Gaya Hidup
Gen Z Akrab dengan Isu Kesehatan Mental, Mitos atau Fakta?
Sangat mungkin ada lebih dari satu alasan di balik berkembangnya suatu gangguan kesehatan mental.
Ada anggapan yang cukup luas bahwa generasi zaman now "kurang tangguh" dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Benarkah demikian?
Ketangguhan mental masing-masing generasi mungkin bisa didefinisikan berdasarkan sejumlah faktor. Akan tetapi, terkait kondisi mental, memang terbukti lewat studi bahwa generasi Z alias gen Z secara keseluruhan punya kondisi mental lebih buruk dibanding generasi sebelumnya.
Hal itu terbukti dalam survei yang dilakukan oleh McKinsey Health Institute yang berbasis di Amerika Serikat (AS). Hasilnya menunjukkan, lebih banyak responden Gen Z yang melaporkan kesehatan mental, sosial, dan spiritual yang lebih buruk dibandingkan generasi lain.
Gen Z adalah mereka yang lahir antara 1997-2012. Sementara, generasi sebelum gen Z, antara lain, milenial (1981-1996), gen X (1965-1980), dan baby boomers (1946-1964). Hasil survei itu diulas dalam kegiatan "Prodia Meet The Press" beberapa waktu lalu.
"Survei yang dilakukan pada 2022 ini menyatakan bahwa gen Z paling banyak mengalami gangguan kesehatan mental dibanding generasi lainnya," ujar Head of Business and Marketing Clinics Prodia, Nelly Sari, yang mengutip studi tersebut.
Survei pun menyoroti perbandingan setiap generasi dari segi kesehatan mental, fisik, sosial, dan spiritual. Sebanyak 18 persen gen Z melaporkan kondisi mentalnya buruk atau sangat buruk. Sebagai perbandingan, persentase generasi lain, yakni milenial 13 persen, gen X 11 persen, dan baby boomers enam persen.
Survei McKinsey juga menyoroti penggunaan program kesehatan mental secara digital masih belum banyak dimanfaatkan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Selama 12 bulan periode survei, pemakaian program digital serupa di Indonesia hanya sekitar 25 persen.
Nelly menunjukkan pula kondisi kesehatan jiwa di Indonesia berdasarkan survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) di 2010. Dari data 4.010 pengguna swaperiksa PDSKJI, sebanyak 64,8 persen mengalami masalah psikologis.
Dari besaran jumlah orang yang mengalami masalah psikologis, sebanyak 71 persen perempuan dan 29 persen laki-laki. Adapun gangguan kesehatan mental yang terbanyak, yakni gangguan kecemasan (65 persen), depresi (62 persen), dan trauma (75 persen). Angka kejadian tertinggi terpantau pada usia 17-29 tahun serta di rentang usia lebih dari 60 tahun.
"Semua orang di semua rentang usia dan profesi sebenarnya punya risiko mengalami gangguan kesehatan mental. Tetapi, masalah psikologis paling banyak ditemukan pada rentang usia 17-29 tahun, umur saat galau-galaunya, belum tahu mau ke mana dan harus berbuat apa," kata Nelly.
Kaitan dengan Rokok
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa merokok bisa memicu kanker paru-paru dan sejumlah gangguan kesehatan lain secara fisik. Namun, sebuah studi baru menemukan konsekuensi merokok terhadap peningkatan risiko gangguan kesehatan mental.
Dikutip dari laman Study Finds, Senin (4/9/2023), semakin banyak bukti yang menunjukkan hubungan kuat antara merokok dan penyakit mental. Namun, sebelum ini para peneliti masih memperdebatkan keterkaitan spesifik antara keduanya.
Kini, para peneliti dari Universitas Aarhus di Denmark menunjukkan, merokok memang dapat meningkatkan risiko depresi serta gangguan bipolar. Para peneliti menggunakan basis data Biobank yang berisi informasi genetik lebih dari setengah juta orang.
"Meski bukan satu-satunya penyebab, merokok meningkatkan risiko seseorang dirawat di rumah sakit karena penyakit mental sebesar 250 persen,” kata profesor di Pusat Genetika Kuantitatif dan Genomik di Universitas Aarhus, Doug Speed, yang merupakan salah satu peneliti.
Speed menjelaskan, kesehatan mental amat kompleks. Sangat mungkin ada lebih dari satu alasan di balik berkembangnya suatu gangguan kesehatan mental. Oleh karena itu, penting untuk menghimpun data sebanyak mungkin dan mengesampingkan hal-hal lain yang dapat memengaruhi kondisi itu.
Dari analisis data, Speed dan timnya menambahkan, gen dapat menentukan apakah seseorang akan menjadi seorang perokok atau tidak. Saat meneliti basis data yang ada, tim menemukan sejumlah varian genetik yang berulang.
Jika orang tua tidak merokok, risiko anak menjadi perokok lebih rendah. Namun, jika orang tua kandung adalah perokok, risiko anak menjadi perokok lebih tinggi karena faktor genetik yang diturunkan. Kebiasaan orang tua angkat pun turut berpengaruh.
"Ada sejumlah varian genetik yang bisa kita sebut sebagai "gen terkait rokok". Orang-orang dalam kumpulan data yang membawa gen terkait merokok, tetapi tidak merokok, memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami gangguan mental dibandingkan dengan mereka yang membawa gen tersebut dan merokok," ungkap Speed.
Studi juga menunjukkan, kemungkinan besar peningkatan risiko gangguan mental terkait dengan gen yang berhubungan dengan merokok. Secara statistik, Speed dan tim menemukan korelasi dalam dua hal itu. Namun, tim masih ingin mengeksplorasi mekanisme biologis yang menyebabkan merokok menyebabkan gangguan jiwa.
Salah satu teorinya adalah nikotin menghambat penyerapan neurotransmitter serotonin di otak, dan sudah diketahui bahwa orang dengan depresi tidak menghasilkan cukup serotonin. Merokok kronis dapat menimbulkan efek terhambatnya produksi serotonin dan membuat seseorang cemas dan tidak stabil secara mental.
Penjelasan lainnya, bisa jadi merokok menyebabkan peradangan pada otak, yang dalam jangka panjang dapat merusak bagian otak dan memicu berbagai gangguan mental. "Namun, kami belum mengetahui mekanismenya secara pasti," ujar Speed. Temuan penelitian itu pun sudah dipublikasikan di jurnal Acta Psychiatrica Scandinavica.
Meski bukan satu-satunya penyebab, merokok meningkatkan risiko seseorang dirawat di rumah sakit karena penyakit mental.DOUG SPEED, Profesor di Pusat Genetika Kuantitatif dan Genomik di Universitas Aarhus.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Polusi dan Kesehatan Mental yang Memburuk
Polusi udara yang terhirup masuk ke saluran pernapasan dapat memicu terjadinya perubahan pada area-area otak yang mengontrol emosi.
SELENGKAPNYAMarak Perundungan, Revolusi Mental Gagal?
Sebanyak 16 kasus perundungan jadi sorotan sejak Januari.
SELENGKAPNYAPrediksi Mengerikan untuk Kesehatan Mental Setengah Populasi Dunia
Gangguan suasana hati seperti depresi dan kecemasan adalah kondisi kesehatan mental yang paling umum.
SELENGKAPNYA