Sains
Menggali Sebab Panas Menyengat yang Berujung Kekeringan
Panas menyengat terjadi karena Indonesia memiliki kondisi miskin awan.
Cuaca panas terik yang dialami beberapa wilayah di Indonesia membuat taman dan juga tempat lainnya mengalami kekeringan. Hal ini diakui oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati.
Menurut dia, peringatan dini akan terjadi kondisi kering seperti saat ini sudah diumumkan ke publik, bahkan sudah diprediksi sejak Februari 2023. Diprediksi bahwa Indonesia akan mengalami kering mulai Juli 2023 hingga akhir Oktober 2023, dan akan terjadi hujan sekitar November 2023 di sebagian besar wilayah Indonesia. "Hal ini cocok dengan prediksi BMKG," ujarnya ketika dihubungi Republika, Senin (16/10/2023).
Dia mengatakan, musim kemarau kali ini dipengaruhi oleh angin yang berasal dari Australia. Namun, kali ini kemaraunya disertai dengan anomali. “Lazimnya, dipengaruhi oleh angin dari Australia yang kering. Tapi, sekarang tidak lazim, ada anomali karena dipengaruhi oleh anomali iklim yang disebut El Nino, akibat adanya anomali kenaikan suhu muka air laut di Samudra Pasifik bagian ekuator timur,” ujarnya.
Tidak hanya itu, ada anomali kedua, yaitu anomali iklim akibat suhu muka air laut di Samudra Hindia bagian ekuator barat yang juga lebih panas. "Sehingga awan-awan ini lebih banyak terbentuk di Samudra Pasifik dan di Samudra Hindia. Jadi, kita kekurangan awan. Kita ini ‘miskin’ awan," ujarnya.
Karena kondisi miskin awan ini, akibatnya sinar matahari langsung menyinari ke bumi tanpa ada penghalang awan. "Kalau ada awan penyinaran matahari tidak langsung ke bumi," kata Dwikorita melanjutkan.
Selain itu, ia juga menyebut saat ini gerak semu matahari juga berada di selatan khatulistiwa, kurang lebih ada di atas wilayah Indonesia bagian selatan. Sehingga mataharinya makin menyengat karena posisinya pas di wilayah Indonesia bagian selatan dan tidak ada awan. "Jadi, kita saat ini yang berada di wilayah Indonesia bagian selatan langsung terpapar sinar matahari," ujarnya.
Pengaruh El Nino, Indian Ocean Dipole Positif, dan gerak semu matahari ini membuat suhu makin relatif lebih panas dan kekeringan terjadi di mana-mana. Kekeringan disebabkan hujan yang tak kunjung datang. "Hujannya tidak ada karena awannya sudah banyak terbentuk di Samudra Pasifik dan Hindia. Kita kosong awannya," ujarnya.
BMKG sudah menyampaikan ke berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan kementerian terkait potensi kekeringan ini sejak Februari 2023. “Kekeringannya sudah diramalkan dan terjadi benar," katanya.
Oleh karena itu, beberapa persiapan sudah dilakukan sejak Februari 2023 sampai hari ini. Salah satunya dengan melakukan hujan buatan untuk membasahi lahan yang kering.
Keakuratan Prediksi
Cuaca panas yang menyengat berbagai wilayah Indonesia membuat masyarakat merindukan turunnya hujan. Sebenarnya pada Februari yang lalu BMKG sudah memprediksi bahwa musim kemarau yang lebih kering dan panjang karena disertai El Nino dan Indian Ocean Dipole Positif, akan mulai terjadi di bulan Juli hingga November 2023 di sebagian besar wilayah Indonesia.
Meskipun prediksi iklim tersebut terbukti tepat, prakiraan cuaca juga masih bisa meleset. Saat ini belum ada satu pun negara yang mampu memberikan prakiraan cuaca dengan akurasi 100 persen.
Apalagi, dengan adanya fenomena perubahan iklim global. Hal ini menjadikan cuaca dan iklim semakin rumit, kompleks, dan tidak pasti. Kondisi ini sekaligus menjadi tantangan bagi ilmuwan iklim dan cuaca serta bagi lembaga layanan cuaca dan iklim di seluruh dunia.
Sebenarnya seberapa akurat prakiraan cuaca di Indonesia? Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, akurasi prakiraan cuaca BMKG saat ini mencapai 90 persen, yang berarti masih dapat meleset sekitar 10 persen.
Pihaknya telah melakukan investasi yang cukup besar untuk meningkatkan akurasi dari 80 persen pada 2017 menjadi 90 persen untuk target pada 2024. Hal ini baru berhasil dalam waktu kurang lebih lima tahun.
Jika dibandingkan negara lain, misalnya, di Korea, tingkat keakurasian prakiraan cuaca hanya 46 persen. Jadi, peluang melesetnya lebih besar daripada di Indonesia. Di Inggris akurasiannya 86,5 persen. “Karena upaya peningkatan akurasi ini membutuhkan biaya mahal," ujarnya.
Dwikorita mengungkapkan, pada 2017 akurasi prediksi cuaca di Indonesia hanya sekitar 80 persen. Artinya, ada kemungkinan meleset 20 persen. Tapi, sekarang keakurasiannya mencapai 90 persen.
Untuk menaikkan hingga lima lalu 10 persen, perlu difasilitasi oleh negara guna melakukan inovasi teknologi, sistem dan peralatan penunjang, serta untuk peningkatan kapasitas SDM. Apalagi, prakiraan cuaca di Indonesia dinilai lebih rumit dibandingkan dengan prakiraan cuaca di negara benua.
Pasalnya Indonesia merupakan negara kepulauan yang dipengaruhi oleh dua samudra besar dan dua benua. "Jadi, prakiraan cuaca di Indonesia itu lebih kompleks dan rumit daripada di negara-negara Benua, seperti di Amerika, Cina, atau Australia, karena gangguannya tuh banyak. Sehingga kemungkinan meleset juga bisa, kurang lebih 10 persen melesetnya," katanya.
Dalam praktik prakiraan cuaca, sebelum meleset, prakirawan atau forcaster yang telah terlatih dan berpengalaman bisa mendeteksi dini, kira-kira akan meleset. Dia bisa melakukan "amandemen" beberapa jam hingga satu jam sebelumnya, harusnya cuaca cerah. "Dia bisa merubah hasil prakiraan itu sejam sebelum kejadian, dengan orang bukan dengan mesin," ujarnya.
Sementara, pemodelan tadi itu menggunakan mesin. Data dimasukkan ke dalam sistem processing numeris dalam komputer dan komputer mengeluarkan hasil, hasilnya itu penghitungan komputasi.
Namun di BMKG ada prakirawan yang bisa menjaga hasil komputasi itu. Bila kira-kira ada potensi meleset, prakirawan tersebut bisa merubah hasil komputasi itu berdasarkan pengalaman historisnya dan perkembangan cuaca yang terjadi. "Jadi, akurasi sangat ditentukan oleh kerapatannya titik dan jaringan observasi, inovasi teknologi dan kapasitas SDM," ujar Dwikorita.
Untuk mengatasi 10 persen meleset, BMKG terus gencar melakukan inovasi teknologi berbasis IoT (internet of things), AI (artificial inteligent), machine learning dan big data, serta peningkatan kapasitas SDM. Di BMKG terdapat kurang lebih 5,000 SDM yang tersebar diseluruh pelosok Tanah Air.
Pegawai tersebut sudah dilatih dan kuliah empat tahun di Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. BMKG juga menargetkan lahirnya 500 Doktor baru sebelum tahun 2030, untuk meningkatkan dan menguatkan daya inovasi, analitis, prakiraan, prediksi dan proyeksi terhadap fenomena cuaca, iklim, gempa, dan tsunami.
Hujannya tidak ada karena awannya sudah banyak terbentuk di Samudra Pasifik dan Hindia.DWIKORITA KARNAWATI, Ketua BMKG
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
BMKG: Panas Terik Hingga Akhir Oktober
Penurunan suhu udara di Jawa dan Nusa Tenggara baru akan terjadi pada November.
SELENGKAPNYAKalau Jakarta Terasa Kurang Panas, Bisa Coba Main-Main ke Sini
Assab biasanya hanya mengalami tiga hari hujan per tahun.
SELENGKAPNYADeretan Alasan Dunia Terasa Makin Panas Saat Ini
Dampak yang ditimbulkan oleh umat manusia terhadap iklim adalah pemanasan global sekitar 1,2 derajat Celsius.
SELENGKAPNYAKapankah Panas Menyengat Ini akan Berakhir?
Suhu maksimum yang tercatat paling tinggi adalah 38 derajat Celsius.
SELENGKAPNYA