Kisah Dalam Negeri
Telusur Asal-usul Reog Ponorogo
Kesenian ini layak dijadikan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia (WBTB) oleh UNESCO.
Reog Ponorogo merupakan kesenian yang sudah tidak awam lagi bagi masyarakat Indonesia. Kesenian ini sudah sering dilihat dan disaksikan masyarakat dari berbagai tempat.
Popularitas reog Ponorogo nyatanya membuat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menilai, kesenian ini layak dijadikan sebagai warisan budaya tak benda dunia (WBTB) oleh UNESCO. "Paguyuban reog Ponorogo tersebar di berbagai daerah, bahkan ke Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, semuanya ada. Pokoknya reog Ponorogo telah mendunia," kata Muhadjir dalam keterangan resminya.
Di balik popularitas tersebut, tahukah sebenarnya bagaimana asal-usul reog Ponorogo? Dalam hal ini termasuk apa makna yang tersembunyi di balik kesenian reog Ponorogo? Mengetahui hal ini, budayawan sekaligus praktisi reog Ponorogo, Hariadi (61 tahun) pun berusaha memberikan pandangannya.
Dari sisi sejarah, Hariadi pada dasarnya tidak mengetahui pasti kapan reog Ponorogo hadir di Indonesia. Sebab, tidak ada sumber tertulis yang jelas mengenai asal usul reog Ponorogo dari sisi sejarah. "Maka, kita lihat dari sisi konteks kebudayaan saja. Ini berarti perjalanan manusia sebelum masuk ajaran agama itu ada aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Ini asal-usul dilihat kalau dari sisi konteks budaya," ujar Hariadi saat dihubungi Republika.
Instrumen reog Ponorogo itu ada kempul yang bersuara besar dan kenong atau biasa disebut ning dan nong. Kemudian ada pula harimau dan dadak merak di atasnya.
Berdasarkan penafsiran tokoh terdahulu, semua instrumen ini menandakan adanya proses meditasi untuk mengomunikasikan manusia dengan Tuhannya. Dalam konteks kebudayaan, reog Ponorogo bermakna adanya proses hubungan vertikal manusia dengan Tuhan.
Lalu, dalam konteks hubungan sesama manusia atau hubungan secara horisontal, derajat manusia digambarkan melalui singa atau harimau sebagai seorang raja. Manusia ini harus mengingat Tuhannya yang kemudian ditandai dengan burung merak di atasnya. Burung merak diyakini oleh para pendahulu sebagai peliharaan para dewa. "Kemudian dari situ, sekarang ke garis lebih pendek, zaman sekarang. Itu reog Ponorogo menjadi produk budaya, yang kini disebut sebagai kesenian," kata dia menambahkan.
Penafsiran reog Ponorogo sebagai hasil produk kebudayaan nyatanya memiliki dua versi sejak dahulu. Dua versi tersebut antara lain Ki Demang Suryangalam dan Bantarangin. Dua versi ini sekarang dikemas oleh generasi dengan melihat kira-kira yang mana diterima banyak pihak.
Penafsiran Reog Ponorogo
Berdasarkan penafsiran para pendahulu terkait versi Ki Demang Suryangalam, reog pada masa kerajaan Majapahit telah menjadi wadah untuk menyindir Prabu Brawijaya. Hal ini lebih tepatnya ketika Majapahit telah bersentuhan dengan budaya Islam.
Kemudian harimau yang dikenal sebagai raja hutan disarkasmekan sebagai raja Brawijaya. "Dadak merak, kalau tidak salah itu Putri Campa yang notabenenya sudah memeluk Islam. Itu generasinya Raden Fatah dan seterusnya," kata Hariadi.
Ki Demang ternyata tidak sependapat dengan era Islam yang masuk ke Kerajaan Majapahit. Dia pun memberikan satu gambaran bahwa Raja Brawijaya sudah dikuasai Putri Campa. Proses ini kemudian disindir melalui tari jathil.
Menurut Hariadi, tari jathil awalnya bukan diperagakan oleh perempuan, tetapi laki-laki. Sebelum era 1980-an, tari jathil diperagakan oleh laki-laki tampan yang agak cantik. Hal ini ditunjukkan Ki Demang untuk menyindir bahwa prajurit Kerajaan Majapahit itu seperti banci.
Setelah itu, kesenian reog Ponorogo pun sering dimanfaatkan untuk memberikan satu kritikan. Kemudian pada era kepempimpinan Bupati Ponorogo, Soebarkah Poetro Hadiwirjo terjadi perubahan dalam kesenian tersebut.
Sebagaimana diketahui, Ponorogo sebelum 1984 dikenal sebagai kota warok yang menakutkan. Banyak huru-hara sehingga Soebarkah memiliki inisiatif agar para warok dikumpulkan menjadi insan takwa illahi. Kemudian para warok ditempatkan sesuai kapasitas dan posisinya untuk menjadi keamanan dari jogoboyo, kamituwo, dan seterusnya.
Selanjutnya, pada era Bupati Markum Singodimedjo, festival reog Ponorogo untuk pertama kalinya hadir. Beliau memiliki inisiatif agar warok dibuatkan tarian khusus sehingga ikut dipentaskan di Surabaya.
Versi Ki Bantarangin
Hariadi sendiri tidak tahu pasti siapa pelopor reog Ponorogo versi Bantarangin. Namun, cerita ini terus diabadikan secara lisan sehingga menjadi legenda.
Reog Ponorogo versi Bantarangin ini tidak lepas dari keberadaan Kerajaan Bantarangin yang bertempat di wilayah Sumoroto. Saat itu, terdapat raja kecil sakti yang dikenal bernama Prabu Klono Sewandono.
Kemudian di Kediri diketahui terdapat perempuan bernama Dewi Songgolangit. Ada banyak beberapa tokoh dan penguasa kecil yang hendak melamar perempuan itu termasuk Prabu Klono.
Dewi Songgolangit berkenan menerima pinangan asalkan seorang pria mampu menghadirkan sebuah tontonan yang belum ada sebelumnya. Maka itu, diputuskan Prabu Klono dengan sajian seni reog. Versi ini yang sekarang dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Menurut Hariadi, reog Ponorogo versi sekarang lebih nyaman karena tidak ada nuansa politik, agama dan lainnya. Reog Ponorogo murni dianggap sebagai kesenian sehingga dapat diterima oleh kalangan manapun termasuk kaum santri. Sebab, kisahnya hanya berhubungan dengan romantisme atau perjuangan cinta.
Hariadi sendiri tidak mempermasalahkan dua versi tersebut karena dianggap sama saja. "Ketika masyarakat dihadapkan dua pilihan mana yang diikuti, yang diikuti adalah tentunya jawabannya yang sekarang berjalan, diakui oleh masyarakat. Jadi, tidak usah menanyakan mana yang benar karena itu sekarang berdasarkan yang dimaui oleh masyarakat seperti apa," ujarnya.
Reog Ponorogo versi sekarang lebih nyaman karena tidak ada nuansa politik, agama dan lainnya.HARIADI, Budayawan sekaligus Praktisi Reog Ponorogo
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Biting Sejarah Majapahit yang Terlupakan di Lumajang
Situs Biting diyakini merupakan awal keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru.
SELENGKAPNYASejarah Benteng Keraton Yogya
Benteng Keraton Yogyakarta saat ini menjadi salah satu ikon budaya yang penting.
SELENGKAPNYATemu Karya Taman Budaya se Indonesia XXII 2023
Kegiatan tahunan ini diikuti oleh 28 provinsi ini untuk menjalin hubungan kerjasama antara Taman Budaya.
SELENGKAPNYAMuntilan dan Sejarah tak Terduga
Kawasan satelit di antara Yogyakarta dan Magelang ini memberikan daya tarik yang tak terduga dari kesejarahannya.
SELENGKAPNYA