Sains
Krisis Air dan Beratnya Tantangan ke Depan
Sebanyak 30 persen populasi Uni Eropa, telah terdampak oleh berkurangnya pasokan air.
Krisis air kini menjadi ancaman nyata yang dihadapi masyarakat di Eropa. Sebanyak 30 persen populasi Uni Eropa, telah terdampak oleh berkurangnya pasokan air dalam beberapa tahun terakhir.
Profesor Politik dan Lingkungan di King’s College London, Naho Mirumachi, mengatakan, krisis air di Eropa menjadi hal yang sangat menantang bagi sektor pertanian. Pasalnya, irigasi pertanian setidaknya membutuhkan 3.000 liter air.
“Kita juga mengimpor banyak makanan, sehingga kita bergantung pada bagaimana negara-negara di belahan dunia lain mengelola air," ujar Mirumachi seperti dilansir Euronews, Selasa (17/10/2023).
Pejabat senior di Bidang Pangan dan Pertanian PBB, Jippe Hoogeveen, memprediksi bahwa negara-negara di Eropa akan semakin bergantung pada impor pangan. Sektor pertanian di Eropa sudah tidak dapat memproduksi produk pangan karena suhunya terlalu panas.
Spanyol adalah salah satu negara Eropa yang paling terpengaruh oleh situasi ini. Setelah tiga tahun mengalami curah hujan yang rendah dan suhu yang tinggi, layanan cuaca nasional negara tersebut menyatakan kekeringan jangka panjang pada awal tahun ini.
Beberapa hasil panen bahkan mungkin harus dihapuskan. Namun, negara-negara di Eropa Utara dan Timur juga semakin terpengaruh oleh tekanan pada pasokan air.
“Orang-orang berpikir bahwa Inggris adalah negara hujan, tetapi sebenarnya kami juga mengalami kekeringan dan tempat-tempat seperti ini menyediakan pertanian yang penting bagi kami,” kata Mirumachi.
Sumber daya air yang langka, kini tidak hanya menjadi ancaman bagi pertanian, tetapi juga sektor energi. Mirumachi menjelaskan, ketika negara-negara di Eropa berkomitmen menuju transisi energi yang lebih bersih, pada prosesnya itu perlu ditunjang dengan air yang berlimbah. “Jika kita memiliki lebih sedikit air di sungai-sungai, itu berarti kita tidak akan bisa mengandalkan pembangkit listrik tenaga air,” kata dia.
Pembangkit listrik tenaga air yang menggunakan air untuk menghasilkan listrik atau menggerakkan mesin, dianggap sebagai energi alternatif yang berkelanjutan. Tentunya, jika dibandingkan dengan pembangkit listrik yang digerakkan oleh bahan bakar fosil.
Di sisi lain, pertumbuhan populasi global yang meningkat menjadi 8,5 miliar pada 2030, juga menyebabkan tekanan pada sumber daya air. Tingginya populasi pada akhirnya membuat kebutuhan akan makanan, material gaya hidup, gawai, dan lainnya yang sebetulnya sangat boros air. "Jadi, bukan hanya perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya kekurangan air," kata Mirumachi.
Guna mencegah krisis air terjadi semakin parah, Organisasi Meteorologi Dunia telah menyerukan perubahan kebijakan mendasar dalam mengelola air. Sejak 2000, Uni Eropa telah berupaya untuk mengatasi masalah ini, melalui Water Framework Directive, yang berfungsi untuk memastikan kualitas perairan Eropa.
Namun, 90 persen daerah aliran sungai di berbagai negara Uni Eropa masih tidak sehat pada tahun 2027, demikian kesimpulan dari laporan yang diterbitkan oleh WWF dan Living Rivers Europe Coalition.
Ancaman Global
Organisasi World Wildlife Fund (WWF) melaporkan, ekosistem air dan air tawar di dunia menghadapi ancaman krisis global yang mengancam kesehatan manusia dan planet bumi. Laporan ini juga harus menjadi alarm serius, karena nilai ekonomi tahunan air dan air tawar diperkirakan mencapai 58 triliun dolar AS atau setara dengan 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Sejak 1970, dunia telah kehilangan sepertiga dari lahan basah yang tersisa, sementara populasi air tawar rata-rata turun sebesar 83 persen. Tren bencana ini telah berkontribusi pada meningkatnya jumlah orang yang menghadapi krisis air dan kerawanan pangan, karena sungai dan danau menghadapi kekeringan dan banjir yang ekstrem, polusi meningkat, serta sumber makanan seperti perikanan air tawar menurun.
WWF Global Freshwater Lead, Stuart Orr, mengatakan bahwa krisis air dapat memperburuk tekanan ekonomi. Selain itu, juga melemahkan upaya global dalam memulihkan kerusakan alam dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang semakin parah, mulai dari kekeringan dan banjir ekstrem hingga kenaikan permukaan laut.
"Air dan ekosistem air tawar tidak hanya penting bagi perekonomian kita, tetapi juga merupakan sumber kehidupan bagi planet dan masa depan kita. Kita harus ingat bahwa air tidak berasal dari keran air berasal dari alam. Air untuk semua bergantung pada ekosistem air tawar yang sehat,” kata Orr seperti dilansir dari laman WWF, Selasa (17/10/2023).
Wakil Direktur Program Air Tawar di WWF, Michele Thieme, menambahkan, sungai, danau, lahan basah, dan akuifer air tanah telah mengalami degradasi yang parah akibat eksploitasi yang berlebihan, polusi, dan kekeringan. Sementara, sepertiga dari lahan basah yang tersisa di planet ini telah hilang akibat pembangunan manusia sejak 1970, dan populasi satwa liar air tawar telah menurun hingga 83 persen.
Sebagai dampaknya, semakin banyak orang termasuk 40 juta orang Amerika yang bergantung pada Sungai Colorado, menghadapi kekurangan air dan kerawanan pangan.
Karena planet ini terus memanas, ada kebutuhan mendesak untuk mempercepat dan memperluas upaya pengelolaan, guna mengurangi dampak perubahan iklim serta beradaptasi dengan realitas baru. Mulai dari mengatasi masalah kehilangan air di saluran irigasi, mengubah kebutuhan air kota, hingga mempertahankan debit minimum. "Ada banyak sekali pilihan, tetapi sekaranglah saatnya untuk benar-benar berinvestasi dalam jenis-jenis tindakan tersebut,” kata dia.
Thieme mengatakan, pemerintah saat ini memiliki peran krusial dalam pengelolaan, regulasi, dan investasi terkait ketahanan air. Perusahaan dan bisnis juga perlu memastikan bahwa penggunaan air dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan berada dalam batas-batas yang berkelanjutan.
Begitupun masyarakat secara umum yang juga dapat berperan serta. "Tindakan kecil seperti menanam vegetasi asli di lahan sendiri, memasang pipa hemat air di rumah tangga, serta mendukung kebijakan dan pemimpin yang mengadvokasi pengelolaan air yang berkelanjutan,” ujar Thieme.
Sepertiga dari lahan basah yang tersisa di planet ini telah hilang akibat pembangunan manusia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.