Gaya Hidup
Studi: Masyarakat tidak Berencana Melindungi Diri dari Polusi
Mengonsumsi antioksidan yang merupakan senjata untuk melawan radikal bebas
Polusi udara menjadi isu yang marak diperbincangan belakangan ini, khususnya di DKI Jakarta. Sebab, menurut situs pemantau udara IQAir, Jakarta menjadi kota yang masuk dalam kategori dengan skor tidak sehat. Sementara, Tangerang Selatan masih mengungguli Jakarta.
Adanya udara yang tidak sehat ini menimbulkan pertanyaan, apakah masalah ini sebenarnya sudah membuat warga Jakarta melindungi diri? Menurut studi yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) pada 1.843 warga Jakarta, pemaknaan warga Jakarta terhadap isu polusi udara dan potensi perilaku melindungi diri, ternyata masih rendah.
Studi yang dilakukan dengan pengukuran self-care behavior warga Jakarta sejak awal Agustus 2023 mengungkapkan warga Jakarta sangat tahu ada polusi udara. Namun, mereka tidak bisa melihat, tidak merasakan dampak buruk, dan belum melihat bukti nyata bahwa masalah polusi udara sedang terjadi di Jakarta.
View this post on Instagram
"Ini sangat tidak menguntungkan dalam kebijakan kesehatan karena fakta yang terjadi adalah polusi udara di Jakarta itu benar dan sudah keadaan genting dan dampaknya ada. Tapi, sayangnya secara konsep pemaknaan, warga Jakarta belum memaknai ini sebagai bahaya sehingga belum secara mandiri ingin melindungi diri," kata peneliti Utama HCC Dr dr Ray Wagiu Basrowi MKK.
Analisis lanjutan dari penelitian HCC menemukan sebagian besar warga Jakarta, yakni 65 persen atau tujuh dari 10 warga Jakarta, bahkan berpotensi untuk tidak berniat melindungi diri dari polusi udara. Potensinya itu besarannya hingga 10 kali lipat.
Hal ini disebabkan belum ada pemaknaan mendasar bahwa polusi udara itu seperti apa wujudnya di Jakarta dan seserius apa dampaknya bagi kesehatan dan kualitas hidup warga. Studi juga menemukan temuan terkait sumber informasi dan perspektif perilaku kesehatan secara umum.
Menurut studi, 49 persen atau satu dari dua warga Jakarta sudah mengetahui isu atau berita polusi udara dari media. Namun, sebanyak 32 persen atau tiga dari 10 warga Jakarta tidak memahami jelas informasi tersebut.
Akibatnya, 29 persen atau tiga dari 10 warga Jakarta tidak bisa melihat bukti nyata ada polusi udara yang parah terjadi di Jabodetabek dan kota besar di Indonesia. Penelitian Health Belief Model yang dilakukan peneliti dr Ray bersama peneliti pendamping Yoli Farradika MEpid ini dilakukan dengan model cross-sectional dan menggunakan instrument self-care behaviour kuesioner secara daring yang tervalidasi, memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 2,28.
Artinya, penelitian ini bisa dipercaya mewakili kondisi pemaknaan dan potensi perilaku yang sebenarnya dari warga Jakarta. Dari hasil penelitian, tim peneliti HCC merekomendasikan agar dilakukan revisit model edukasi dan penyebaran informasi ke masyarakat.
Pastikan bahwa pesan 'Ada polusi udara di Jakarta’ dengan bahasa konkret dan terus-menerus. Kemudian perlindungan terhadap warga harus makin intensif dan masif karena warga yang tidak punya pemahaman penuh tentang polusi udara di Jakarta akan terus beraktivitas seperti biasa.
Untuk warga Jakarta yang tetap harus bekerja, mitigasi di lingkungan kerja serta perlidungan pekerja yang perlu dan akses transportasi akan meningkatkan potensi paparan polutan. Jadi, perlindungan pekerja harus segera dan mendesak dan pemerintah perlu melanjutkan strategi menurunkan kadar polusi udara Jakarta, baik dari emisi kendaraan bermotor maupun aktivitas industri.
Lansia Lebih Berisiko
Salah satu kelompok yang lebih berisiko dari paparan polusi udara adalah kelompok lansia. Sebab, reaksi stres oksidatif pada lansia jauh lebih berisiko dibanding orang yang lebih muda.
Peneliti Utama Health Collaborative Center (HCC) Dr dr Ray Wagiu Basrowi MKK, mengatakan, tahapan awal saat orang terkena polusi dan tidak mampu mengatasi dampaknya adalah stres oksidatif.
Tubuh akan memastikan radikal bebas diserang. Ini berarti polutan yang masuk akan dilawan sedemikian rupa oleh tubuh sehingga menimbulkan reaksi radang.
"Kalau tubuh sudah bereaksi berlebihan akan capek. Kebayang kan para lansia yang sudah pasti punya penyakit komorbid berarti organ-organ sistem imun sebagian besar sudah dipakai untuk menjaga penyakit yang ada dalam tubuh tidak memburuk. Ini ditambah lagi dengan polusi udara," kata Ray.
Menurut beberapa studi, orang lansia yang terkena paparan logam berat, lebih mudah terkena penyakit penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Nantinya, ini akan menimbulkan risiko yang berlipat ganda.
"Tubuh orang lansia lebih tidak mampu dengan stres oksidatif. Lebih mudah menderita penyakit yang lebih berat. Tentunya, biaya pengobatannya jauh lebih besar yang artinya secara ekonomi tidak menguntungkan," ujarnya.
Oleh karena itu, Ray menyarankan untuk mengonsumsi antioksidan yang merupakan senjata untuk melawan radikal bebas supaya tidak terjadi stres oksidatif. Antioksidan bisa didapat dari vitamin dan mineral serta serat yang diperoleh dari buah dan sayuran.
Bisa juga mengonsumsi sinbiotik, yaitu kombinasi antara prebiotik dan probiotik. Ray menjelaskan itu sangat bagus agar bakteri-bakteri baik yang ada di sistem pencernaan mendapat asupan makanan.
"Kalau kita berikan asupan serat, prebiotik dan probiotik akan lebih kuat. Mereka mampu berkoloni dan mengaktifkan sistem daya tahan tubuh. Kalau sudah seperti itu, stres oksidatif bisa ditekan," ujarnya.
Tubuh orang lansia lebih tidak mampu dengan stres oksidatif.DR RAY WAGIU BASROWI, Peneliti Utama Health Collaborative Center (HCC).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Polusi Udara Berdampak pada Perekonomian
Banyak studi menunjukkan tingginya polusi udara berkorelasi dengan sering absennya pekerja.
SELENGKAPNYAMelindungi Masa Depan Anak dari Jahatnya Polusi Udara
Otak anak masih dalam tahap tumbuh kembang, sehingga jika terganggu oleh polutan, maka fungsinya akan terganggu
SELENGKAPNYAMengejar Solusi Jangka Panjang untuk Atasi Urgensi Polusi
Patut dicurigai, meningkatnya pasien GERD di ruang-ruang praktik dokter juga disebabkan kualitas udara yang buruk.
SELENGKAPNYAUpaya Menekan Polusi Jakarta Masih Samar
Kualitas udara di Jabodetabek dalam kategori tidak sehat.
SELENGKAPNYA