Iqtishodia
Akselerasi Peremajaan Kakao Melalui Inovasi Kelembagaan Petani
Dalam melakukan peremajaan diperlukan suatu pendekatan kelembagaan yang inovatif.
Rahmat Yanuar (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB), Tursina Andita Putri (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB)
Kakao telah lama menjadi komoditas berharga dan menjadi bahan dasar bagi cokelat yang disukai jutaan orang di seluruh dunia. Indonesia sampai saat ini masih dikenal sebagai salah satu negara produsen utama kakao di dunia. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Indonesia saat ini tidak lagi menjadi negara produsen tiga teratas seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2015, Indonesia masih menempati posisi ketiga setelah Pantai Gading dan Ekuador. Namun, sejak 2016, posisi Indonesia terus menurun. Menurut The International Cocoa Organization, pada 2021 posisi Indonesia berada di urutan ke-7 sebagai negara produsen kakao di dunia dengan produksi 170 ribu ton.
Turunnya posisi Indonesia sebagai negara produsen kakao di dunia tentu sangat terkait dengan jumlah produksi kakao yang menurun dari tahun ke tahun. Produktivitas kakao Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan daerah produsen utama kakao di dunia. Pada 2018, produktivitas tanaman kakao di Indonesia adalah 0,48 ton per hektare. Adapun produktivitas kakao Pantai Gading tercatat sebesar 0,49 ton per hektare dan Ghana 0,53 ton per hektare.
Penurunan produksi dan produktivitas disebabkan oleh banyak hal, seperti sebagian tanaman sudah tua (lebih dari 15 tahun) dan rusak berat. Penyebab lainnya adalah adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD) yang telah merusak sebagian besar tanaman kakao. Lalu, sebagian besar petani belum menggunakan klon/varietas unggul serta kurang intensifnya pemeliharaan yang dilakukan oleh petani.
Melihat kasus pada dua wilayah sentra produksi kakao di Indonesia, yakni Lampung dan Sulawesi, beberapa fakta dapat diketahui yang kemudian menjadi gambaran yang menjelaskan kondisi kakao di Indonesia. Hasil studi baseline yang dilakukan oleh PSP3 IPB dan IFC (2021) menunjukkan bahwa untuk wilayah Lampung, umur tanaman kakao mayoritas berkisar pada umur 11-20 tahun dan 21-30 tahun. Artinya, di wilayah Lampung tanaman sudah cukup tua dan membutuhkan peremajaan.
Hal ini berbanding terbalik dengan di wilayah Sulawesi, tanaman kakao relatif berumur lebih muda. Implikasinya dapat dilihat pada produksi dan produktivitasnya, di mana produksi dan produktivitas kakao di Lampung relatif rendah dibandingkan dengan di Sulawesi.
Penurunan produksi, fluktuasi harga, masalah lingkungan, dan tuntutan pasar yang semakin ketat telah mendorong para pemangku kepentingan di industri kakao untuk mencari solusi yang lebih berkelanjutan. Dalam upaya mengatasi tantangan ini, peremajaan kakao menjadi salah satu solusi. Namun, dalam melakukan peremajaan ini diperlukan suatu pendekatan kelembagaan yang inovatif agar dapat mewujudkan pembangunan agribisnis kakao yang berkelanjutan.
Peremajaan kakao dalam konteks agribisnis merujuk pada serangkaian tindakan strategis untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, dan keberlanjutan ekonomi lingkungan dalam industri kakao. Ini melibatkan penggantian tanaman tua yang tidak produktif dengan varietas baru yang lebih tahan terhadap penyakit dan kondisi lingkungan yang berubah.
Sebagian besar petani di Indonesia enggan untuk melakukan peremajaan tanaman.
Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada peningkatan hasil panen, tetapi juga pada pemberdayaan petani dan perlindungan lingkungan. Peremajaan kakao bisa saja dilakukan melalui teknik replanting (membongkar seluruh kebun kakao dan menanam kembali bibit kakao yang lebih unggul, maupun teknik grafting (menyambung cabang-cabang atau tunas) dari varietas kakao unggul pada pohon kakao yang ada saat ini.
Dalam upaya peremajaan kakao, sebagian besar petani di Indonesia enggan untuk melakukan peremajaan tanaman di kebunnya dikarenakan beberapa hal. Pertama, proses peremajaan membutuhkan biaya yang tinggi. Kedua, kurangnya pemahaman pentingnya melakukan peremajaan. Penyebab ketiga, tidak ada akses ke bibit unggul. Keempat, tidak adanya insentif yang cukup untuk melakukan peremajaan. Sedangkan, faktor kelima adalah potensi kehilangan sumber pendapatan dari tanaman kakao selama tanaman baru belum menghasilkan.
Berbagai alasan itu hambatan besar untuk melakukan pengembangan agribisnis kakao berkelanjutan. Karena itu diperlukan adanya solusi yang inovatif agar dapat mempercepat upaya peremajaan tanaman kakao rakyat, seperti dengan mendorong upaya peremajaan dengan tanaman sela.
Pola tanam kakao dengan tanaman sela bisa menjadi solusi bagi petani yang takut kehilangan pendapatan karena harus melakukan peremajaan. Petani dapat memanfaatkan hasil dari tanaman sela untuk memenuhi cash flow jangka pendeknya sebelum tanaman kakao hasil replanting mulai berproduksi. Selain dapat memenuhi kebutuhan pendapatan jangka pendek, penanaman tanaman sela dapat memberikan beberapa manfaat, seperti pemanfaatan lahan lebih efisien, kebun dan tanamannya lebih terpelihara dengan baik dan tersedianya bahan pangan bagi petani.
Sebenarnya pola tanam dengan tanaman sela ini bukan hal baru, karena pola tanam ini juga diadopsi oleh petani pada komoditas perkebunan lainnya, seperti kelapa sawit, kopi dan komoditas lainnya. Namun, sering upaya ini terhambat dengan permodalan baik untuk membiayai tanaman yang akan di-replanting dan modal untuk tanaman selanya. Di sisi lain, lembaga keuangan masih enggan untuk memberikan pembiayaan bagi kegiatan peremajaan ini dikarenakan faktor risiko yang tinggi dan tingkat return dari investasi tanaman replanting yang cukup lama.
Diperlukan suatu inovasi kelembagaan petani yang dapat mengurangi hambatan pelaksanaan program peremajaan.
Menghadapi persoalan pembiayaan tersebut, diperlukan suatu inovasi kelembagaan petani yang dapat mengurangi hambatan pelaksanaan program peremajaan kakao rakyat. Salah satu contoh adanya upaya dalam inovasi kelembagaan petani untuk peremajaan kakao adalah apa yang dilakukan oleh Koperasi Bina Sejahtera di Kecamatan Wai Ratai, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
Permasalahan utama petani kakao di sana, yaitu memiliki produktivitas rendah akibat umur tanaman yang sudah tua dan berimplikasi rendahnya motivasi petani untuk melakukan upaya perawatan tanaman kakao tersebut. Oleh karena itu, diinisiasi beberapa tokoh petani dan kepala desa di Desa Ceritain Asri, didirikan koperasi dengan model bisnis kemitraan closed loop untuk peremajaan tanaman kakao dengan tanaman sela.
Para pendiri koperasi itu menyadari bahwa peremajaan (replanting) merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk mengembalikan kejayaan kakao di wilayah tersebut. Namun, solusi peremajaan (replanting) harus juga dapat mengatasi faktor kehilangan pendapatan yang dialami petani karena kakao yang belum berproduksi dengan menanam tanaman sela potensial di lahan peremajaan.
Pemilihan tanaman sela potensial penting dilakukan untuk menghindarkan petani dari menanam tanaman yang kemudian berpotensi untuk rugi sehingga cash flow yang dihasilkan tidak dapat menutupi biaya peremajaan apalagi menutupi potensi pendapatan yang hilang akibat peremajaan. Pemilihan tanaman potensial ini dengan memperhatikan aspek akses pasar, fluktuasi harga, dan kultur budi daya yang telah dimiliki oleh petani.
Dengan inovasi yang dilakukan oleh pengurus, koperasi kemudian mengembangkan pola tanaman tumpang sari kakao dengan pisang khususnya pisang barangan, di mana tanaman pisang ini sudah menjadi kultur dalam kegiatan bertani masyarakat di sana, cash flow yang diperoleh dalam setahun dan harga yang relatif stabil. Dengan model kemitraan closed loop, koperasi membantu menyalurkan komoditas pisang yang dihasilkan oleh petani kepada offtaker.
Kelembagaan koperasi memudahkan untuk menjalin kemitraan dengan pihak perusahaan distributor produk hortikultura karena koperasi berperan sebagai pihak penjamin baik dari sisi kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya. Sedangkan, dari sisi pembiayaan, koperasi berperan sebagai penghubung dengan pihak lembaga keuangan untuk membiayai kegiatan replanting mereka.
Dalam kaitan dengan pembiayaan ini, untuk mengatasi biaya replanting yang mahal, koperasi berperan sebagai avalis dan bekerja sama dengan Bank Lampung yang menawarkan pinjaman KUR (bunga 6 persen) dengan pola pembayaran Yarnen, bayar setelah tanaman pisang dipanen kurang lebih 8-9 bulan.
Besaran modal yang diberikan ke petani adalah Rp 25 juta rupiah per hektare lahan. Namun demikian, dalam penyalurannya koperasi tidak memberikan dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk upah kerja bagi tenaga bongkaran, saprotan, dan input lainnya. Dalam rangka menjamin kualitas produk yang dihasilkan (baik kakao dan pisang), koperasi bekerja sama dengan BUMDES dan juga mitra yang menghasilkan bibit kakao varietas unggul, yakni MCC002 dan juga pupuk organik.
Dari 2021 (koperasi berdiri) hingga saat ini, upaya koperasi untuk mendorong peremajaan kakao sudah memperlihatkan hasil. Terlihat dengan jumlah anggota koperasi telah meremajakan kakao mencapai total luas areal 300 hektare dan hal ini terus akan bertambah sering meningkatnya kesadaran petani untuk melakukan peremajaan kakao. Ke depan, koperasi terus akan membangun kerja sama dengan mitra di subsistem hulu maupun hilir, sehingga terjadi integrasi dalam rangka mewujudkan agribisnis kakao yang berkelanjutan.
Kesimpulannya, peremajaan kakao adalah langkah inovatif dalam membangun agribisnis kakao yang berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang memperbarui tanaman, tetapi juga tentang menciptakan fondasi yang lebih kuat untuk masa depan industri kakao yang cerah, berdaya saing, dan berwawasan lingkungan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.