Iqtishodia
Pekerjaan Rumah Tata Kelola Cadangan Pangan Daerah
Diperlukan kerja sama antara pemerintah daerah dalam pengelolaan cadangan pangan.
OLEH Anisa Dwi Utami (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB), Prof Dr Harianto (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB)
Cadangan pangan pemerintah daerah (CPPD) merupakan satu hal strategis dalam upaya pencapaian ketahanan pangan nasional sekaligus menjadi indikator kinerja pemerintah daerah. Hal ini tercantum pada UU Nomor 23 Tahun 2014 Bidang Pangan.
UU tersebut mengamanahkan bahwa dalam penyelenggaraan ketahanan pangan, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota melakukan pengelolaan cadangan pangan dan menjaga keseimbangan cadangan pangan. Menurut PP nomor 17 Tahun 2015, terdapat dua prinsip dalam pembentukan cadangan pangan nasional yang harus dipenuhi.
Prinsip pertama, cadangan pangan dilakukan melalui pembelian pangan pokok tertentu yang diutamakan bersumber dari produksi dalam negeri, meskipun juga dapat dilakukan impor apabila produksi dan cadangan pangan nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Prinsip kedua, cadangan pangan nasional merupakan suatu sistem cadangan terintegrasi yang terdiri atas cadangan pangan pemerintah pusat yang dikelola oleh Bulog, cadangan pangan pemerintah daerah yang dikelola dan didanai oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah desa, serta cadangan pangan masyarakat yang dikuasai dan dikelola oleh pedagang, komunitas, dan rumah tangga.
Sangat pentingnya pengelolaan cadangan pangan juga tecermin dari Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pada Permendagri tersebut, ketersediaan cadangan pangan menjadi salah satu Indikator Kinerja Kunci (IKK) pemerintah daerah sehingga hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah dianggap baik jika dapat memenuhi ketersediaan cadangan pangan pemerintah daerahnya.
Pengelolaan cadangan pangan daerah sebetulnya tidak hanya terbatas pada komoditas beras, tetapi hingga saat ini sebagian besar wilayah masih terbatas pada komoditas beras sebagai cadangan pangan. Meskipun secara konstitusi, melalui UU Pangan (UU Nomor 18 Tahun 2012) dan UU Pemerintah Daerah (UU Nomor 23 Tahun 2014) telah mengamanatkan adanya pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah di setiap wilayah di Indonesia, tetapi pada praktiknya implementasinya belum optimal.
Sesuai dengan amanat undang-undang tersebut, pemerintah daerah diharapkan memiliki kerangka regulasi melalui peraturan daerah. Menurut rilis Badan Pangan Nasional, hingga 2023 baru terdapat 11 provinsi yang telah memiliki peraturan daerah mengenai CPPD, 19 provinsi dengan peraturan gubernur, dan masih ada empat provinsi yang sama sekali belum memiliki peraturan terkait CPPD.
Adapun jika dilihat pada level pemerintah kabupaten/kota saat ini, baru terdapat empat provinsi di Indonesia, yaitu DIY, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, dan Gorontalo, dengan persentase 100 persen kabupaten/kota yang telah memiliki regulasi CPPD di daerahnya. Adapun dari aspek pengelolaan, sebagian besar masih mengandalkan kerja sama dengan BUMN pangan, dalam hal ini terutama adalah Bulog.
Selain dari aspek regulasi, satu hal penting terkait pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah adalah terkait penetapan berapa jumlah cadangan pangan yang harus dikelola tersebut. Penentuan jenis dan jumlah cadangan pangan pemerintah yang tepat sangat penting dilakukan dalam konteks tata kelola cadangan pangan yang efektif dan efisien.
Sesuai dengan tujuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah, faktor kebencanaan dan kondisi kerawanan pangan masyarakat merupakan indikator utama yang perlu diperhatikan dalam penentuan jumlah dan jenis cadangan pangan pemerintah daerah. Kemampuan daerah, baik dari sisi produksi pangan maupun kemampuan anggaran, juga perlu diperhatikan dalam menentukan cadangan pangan pemerintah daerah selain jumlah kebutuhan cadangan pangan.
Sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 17 Tahun 2015, cadangan pangan pemerintah perlu memperhatikan aspek produksi sehingga dalam perumusan jumlah cadangan pangan bahwa sumber utama penyediaannya berasal dari produksi pangan di wilayah terkait. Dengan kata lain, daerah yang memiliki kemampuan produksi pangan lebih besar diharapkan akan mampu menyediakan cadangan pangan yang juga lebih besar.
Selanjutnya, dalam penyediaan cadangan pangan, peristiwa bencana alam merupakan faktor risiko yang penting untuk diperhitungkan mengingat kejadian bencana alam akan berpengaruh secara signifikan terhadap produksi pangan dan juga stabilitas harga pangan, baik secara langsung pada tingkat daerah maupun tidak langsung pada tingkat nasional.
Dalam penyediaan cadangan pangan, peristiwa bencana alam merupakan faktor risiko yang penting untuk diperhitungkan
Situasi kebencanaan maupun kerawanan pangan yang dinamis atau berbeda antarwilayah memungkinkan adanya kebutuhan intervensi dari pemerintah pada level yang lebih tinggi. Oleh karena itu, cadangan pangan pemerintah provinsi sebaiknya berfungsi sebagai buffer stock dari kebutuhan cadangan pangan di tingkat kabupaten/kota. Adapun Penetapan CPPD pada level Kabupaten/Kota selain memperhatikan faktor tingkat produksi, juga melihat kemampuan anggaran setiap Kabupaten/Kota.
Saat ini, Badan Pangan Nasional sebagai koordinator pengelolaan cadangan pangan nasional telah mengeluarkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 15 Tahun 2023 yang mengatur tentang tata cara penghitungan jumlah cadangan beras pemerintah daerah. Sebelum peraturan Bapanas tersebut dikeluarkan, penghitungan jumlah cadangan pemerintah daerah merujuk pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2008. Pada permentan tersebut, jumlah cadangan beras pemerintah daerah didasarkan pada jumlah penduduk, tingkat konsumsi per kapita, dan proporsi terhadap total cadangan nasional.
Dengan mengacu pada formulasi tersebut, jumlah cadangan pangan pemerintah daerah menjadi overestimate sehingga berdampak pada tidak tercapainya target cadangan pangan di hampir seluruh wilayah di Indonesia baik level provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini pula yang menjadi catatan besar dalam evaluasi kinerja pemerintah daerah yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Merujuk kembali pada poin-poin yang tertuang dalam regulasi bahwa urgensi pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah adalah dalam kerangka antisipasi kondisi kerawanan pangan, risiko bencana, dan kedaruratan serta dampak gejolak harga pangan (stabilisasi harga pangan). Sebagai bentuk evaluasi, Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 15 Tahun 2023 menetapkan jumlah cadangan pangan pemerintah daerah berdasarkan beberapa indikator yang meliputi faktor risiko bencana, tingkat kerawanan pangan, jumlah produksi, dan kemampuan anggaran pemerintah daerah selain indikator jumlah penduduk dan konsumsi per kapita.
Secara praktik, penghitungan jumlah cadangan pangan pemerintah daerah sangat bergantung pada ketersediaan data yang valid di masing-masing level pemerintahan. Oleh karena itu, dalam konteks tata kelola, formulasi penghitungan cadangan pangan pemerintah daerah juga berhubungan dengan bagaimana koordinasi dan manajemen data secara keseluruhan di antara lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Validitas dan aksesibilitas data yang dibutuhkan menjadi krusial yang akan berimplikasi pada sejauh mana cadangan pangan ini dapat dikelola secara efektif dan efisien.
Tata kelola cadangan pangan pemerintah daerah perlu memperhatikan skala ekonomi sesuai dengan kebutuhan di masing-masing wilayah
Pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah merupakan serangkaian proses yang tidak hanya sampai pada penetapan penghitungan jumlahnya, tetapi juga berkaitan mulai dari aspek pengadaan, penyaluran, dan pengelolaannya. Pengadaan cadangan pangan umumnya dapat direncanakan dengan baik, tapi penyalurannya sering bermasalah seperti ketidakjelasan waktu dan bagaimana menyalurkan cadangan pangan dilakukan pada saat tidak terjadi kondisi kedaruratan.
Keseluruhan proses tersebut tentu saja berimplikasi pada besaran biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Beberapa konsekuensi biaya muncul dalam pengelolaan cadangan pangan pemerintah ini, paling tidak meliputi capital cost, service cost, storage cost, dan risk cost. Oleh karena itu, dari perspektif ekonomi, tata kelola cadangan pangan pemerintah daerah perlu memperhatikan skala ekonomi sesuai dengan kebutuhan di masing-masing wilayah.
Meskipun sampai dengan hari ini cadangan pangan pemerintah daerah masih berkutat pada komoditas beras, tetapi ke depannya keragaman jenis pangan lainnya juga perlu diperhatikan dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Aspek dinamika harga pangan yang mungkin saja berbeda di masing-masing wilayah, misalnya antara daerah surplus dan defisit juga perlu diperhatikan. Apalagi jika jika cadangan pangan pemerintah daerah juga dijadikan sebagai instrumen stabilisasi harga pangan.
Merujuk pada dinamika wilayah Indonesia yang sangat luas dengan berbagai macam karakteristik, baik fisik maupun sosial ekonomi masyarakatnya, maka tata kelola cadangan pangan pemerintah daerah ini bukan hanya menjadi pekerjaan masing-masing daerah. Diperlukan pula koordinasi antara wilayah dan kerja sama antara pemerintah daerah dalam pengelolaan cadangan pangan, terutama pada saat terjadi bencana maupun kondisi kedaruratan lainnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.