Iqtishodia
Belajar dari Kesuksesan Kabupaten Labura Mengatasi Stunting
Dengan modal kekompakan, Labura dapat menurunkan prevalensi stunting sebesar 23,6 persen
Oleh Prof. Bambang Juanda, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Percepatan penurunan stunting (P2S) pada balita menjadi salah satu program prioritas pemerintah dalam RPJMN 2020-2024. Komitmen politik para pemimpin menjalankan P2S sangat penting agar target prevalensi stunting nasional turun hingga 14 persen pada 2024 bisa tercapai. Program penanganan stunting di Kabupaten Labora, Sumatra Utara, patut dicontoh karena sukses menekan prevalensi stunting secara signifikan.
Menurut data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting nasional tahun 2022 adalah 21,6 persen turun 2,8 persen dibandingkan 2021 dengan prevalensi 24,4 persen. Angka prevalensi stunting di Indonesia menurun signifikan jika dibandingkan pada 2013, yang menurut Riset Kesehatan dasar (Riskedas), angka prevalensinya 37,2 persen.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan kronis pada balita akibat kekurangan nutrisi dalam waktu lama, sehingga perkembangan otak dan tumbuh kembang balita terhambat serta rentan terhadap penyakit. Balita stunting tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya. Jadi, stunting itu cenderung bertubuh pendek, tapi yang bertubuh pendek belum tentu stunting.
Prevalensi stunting adalah persentase balita pendek terhadap jumlah balita.
Setiap lima tahun dilakukan Riskesdas untuk evaluasi pembangunan kesehatan. Ini merupakan data dugaan dari sampel rumah tangga umum. Balita yang di bawah ambang batas panjang/tinggi tertentu sesuai umurnya, dikategorikan pendek/kerdil (stunted). Prevalensi stunting adalah persentase balita pendek terhadap jumlah balita.
Untuk evaluasi kemajuan intervensi secara nasional, data yang digunakan adalah hasil SSGI yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan RI setiap tahun. Ini merupakan data dugaan dari sampel rumah tangga dengan balita. Jika tinggi balita minimal sesuai ambang batas panjang/tinggi tertentu sesuai umurnya, tidak dikategorikan kerdil (stunted) meskipun sangat kurus dan rentan sakit.
Dalam melakukan audit kasus stunting, sumber data yang digunakan adalah data aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) sebagai data dasar dari deteksi dini sasaran bermasalah gizi. Data real-time dari populasi balita yang dipublikasikan tiap bulan ini menjadi dasar intervensi untuk pencegahan maupun penanganan stunting dalam implementasinya, atau surveilans program gizi di daerah. Meskipun tinggi balita dibawah ambang batas panjang/tinggi tertentu sesuai umurnya, tidak dikategorikan kerdil (stunted) jika balita tersebut sehat, aktif, dan kreatif.
Data e-PPGBM cukup detail sesuai dengan nama dan tempat tinggal keluarga (by name, by address) yang menjadi target sasaran, termasuk data ketersediaan jaminan kesehatan, kondisi ketahanan pangan keluarga, akses air bersih di lingkungan rumah, maupun tingkat pendidikan keluarga. Data ini memudahkan dalam melakukan intervensi sensitif maupun intervensi spesifik. Menurut penulis, sama dengan pendapat orang daerah, data ini lebih akurat dibandingkan dugaan hasil SSGI.
Hasil intervensi
Untuk mencapai target 14 persen prevalensi stunting nasional pada 2024, yaitu dengan penurunan sebesar 7,6 persen, perlu komitmen dari semua pihak. Menurut SSGI, cukup banyak daerah yang prevalensinya justru meningkat pada 2022, yaitu terjadi di 5 Provinsi (Kaltim, Sulbar, NTB, Sumbar, Papbar, Papua) dan pada 201 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Tiga kabupaten dan satu kota dari 313 kab/kota yang prevalensinya menurun, paling besar adalah Pamekasan, Pohuwato, Kota Surabaya, dan Labuhanbatu Utara (Labura). Lalu, bagaimana Kabupaten Labura dengan kapasitas APBD yang terbatas melakukan intervensi penurunan stunting sehingga dapat menurunkan 23,6 persen angka prevalensi stunting dari 30,9 persen pada 2021 menjadi 7,3 persen pada 2022?
Penulis telah melakukan studi dengan mengunjungi Labura pada 9-11 Agustus 2023 setelah 7 Agustus melakukan diskusi online dengan narasumber akademisi dari USU terkait masalah stunting, dan 8 Agustus diskusi dengan Bappeda, Dinas Kesehatan dan beberapa OPD Pemerintah Provinsi Sumatra Utara di Medan.
Ekspektasi penulis, intervensi yang dilakukan Pemkab Labura serupa dengan kab/kota lainnya di Indonesia, sesuai arahan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin sebagai ketua pengarah Tim P2S pusat sehingga mungkin ada pelajaran yang dapat dipetik (lessons learn) mengapa kinerjanya berbeda dengan daerahnya.
Pelajaran dari Labura
Kabupaten Labura merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Labuhanbatu dan baru berusia 15 tahun. Dengan pendapatan asli daerah sekitar Rp 63 miliar atau hanya 6,41 persen dari total pendapatan daerah pada 2022, Pemda Labura sangat mengandalkan pendapatan transfer sekitar Rp 922 miliar (93,59 persen).
Meskipun APBD-nya relatif kecil dan tingkat kemiskinannya 9,09 persen, lebih tinggi dari tingkat kemiskinan provinsi Sumut (8,42 persen), dengan modal kekompakan dan kebersamaan semua stakeholder-nya, Labura dapat menurunkan prevalensi stunting sebesar 23,6 persen dan terbaik di Provinsi Sumatra Utara. Begitu juga pengeluaran pertahun per kapitanya (Rp 12.258.000) dan umur harapan hidup saat lahir (69,91 tahun) lebih tinggi dari Provinsi Sumut.
Seluruh OPD memberikan intervensi dalam penurunan stunting.
Seluruh OPD memberikan intervensi dalam penurunan stunting. Selain itu, pemerintah kabupaten berkolaborasi dengan TNI, Polri, dan Baznas agar dapat berkontribusi untuk penurunan stunting. Ini merupakan kerja keras pemerintah dengan masyarakat.
Inovasi yang dilakukan oleh Pemda Labura dalam penurunan stunting, antara lain, ada program berna Bung Desa. Ini adalah inovasi program Bupati Ngantor di Desa. Dalam pelaksanaannya, seluruh OPD akan hadir di desa dikumpulkan dalam satu lapangan untuk mengurus pelayanan umum yang ditekankan pada pendampingan penurunan stunting dari remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, hingga balita.
Ada juga program Ceting Yuk dengan Si Kelor, yaitu inovasi kegiatan pencegahan stunting dengan pemanfaatan daun kelor untuk memenuhi gizi balita, ibu hamil, ibu menyusui hingga balita dan remaja. Program ini dilakukan dengan cara membudidayakan pohon kelor di setiap rumah tangga dan mengajari bagaimana cara mengolah daun kelor untuk menjadi aneka makanan yang enak dan bergizi.
Inovasi lainnya adalah intervensi yang berkolaborasi dengan berbagai stakeholder dan berbagai lembaga yang ada. Tim kolaborasi bekerja sama dengan seluruh OPD terkait, beserta TNI-POLRI, lembaga filantropi, seperti Baznas, lembaga keuangan seperti Bank Sumut, SMA Labuhanbatu Utara, media, hingga komunitas masyarakat (keagamaan) dalam penyuluhan penurunan stunting.
Pemda Labura sedang mempersiapkan inovasi gerakan “GASPOLT LABURA BESTIE”, yaitu gerak bersama polisi dan TNI, Labuhanbatu Utara Bebas Stunting.” Ini merupakan operasi senyap, di mana masyarakat tidak akan mengetahui para petugas akan sampai ke rumah anak-anak stunting dan pemantauan berkelanjutan setiap pekan dengan melakukan pengukuran dan penimbangan.
Langkah lainnya adalah Dinas Dukcapil secara door to door mengurus administrasi kependudukan. Hal ini penting untuk penyampaian bantuan dan fasilitas akses kesehatan seperti BPJS dan sebagainya. Sebelumnya banyak masyarakat belum mendapat BPJS karena belum memiliki NIK.
Kemudian, dilakukan kegiatan konseling pemberian ASI eksklusif dan makan bayi dan anak (PMBA) di Posyandu kepada ibu hamil. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan baik secara fisik maupun mental kepada para calon ibu agar nantinya saat bayi lahir, ASI dapat keluar sehingga bayi tidak perlu mengonsumsi susu formula.
Kemudian, Kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Bagi Ibu Hamil dan Balita serta pemberian vitamin A pada balita dan ibu nifas dilakukan secara berkala oleh kader Posyandu secara door to door.
Ada juga kegiatan pemberian tablet tambah darah TTD) bagi ibu hamil minimal 90 tablet selama kehamilan yang dilakukan di dalam kelas ibu hamil di desa-desa ataupun di posyandu yang terjangkau.
Pemberian TTD serta pemeriksaan hemoglobin darag (HB) bagi Remaja Putri (SMP/SMA Sederajat) didistribusikan melalui puskesmas yang dilakukan di sekolah-sekolah.
Faktor utama terjadinya 388 anak stunting saat ini adalah karena keterbatasan penyediaan infrastruktur dasar seperti akses jalan, akses jamban, dan air bersih. Namun dengan Ketua PKK (istri bupati) yang kebetulan dokter spesialis anak, dan juga wakil bupati yang selalu semangat mendatangi acara pernikahan penduduknya untuk memberikan akta nikah sambil mengedukasi masalah stunting, telah mendorong sinergi semua stakeholder dalam penurunan stunting di Labura.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.