Safari
Biting Sejarah Majapahit yang Terlupakan di Lumajang
Situs Biting diyakini merupakan awal keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Rekan saya mungkin baru pertama kali ini menghadapi uji kreativitas yang berat. Mengambil sudut foto menarik yang harus diabadikan. Yasin Habibi, rekan fotografer saya itu, mengamati dari berbagai arah, berjalan ke sana dan kemari.
Ada kesan tak menggairahkan saat menengok situs ini. Hanya tumpukan bata merah yang berantakan di sekeliling benteng, disusun sebisa-bisanya. Sebagian lainnya, hancur karena keberadaan proyek perumahan nasional di sana.
Lokasi Biting berada di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Lumajang. Biting, kata yang terpelintir dari lidah masyarakat Madura yang banyak mendiami kawasan ini. Biting diyakini memiliki kaitan dengan kata Benteng, merujuk keberadaan benteng kokoh berdiri mengelilingi kawasan ini.
Biting merupakan benteng pertahanan dan kawasan jantung kota yang diyakini berada pada era Majapahit Timur (abad ke-13 dan 14 Masehi). Luasnya 135 ha dengan tembok benteng mengelilinginya sepanjang 10 kilometer. Keberadaannya diyakini menjadi kisah awal mula keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru, kerajaan yang lahir pascaruntuhnya Kerajaan Kediri pada 1293 Masehi. "Di sinilah cikal bakal Majapahit Timur," kata Mansur Hidayat.
Mansur merupakan Koordinator Yayasan Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur), lembaga swadaya masyarakat yang berkenan menemani perjalanan kami di sepanjang Lumajang. Mansur, yang sudah banyak menghabiskan waktunya untuk penelitian di Biting, kemudian mengajak kami berkeliling di area situs. Bersama ia dan Sekretaris MPPM Timur Lutfia Amerta Sinjawani, jelajah bekas Kota Raja Lamajang Tigang Juru sesungguhnya berawal. Kawasan situs Biting, kata Mansur, merupakan pusat ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin raja bekas Adipati Madura di bawah kerajaan Kediri, Arya Wiraraja.
Dari keseluruhan area, kawasan ini hanya menyisakan sisa-sisa kecil fondasi benteng dan beberapa blok-blok di dalam situs yang kini telah berubah menjadi persawahan. Beberapa peninggalan lain yang juga hampir berubah bentuk, adalah sekitar enam titik di mana sekeliling benteng didirikan sebuah pengunggakan, (menara pengawas--bastion) tempat memantau musuh. Ada yang sedikit utuh dan lainnya yang telah tertutup rumput liar.
Satu hal yang juga disayangkan, tak ada penunjuk bahkan penanda masuk bagi siapa pun pengunjung yang datang. Kawasan ini tak ubahnya kawasan tanpa denyut, yang mungkin hanya cukup bersyukur karena masih ada sawahnya yang subur, permukiman masyarakat tani, dan juga juga hutannya yang masih perawan.
Padahal, lahan ini sangat potensial untuk penelitian. Berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektare yang mencakup 6 blok/area berupa: Blok Keraton (76,5 ha), Blok Jeding (5 ha), Blok Biting (10,5 ha), Blok Randu (14,2 ha), Blok Salak (16 ha), dan Blok Duren (12,8 ha).
Pembagian wilayah Majapahit
Biting semestinya bisa menjadi catatan baru dalam deret ensiklopedia kerajaan nusantara. Jika diadakan lebih jauh penggalian sejarah disertai pelestarian, kata Mansur, kawasan ini bisa menjadi cikal bakal keberadaan benteng terbesar pada masa Majapahit.
Sebab, katanya, keberadaan kerajaan Lamajang Tigang Juru tidak bisa terpisahkan dari "Perjanjian Sumenep" antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja pada 1293. Perjanjian itu, katanya, terjadi seperti dikisahkan Prasasti Kudadu. Disebutkan ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, maka Arya Wiraraja yang saat itu menjabat sebagai adipati di Madura memberikan bantuan kepada Raden Wijaya untuk melawan pemerintahan Raja Jayakatwang asal Kerajaan Kediri. Jayakatwang sendiri memimpin Kediri seusai menewaskan mertua Raden Wijaya, yaitu Raja Kertanegara, raja Singosari.
Setelah diruntuhkannya Kerajaan Kediri-Jayakatwang melalui bantuan tentara Mongol Tartar, Raden Wijaya memimpin babak baru Majapahit di belantara daerah yang dulu dipintanya kepada Jayakatwang (hutan terik). Situasi politik yang semakin membaik, membuat Raden Wijaya memenuhi janjinya dibaginya kekuasaan di Pulau Jawa (Singosari) sama besar kepada Arya Wiraraja. Majapahit sendiri dideklarasikan pada 10 November 1293 berdasarkan tuturan Kidung Harsawijaya.
Dalam pembagian wilayah, Arya Wiraraja memimpin wilayah Majapahit di sebelah Timur, yang kemudian dideklarasikan atas nama Kerajaan Lamajang Tigang Juru pada 1294. Kerajaan Lamajang Tigang Juru memiliki daerah kekuasaan di kawasan Tapal Kuda (Lumajang, Situbondo, Blambangan, Madura, dan sebagian wilayah Bali). Sedangkan Majapahit di bawah kekuasaan Raden Wijaya memimpin daerah kekuasaan di wilayah Barat seperti Malang (bekas Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian Barat dan diyakini memiliki pusat pemerintahan di Trowulan.
"Ibu kota Lamajang Tigang Juru berada di tempat yang kita pijaki ini," kata Mansur yang juga penulis buku Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru (2013) tersebut. Biting dalam beberapa kitab dan kidung, dulu dikenal dengan nama daerah Arnon.
Riwayat Kemurkaan Arya Wiraraja
Kemurkaan seorang ayah. Begitu ceritanya. Menurut Mansur Hidayat, sejarah menunjukkan bahwa pembangunan benteng yang mengelilingi kota raja Arnon, merupakan buah amarah dari Arya Wiraraja yang mendapati kabar bahwa salah satu putranya, Ronggolawe, tewas terbunuh.
Sang putra yang menjabat adipati Tuban, terbunuh karena fitnah dari salah satu tokoh licik Majapahit yang dikenal dengan nama Mahapati.
Daerah ini kemudian yang juga membuatnya hingga saat ini dikenal dengan Kutarenon. Kuta, kata Mansur, dalam bahasa Jawa kuno memiliki arti benteng atau istana. Sedangkan renon mungkin berkaitan dengan renu yang memiliki arti kemarahan.
Mansur merujuk catatan akan kemarahan Arya Wiraraja kepada kerajaan yang telah ia besarkan. "Kematian Ronggolawe membuat situasi politik dan hubungan kedua kerajaan mulai terkoyak," kata Koordinator Yayasan Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) Mansur Hidayat.
Pola lekukan dinding-dinding benteng Situs Biting tergolong unik. Tembok yang mengelilingi kota raja, dibuat mengikuti arus sungai yang mengelilingi kawasan keraton.
Situs Biting dikelilingi empat aliran sungai, tiga di antaranya merupakan sungai yang cukup besar di Lumajang. Sungai Bondoyudo di utara, Sungai Bodang di timur, dan Sungai Ploso di sebelah barat.
"Satu-satunya benteng yang memanfaatkan kondisi alam," kata Mansur menambahkan. kondisi ini menjadikan situs Biting sebagai prototipe benteng model nusantara. Selain berfungsi sebagai pertahanan alam, keberadaan sungai juga memiliki fungsi transportasi dan perdagangan.
Selamatkan Biting
Peneliti peninggalan Majapahit yang juga ketua tim ekspedisi Universitas Surabaya Hadi Sidomulyo menyebut peran Biting memiliki arti penting dalam dunia penelitian. "Perlu dan wajib diselamatkan," kata Hadi Sidomulyo.
Namun, pria keturunan Inggris itu belum dapat memastikan keabsahan Situs Biting sebagai warisan Arya Wiraraja bersama kerajaan Lamajang Tigang Jurunya. Ada kemungkinan lain, kata Hadi, Biting adalah warisan Kerajaan Blambangan, yang memang sempat memusatkan pemerintahan di sana pada sekitar abad ke-16 pascaruntuhnya Majapahit.
Ini berkaitan dengan keyakinan masyarakat tentang petilasan Minak Koncar di Situs Biting, yang diyakininya merupakan raja Blambangan. Keberadaan pemerintahan dan pembuatan benteng, kata Hadi, memungkinkan lantaran Blambangan yang saat itu juga mawas diri dari serangan kerajaan Mataram Islam.
"Tapi semua itu, termasuk Blambangan, butuh penelitian lebih jauh secara disiplin arkeologis," katanya menambahkan. Yang terpenting Situs Biting itu lebih dulu harus dijaga.
Soal sejarah, Hadi mengamini bahwa Kutorenon, lokasi tempat situs itu berdiri memang menggores catatan sejarah keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru. Yakni, kerajaan yang berdiri dalam status otonomi setara dengan Majapahit. "Pembagian wilayah antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja memang tidak bisa terbantahkan," katanya.
Peneliti senior dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Gunadi Kasnowihardjo, menyebut bahwa pelestarian Situs Biting merupakan tugas bersama, baik masyarakat, pemerintah, maupun para peneliti arkeolog. Ia menyebut penelitian yang dilakukannya setahun silam merupakan upaya pengingatan kembali kepada masyarakat, bahwa ada situs penting di sana. "Ya, tahun kemarin penelitian dilakukan setelah ramai ada proyek perumahan di sana," katanya.
Gunadi bersama timnya di Balai Arkeologi Yogyakarta belum dapat memastikan bahwa Biting, secara fisiknya merupakan peninggalan Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru. Perlu penelitian lebih lanjut, kata Gunadi, dengan menyeleraskan data-data sejarah dengan temuan arkeologis berikutnya. Hingga penelitian kemarin, timnya belum dapat menentukan umur dari tumpukan bata yang tersusun di desa Kutorenon tersebut.
"Satu hal yang mungkin menjadi benang merah, susunan benteng itu dibuat dalam suasana yang tidak nyaman, dibuat dalam waktu singkat," tambah dia. Ini mengingatkan dengan peristiwa kewaspadaan Arya Wiraraja dalam menyambut serangan Majapahit.
Disadur dari Harian Republika edisi 13 April 2014 dengan reportase Angga Indrawan dan foto-foto Yasin Habibi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Muntilan dan Sejarah tak Terduga
Kawasan satelit di antara Yogyakarta dan Magelang ini memberikan daya tarik yang tak terduga dari kesejarahannya.
SELENGKAPNYAJokowi dan Kostum Raja Jawa Itu
Pakaian adat tahun ini dinilai tegaskan keuasaan Jokowi.
SELENGKAPNYAMenuju Desa Tertinggi se-Jawa
Warga Sembungan tak segan-segan menyapa lebih dulu sambil mengulas senyum.
SELENGKAPNYA