Gaya Hidup
PR Besar Indonesia dalam Urusan Menjaga Kesehatan Mental
Banyak stigma yang beredar tentang kesehatan jiwa di masyarakat hingga saat ini
Hari Kesehatan Mental Dunia jatuh setiap 10 Oktober 2023. Peringatan ini bertujuan untuk menciptakan kesadaran tentang kesehatan mental dan menghilangkan stigma yang dapat menyertai tantangan kesehatan mental.
Psikiater Lahargo Kembaren mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang perlu diselesaikan di Indonesia terkait dengan masalah kesehatan mental. Pertama, adalah mengenai awareness (kesadaran) akan pentingnya kesehatan mental.
Sebab, masih banyak orang yang masih meremehkan soal kesehatan mental. “Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa,” kata Lahargo yang juga kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial RS Marzoeki Mahdi Bogor kepada Republika, Selasa (10/10/2023).
Banyak stigma yang beredar tentang kesehatan jiwa di masyarakat hingga saat ini. Misal, kesehatan jiwa yang dikaitkan dengan gangguan gaib, kurangnya iman, kurang bersyukur, atau hanya dianggap mencari perhatian.
Menurut dia, faktor-faktor itulah yang menjadi penghambat bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) untuk mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan jiwa. Selain stigma, Lahargo juga menyoroti kurangnya ketersediaan layanan kesehatan jiwa yang merata di Indonesia.
“Ini masih menjadi PR besar bagi kami. Terutama para profesional kesehatan jiwa, bagaimana psikiater, psikolog, perawat jiwa, pekerja sosial yang bekerja di layanan kesehatan jiwa tersebar secara merata,” ujar dia.
Kurangnya layanan kesehatan jiwa juga termasuk keterbatasan obat. Sering kali distribusi obat tidak merata sehingga banyak ODGJ yang kambuh karena ketersedian obatnya kurang.
Terakhir, Lahargo menyoroti soal diskriminasi pekerjaan pada mereka yang memiliki gangguan jiwa. Kerap mereka masih sulit untuk berpartisipasi dengan baik di pekerjaan yang tersedia karena dianggap ODGJ tidak bisa bekerja seperti yang lainnya.
“Padahal gangguan jiwa sama seperti gangguan fisik. Kalau sudah pulih, dia punya kemampuan untuk bisa beraktivitas dan berfungsi lagi,” ujarnya.
Faktor Putus Cinta?
Belakangan ini penggalan video podcast Deddy Corbuzier viral yang membahas penyebab gangguan jiwa pada anak muda. Dalam video berjudul "Polisi Paling aneh yang Gue Tau – Purnomo Belajar Baik", disebutkan 75 persen orang terkena gangguan jiwa, karena putus cinta.
Menanggapi ini, Lahargo menyampaikan, tidak bisa diputuskan hanya dengan sesederhana itu karena penyebab gangguan jiwa multi faktor. Pertama, ada faktor biologis. “Kalau ada secara genetik anggota keluarga yang punya gangguan jiwa maka mereka yang punya hubungan darah lebih rentan,” katanya.
Mereka yang pernah memiliki trauma kepala, jatuh, hingga terbentur atau terpukul juga masuk dalam faktor ini. Sebab, semua insiden tersebut membuat sel saraf otak lebih berisiko.
Selain itu, penggunaan obat-obatan, narkoba, dan alkohol secara berlebihan juga mengganggu langsung saraf otak. Kemudian ada faktor psikologis, seperti pengalaman hidup yang traumatis.
“Ada pengalaman hidup misalnya konflik besar yang tidak bisa diselesaikan atau relasi dengan orang lain, termausk masalah pecintaan, keinginan yang tidak tercapai, kekecewaan, kehilangan figur yang yang sangat dicintai, itu faktor psikologis,” ujarnya.
Terakhir, Lahargo menyebut faktor sosial yang sedang dialami seseorang. Misal, pekerjaan, kuliah, atau tugas yang overload. Menurut dia, ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan kondisi mental seseorang bisa down atau drop dan pada akhirnya terganggu kejiwaannya.
“Jadi, tidak bisa disalahkan karena satu faktor saja. Pasti ada faktor-faktor yang sudah terlibat di dalamnya yang kami sebagai profesional akan coba identifikasi mana faktor-faktor yang masih bisa dimodifikasi dan diberikan terapi. Sehingga yang bersangkutan bisa pulih kembali,” ujar dia.
Mengapa Penting?
Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia memiliki peran yang penting karena bertujuan menciptakan kesadaran tentang kesehatan mental dan menghilangkan stigma yang dapat menyertai tantangan kesehatan mental. Dilansir Forbes, Selasa (10/10/2023), Hari Kesehatan Mental Dunia dimulai pada 1992 dan didasarkan pada upaya Federasi Kesehatan Mental Dunia (WFMH).
Keanggotaannya yang tersebar di 150 negara bertujuan untuk memberikan perhatian terhadap kesehatan mental dan dampaknya di seluruh dunia. Sayangnya, kebutuhan akan kesadaran dan advokasi kesehatan mental sangatlah besar.
Menurut jajak pendapat Monster, 63 persen orang mengatakan kesehatan mental mereka buruk. Selain itu, berdasarkan survei terhadap 5.000 orang yang dilakukan oleh Muse, 44-38 persen orang mengatakan mereka terlalu banyak bekerja atau burnout.
Orang-orang melaporkan bahwa mereka kurang gembira dan merasa kurang dihargai. Sementara 47 persen mengatakan stres adalah penyebab terbesar dari pengalaman negatif mereka. Stres ini nyata dan signifikan bagi banyak kelompok karena 62 persen wanita dan 51 persen pria berusia 18-34 tahun sangat dilanda stres menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Stress in America.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan CignaCI, 91 persen gen Z melaporkan bahwa mereka merasa stres dan 98 persen merasa burnout. Tahun ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengangkat tema "Kesehatan mental adalah hak asasi manusia universal" untuk meningkatkan pengetahuan, meningkatkan kesadaran, dan mendorong tindakan yang melindungi kesehatan mental setiap orang sebagai hak asasi manusia universal.
Dikutip dari situs WHO, kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang mendasar bagi semua orang. Setiap orang, siapa pun dan di manapun berada, berhak atas standar kesehatan jiwa tertinggi yang dapat dicapai. Hal ini mencakup hak untuk dilindungi dari risiko kesehatan mental, hak atas layanan yang tersedia, dapat diakses, dapat diterima, dan berkualitas baik, hak atas kebebasan, kemandirian dan inklusi dalam masyarakat.
Kesehatan mental yang baik sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Namun, satu dari delapan orang di seluruh dunia hidup dengan kondisi kesehatan mental yang dapat berdampak pada kesehatan fisik, kesejahteraan, cara mereka berhubungan dengan orang lain, dan penghidupan mereka.
Kondisi kesehatan mental juga memengaruhi semakin banyak remaja dan generasi muda. Memiliki kondisi kesehatan mental tidak boleh menjadi alasan untuk menghilangkan hak asasi seseorang atau mengecualikan mereka dari pengambilan keputusan mengenai kesehatan mereka sendiri.
Namun, di seluruh dunia, orang-orang dengan kondisi kesehatan mental terus mengalami berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Banyak dari mereka yang dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat dan mengalami diskriminasi.
Sementara itu, masih banyak lagi yang tidak dapat mengakses layanan kesehatan mental yang mereka perlukan. WHO pun terus bekerja sama dengan mitranya untuk memastikan kesehatan mental dihargai, dipromosikan, dan dilindungi, dan tindakan segera diambil agar setiap orang dapat menggunakan hak asasi mereka dan mengakses layanan kesehatan mental berkualitas yang mereka butuhkan.
Memiliki kondisi kesehatan mental tidak boleh menjadi alasan untuk menghilangkan hak asasi seseorang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Terapi Seni Penawar Kesehatan Mental Bagi Perempuan Afghanistan
Organisasi kesehatan memperkirakan setengah dari 40 juta orang Afghanistan menderita tekanan psikologis.
SELENGKAPNYAPolusi dan Kesehatan Mental yang Memburuk
Polusi udara yang terhirup masuk ke saluran pernapasan dapat memicu terjadinya perubahan pada area-area otak yang mengontrol emosi.
SELENGKAPNYAPrediksi Mengerikan untuk Kesehatan Mental Setengah Populasi Dunia
Gangguan suasana hati seperti depresi dan kecemasan adalah kondisi kesehatan mental yang paling umum.
SELENGKAPNYA