Kronik
Pelajaran Membungkam Penjual Isu Tragedi Kemanusiaan
Aadi Sasono terkenal mudah bersimpati pada kaum marginal.
Oleh YUSUF MAULANA, Penulis dan pengelola Samben Library
Tokoh ini tujuh tahun lalu, 13 Agustus 2016, wafat. Terlepas bagi sebagian orang, termasuk Muslimin, Adi Sasono dikenal sembari lalu atau malah berbau konspirasi yang menyudutkan namanya. Sepatutnya saban ujung September, ketika sebagian anak bangsa negeri ini berpolemik seputar pro-kontra kejadian 1965, nama Adi layak diangkat. Adi jelas tidak memintanya. Hanya saja, warisannya semasa hidup dalam merawat agenda rekonsiliasi di momen kelam itu, jauh melampaui agenda dan narasi reproduksi rezim dan agensinya hari ini yang kadang jauh dari misi ketulusan.
Jauh dari sematan Asian Week dan Far Eastern Economic Review, yang menyebutnya sebagai “Indonesia’s Most Dangerous Man”, Adi bukanlah penggila puja-puji dari setiap langkah dan manuvernya. Sikapnya ugahari, bahkan lurus-lurus saja. Dalam soal kemanusiaan, ranahnya berkiprah sejak muda, jejak itu begitu kuat dan nyata adanya. Adi tak terlalu pusing dengan soal ada atau tidaknya pemberitaan.
Saya mendapatkan kisah berikut ini dari aktivis cum penulis buku sejarah, Lukman Hakiem. Ini terkait sebuah yayasan tempat Adi berkiprah. Nama yayasan itu Humaika (Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan) yang berdiri pada Oktober 1976. Ketika itu, tulis Lukman, ada diskusi terbatas di Universitas Islam Indonesia tentang buku Himpunan Mahasiswa Islam karya Victor Tanja. Adi hadir di acara itu sebagai pembicara.
Entah bagaimana awalnya, tulis Lukman, seseorang tiba-tiba bicara soal “Bapak-bapak Masyumi” yang dia anggap tidak jelas kerjanya.
Hening seketika sebelum Adi bicara tentang Yayasan Humaika dan apa yang dikerjakannya. Di ujungnya Adi bicara ke audiens yang membidas “Bapak-bapak Masyumi”.
“Saudara tahu, dari mana saya mendapat dana dan fasilitas untuk kegiatan Yayasan Humaika menyambangi para tapol dan memberi dana bulanan kepada keluarga tapol PKI itu?”
Tak seorang pun bisa menjawab pertanyaan Adi, sebelum akhirnya ia sendiri yang menjawabnya.
“Dari Natsir dan kawan-kawan,” singkat kata-kata Adi.
Masih dalam cerita Lukman, Adi pun mengarahkan pembicaraannya kepada orang yang tadi mengecam “Bapak-bapak Masyumi.”
“Kalau Bung cari di koran, cerita ini tidak akan pernah Bung temukan, karena Bapak-bapak itu bekerja bukan untuk dikoran-korankan seperti Anda.”
Adi menutup dengan kalimat yang tidak pernah Lukman lupakan, “Kalau Anda mau bekerja, bekerjalah. Tidak usah mencerca orang lain.”
“Setahu saya, hanya sekali itu saja Mas Adi Sasono membuka ‘rahasia dapur’ Yayasan Humaika. Selebihnya, Mas Adi terus bergerak dalam senyap,” pungkas Lukman berkisah.
Kiranya tepat penilaian Nasihin Masha dalam kolom di Republika berjudul “Belajar Hidup dari Adi Sasono” (19/8/2016). Tulis Nasihin, “Adi memang dikenal sebagai orang yang mudah bersimpati pada orang-orang yang lemah, tertindas, dan marginal. Sikapnya selalu positif dan melihat dari sudut pandang yang positif terhadap segala sesuatu. Namun, jangan dikira ia tak memiliki prinsip yang kuat. Ia berani bersikap dan melawan ketidakadilan, penindasan, serta kezaliman. Ia memiliki pandangan bahwa tak ada sesuatu yang benar semua atau salah semua.”
Yayasan Humaika salah satu contoh wadah artikulasi sosialisme Islam Adi Sasono. Di yayasan itu ada nama-nama pendiri seperti Ali Sadikin, Ny SK Trimurti, Ny A Yani, Adnan Buyung Nasution, Ny Yos Soedarso, P Swantoro, Adi Sasono, Baby Huwae, Indra K Budenani, Rendra, dan Dipo Alam. Dalam perjalanannya, nama tokoh elite Masyumi, yakni Natsir, juga terlibat bahkan berperan penting—sebagaimana kisah Lukman di atas.
Menariknya, sekaligus kontroversinya, sasaran aktivitas yayasan itu orang-orang PKI dan keluarganya.
“Adi bergerak dengan banyak tokoh dengan latar belakang beragam. Anak Masyumi menyantuni orang-orang PKI. Ia adalah cucu keponakan dari Moh Roem, tokoh Masyumi, ungkap Nasihin dalam tulisannya tersebut.
Lanjut Nasihin, ayah Adi juga tokoh Muhammadiyah di Pekalongan. Pamannya, Dahlan Ranuwihardjo, adalah tokoh HMI. Adi pernah menjadi ketua HMI cabang Bandung dan aktif di PII sejak di Pekalongan.
Tak ayal kiprah Adi bersama Humaika di masa kuat-kuatnya Orde Baru mengundang aparat. Saat diperiksa tentara, Adi dituduh sebagai Islam semangka. Luarnya hijau, dalamnya merah, kata Nasihin. “Namun, Adi jalan terus. Ketika Orde Baru memaksakan asas tunggal, banyak tokoh umat Islam dianiaya dan dipenjara. Adi kembali menemani dan menyantuni keluarganya.”
Jadi, sikap Adi konsisten. Bukan dalam rangka mencari panggung di media melalui kontroversi yang dirancang sedemikian rupa. Nasihin, yang mengenal dekat Adi sebagai redaktur di Republika, menyebutkan bahwa sikap humanis Adi ini bagian dari pemahamannya terhadap Islam.
“Dalam Islam ajaran terpenting setelah tauhid adalah menegakkan keadilan. Dan untuk berbuat adil itu tak boleh berstandar ganda. Jadi, kita harus berbuat adil sekalipun terhadap orang yang berbeda dengan kita maupun yang memusuhi kita,” jelas Adi.
Adi barangkali asing bagi anak muda era digital. Dia dikenali tidak langsung seketika, namun dengan menelusuri mesin pencari. Mungkin sekira saya segenerasi dengan mereka yang lahir pada dekade 2000-an, hal serupa berlaku. Bagi aktivis Islam, nama Adi mungkin juga berasa asing dalam soal wacana formalisme syariah. Tapi, Adi sudah melangkah jauh melakukan aksi-aksi menerapkan misi Islam tanpa terjebak pada formalisme wadah.
Adi sudah melangkah jauh melakukan aksi-aksi menerapkan misi Islam tanpa terjebak pada formalisme wadah.
Sisi kepedulian pada pihak-pihak yang dilemahkan itulah yang hari ini patut ditiru aktivis Islam. Juga ketegaran Adi menghadapi cercaan dan serangan dari pelbagai pihak yang ingin menjegal ketika dirinya memihak pelaku usaha ekonomi kerakyatan, tak boleh diabaikan aktivis Islam hari ini. Termasuk lakon senyap dalam menerapkan legasi Natsir dalam beramal kemanusiaan, bahkan ketika itu ditujukan ke pihak yang jadi seteru ideologi.
Karena itulah, Adi, dalam hal ini, sepatutnya juga jadi pengingat siapa saja yang berkuasa dan bakal berkuasa. Bukan begitu mudah menerima usulan proposal para penjual isu tragedi kemanusiaan. Pada Adi kita patut belajar: bahwa tampil dicitrakan itu hanya fana; yang abadi adalah amal berbuat baik untuk Yang di Atas—sebagaimana yang ia selalu ingatkan pada orang sekitar menjelang wafatnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Saat Pelarangan PKI Dipersoalkan
Ramai umat Islam menolak penghapusan TAP MPRS No XXV/1966.
SELENGKAPNYAMeski Diracun PKI, Kiai Musikan Lindungi Mereka yang Dituduh Komunis
Selain Kiai Musikan, KH Muslim Al Maraqi juga dikenal gigih melawan PKI
SELENGKAPNYAShalawat Badar, Jalan Jihad Ulama Jawa Melawan PKI
Habib Ali Kwitang mengajak agar Shalawat Badar dipopulerkan sehingga dapat menyaingi lagu “Genjer-Genjer”.
SELENGKAPNYAPKI dan Rekonsiliasi
Kita harus memberi informasi yang benar serta berimbang terhadap apa yang terjadi.
SELENGKAPNYA