Cabin Chiang Mai memetakan prevalensi gangguan makan pria berdasarkan tren terkini. Sekitar lima sampai 10 persen pria berpotensi mengidap anoreksia nervosa, 15-20 persen mungkin terpapar bulimia nervosa, dan sekitar 25-30 persen pria mungkin mengidap gangguan makan tertentu lainnya (OSFED).
"Pada akhirnya, gangguan makan lebih tentang pengendalian dan emosi. Laki-laki bisa terkena penyakit ini, sama seperti perempuan," ujar Direktur Klinis Cabin Chiang Mai, Lee Hawker-Lecesne, dikutip dari laman Hippocratic Post, Jumat (3/11/2023),
Hawker-Lecesne mengatakan bahwa masyarakat perlu lebih menyadari kelainan perilaku makan tidak dibeda-bedakan berdasarkan gender. Penyakit itu dapat menyerang siapa saja, dan bagi pria, imbasnya pun sangat nyata.
Stigma seputar gangguan makan pada laki-laki dapat menghalangi pasien untuk mencari bantuan dan enggan mengakses layanan yang tepat. Sementara, keterlambatan diagnosis dan pengobatan sering kali dapat memperburuk gangguan tersebut. "Ini saatnya mematahkan stigma yang ada. Kelainan makan bukan sekadar ‘masalah perempuan’, melainkan masalah kemanusiaan," ujarnya.
Gangguan makan lebih tentang pengendalian dan emosi.LEE HAWKER-LECESNE, Direktur klinis Cabin Chiang Mai.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Lika-Liku Kenalkan Pola Makan Sehat pada Anak
Belilah kacang kalengan rendah sodium seperti kacang hitam.
SELENGKAPNYAKeuntungan Pola Makan Vegan pada Kucing
Pola makan vegan memiliki potensi menarik untuk meningkatkan kesehatan kucing.
SELENGKAPNYA