Liputan Khusus
Kotak Pandora di Pegunungan Papua
Kelaparan di kabupaten Puncak mencerminkan banyaknya pekerjaan rumah pemerintah.
Oleh FITRIYAN ZAMZAMI, BAMBANG NOROYONO
“Yang terjadi sebenarnya, warga di atas (Puncak) tidak punya lagi sumber makanan karena kekeringan di sana. Di atas, turun itu seperti salju dia, yang kalau kita hirup, itu seperti menghirup racun. Jatuh ke tanaman dia, tanamannya mati sampai ke akar-akarnya, tanah menjadi kering.”
Sukar membayangkan bahwa di negara yang diklaim subur seperti Indonesia bisa terjadi kelaparan. Tapi, demikianlah kesaksian yang disampaikan Anis Labene, seorang pemuda asal Kabupaten, Papua Tengah, kepada Republika. Ia menceritakan, kondisi tersebut sudah terasa sejak Juni 2023. Namun, bantuan yang dikirimkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat baru mengalir pada Agustus ini.
Enam warga, Labene mengatakan, meninggal dunia karena kondisi di Kabupaten Puncak tersebut, termasuk satu balita. Mereka yang meninggal dunia sudah tentu karena kehabisan sumber makanan di wilayahnya. Kebanyakan warga, kata Labene, selama ini, berkebun menanam umbi-umbian. “Karena tanaman masyarakat banyak yang mati, ternak banyak yang mati, masyarakat tidak bisa kasih makan, ” ujar dia.
Kejadian kelaparan tersebut juga seperti kotak pandora. Ia mencerminkan banyak hal yang belum beres di Tanah Papua selama ini. Bukan hanya soal kerawanan pangan, tetapi juga sukarnya warga Papua di wilayah pegunungan mengakses fasilitas-fasilitas mendasar untuk hidup secara layak.
Labene menuturkan, banyak dari warga di pegunungan yang mengungsi ke tempat yang lebih rendah sudah dalam kondisi sakit. Di Puncak, kata Labene, sulit mencari akses kesehatan. “Banyak dari mereka yang mengalami muntah-muntah darah, mencret, demam tinggi, mengalami pusing, dan sakit kepala,” ujar Labene.
Kematian warga disebabkan tak adanya penanganan kesehatan bagi warga yang sakit karena kekurangan pangan. Kabupaten Puncak memiliki satu gedung rumah sakit, tapi sampai saat ini gedung tersebut belum berfungsi. Pemerintah pusat, kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, malah akan menggunakan bangunan tak terpakai itu untuk lumbung pangan selepas adanya bencana kelaparan.
Ketiadaan pangan adalah satu hal. Ia bisa ditangani bila pasokan bantuan dari luar daerah masuk. Di sini permasalahan selanjutnya di wilayah pegunungan Papua tecermin.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui, awalnya pemerintah tidak bisa mengirimkan makanan ke lokasi kelaparan. Bantuan makanan hanya bisa disuplai lewat jalur udara, sementara penerbangan tidak bisa dilakukan karena bandara diganggu oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua.
"Ada kelompok-kelompok bersenjata yang ada di situ, (sehingga) penerbangan di sana takut. Karena takut ditembak, sehingga akhirnya terhambat penerbangan," kata Tito kepada wartawan di kantor Kemendagri, dikutip Selasa (1/8/2023).
Stabilitas keamanan sejauh ini memang masih terus jadi pekerjaan rumah yang belum bisa dituntaskan pemerintah pusat di Papua. Sejak beberapa tahun belakangan, serangan-serangan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) terus terjadi.
Pilot asal Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens, yang disandera sejak Februari 2023 belum jelas nasibnya hingga lewat tengah tahun. Operasi pembebasan yang dilakukan tentara dan polisi Indonesia belum berbuah hasil. Pada April 2023, justru pasukan pembebasan yang jadi korban. TPNPB mengeklaim telah membunuh sembilan tentara, sedangkan TNI menyatakan lima orang anggota Kostrad gugur. Serangan-serangan ke lapangan udara juga makin sering sejak awal tahun. Hal itu yang membuat pilot-pilot takut terbang ke pegunungan Papua.
Menko PMK Muhadjir Effendy mengiyakan, pembangunan pos pengamanan di wilayah terdampak kekeringan di Kabupaten Puncak sangat mendesak. "Jadi, di Agandugume itu tidak ada namanya polres, apalagi polsek aja enggak ada, koramil enggak ada, pilotnya enggak mau landing khawatir ditembak oleh KKB. Jadi pusing kita, " ujar Muhadjir di kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (9/8/2023).
Selain soal keamanan dan kesehatan, masalah inti dari kelaparan itu juga menggambarkan pergeseran yang mengkhawatirkan di Papua. Ini bukan bencana kelaparan pertama di Papua. Pada 1982, ratusan orang meninggal di Jayawijaya. Pada 1984 dan 1986, kelaparan kembali berulang dengan jumlah kematian yang tak sedikit. Selain pada 2023 ini, bencana terkini terjadi terjadi pada 2022 saat empat orang di Lanny Jaya meninggal akibat kelaparan.
Bahkan, pada masa-masa tak rawan, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan di Papua juga tak menggembirakan. Dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan atau prevalence of undernourishment (PoU) adalah estimasi proporsi dari suatu populasi tertentu, di mana konsumsi energi biasanya sehari-hari dari makanan tidak cukup untuk memenuhi tingkat energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif, dan sehat, yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Atau, probabilitas individu yang dipilih secara acak dari suatu populasi referensi yang secara regular mengonsumsi makanan yang kurang dari kebutuhan energinya.
Pada 2022, persentase PoU di Papua mencapai 36,18 persen. Angka itu merupakan yang tertinggi di Indonesia. Artinya, hampir setengah dari populasi warga di Papua tak cukup makan untuk menopang kebutuhan energinya. Jumlah itu jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional pada angka 10,21 persen.
Peneliti BRIN, Prof Cahyo Pamungkas, menjelaskan kepada Republika, mulanya adalah soal pergeseran cara hidup warga asli Papua. Dulu, warga asli menggantungkan pokok makanan mereka pada sagu dan puluhan jenis umbi-umbian, di antaranya petatas, ketela, dan singkong. Mereka juga biasa berburu hewan hutan, seperti kuskus dan babi hutan.
"Nah, cara hidup ini kemudian berubah seiring pengaruh dari pemerintah, pasar, juga gereja," kata Cahyo yang telah belasan tahun meneliti di Papua. Saat ini, kebanyakan warga Papua juga bergantung pada nasi dan jagung seperti umumnya warga Indonesia. Hal itu fatal karena tak setiap saat pasokan pangan itu bisa disalurkan ke wilayah pedalaman di Papua.
Saat cuaca buruk, atau ada gangguan keamanan, otomatis warga Papua yang menggantungkan pasokan pangan dari luar terkatung-katung. Jika pasokan itu tak bisa datang dalam jangka waktu yang panjang, bencana kelaparan di depan mata.
Faktor tersebut ditambah dengan anomali cuaca belakangan. Di Papua Pegunungan, menurut Cahyo, belakangan udara bisa menjadi sangat dingin dengan tiba-tiba. "Tapi, kita tak bisa menyalahkan cuaca karena seharusnya sudah diantisipasi jauh-jauh hari," kata Cahyo. "Seharusnya sudah dari awal ada rencana optimalisasi pangan lokal atau mendatangkan pangan dari daerah-daerah sekitarnya," ia melanjutkan.
Akselerasi
Ketua Komnas HAM periode 2017-2022 Ahmad Taufan Damanik mengakui, upaya akselerasi pembangunan di Papua memang terus ditingkatkan pemerintah pusat saat ini. Itu dengan mudah dapat dilihat dari kemajuan di berbagai bidang, terutama infrastruktur, transportasi, dan fasilitas sosial.
Namun, menurut Taufan, kemajuan pembangunan ini masih belum mengangkat indeks kemajuan orang asli Papua (OAP) di sektor hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. “Kehidupan OAP masih belum berhasil ditingkatkan sehingga kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya tadi makin menimbulkan kesenjangan sosial dengan para pendatang," kata Taufan dalam keterangannya kepada Republika.
Taufan memandang kesenjangan ini memberikan ruang yang luas bagi gerakan perlawanan politik. Bentuknya berupa protes yang sekadar menyatakan ketidakpuasan atau sampai gerakan kemerdekaan atau pemisahan diri melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), dan TPNPB.
"Gerakan ini semakin menemukan jati dirinya sejalan dengan pendekatan keamanan yang puluhan tahun diterapkan di Papua," ujar Taufan. Oleh karena itu, Taufan mengingatkan, pendekatan keamanan menimbulkan banyak kekerasan dan pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih.
Ia mencatat peristiwa yang besar, yakni Wamena, Wasior, dan Paniai, yang oleh Komnas HAM telah diselidiki dan diserahkan ke pengadilan. Sebelum itu, ada kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Eluay, di Abepura pada 2001 yang juga Komnas HAM rekomendasikan agar proses hukumnya dilanjutkan melalui peradilan HAM berat.
Taufan mewanti-wanti pemerintah saat ini maupun mendatang agar memperbaiki kesenjangan yang merupakan akar masalah di Papua. Kalau tidak, Taufan pesimistis kekerasan di Papua bakal mereda.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Pejabat Saling Sangkal Soal Kelaparan di Papua
Panglima TNI menyangkal gangguan keamanan picu kelaparan di papua.
SELENGKAPNYAKelindan Perang dan Kelaparan di Papua
Mendagri mengatakan kerawanana sebabkan bantuan terhambat ke Papua.
SELENGKAPNYA