Nasional
Ajang Kecantikan Didorong untuk Punya SOP Terkait Kekerasan Seksual
Selama ini, ajang pencarian bakat atau pemilihan kontes kecantikan tidak punya SOP pencegahan dan penanganan kekerasan,
Ajang kecantikan kini sedang menyedot perhatian. Founder PerEMPUan, Rika Rosvianti, angkat bicara mengenai kasus kekerasan seksual yang dialami oleh peserta ajang kecantikan Miss Universe Indonesia. Ia mengaku prihatin dengan hal yang dialami oleh para perempuan di ajang tersebut.
Wanita yang biasa disapa Neqy itu pun mengajak masyarakat untuk bergerak bersama mengawal laporan para korban. “Jadi, ini adalah langkah yang baik untuk membuat sistem yang lebih baik dari proses ajang lainnya. Supaya ajang-ajang tersebut tidak menjadi tempat potensial untuk kekerasan seksual,” ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (9/8/2023).
Apalagi, adanya relasi kuasa, yaitu para kontestan punya power yang lebih lemah daripada pihak penyeleksi kontestan. Momen kali ini menjadi momen yang baik untuk mendorong setiap ajang kompetisi memiliki SOP atau prosedur yang jelas bagi kontestan supaya tidak ada penyalahgunaan wewenang ataupun relasi kuasa.
Neqy juga menekankan perlunya SOP yang tegas. Ia melihat setiap ajang pencarian bakat atau pemilihan kontes kecantikan ini tidak punya SOP pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Ini perlu diperjelas bahwa semua pihak tidak boleh melakukan kekerasan seksual.
Jika ada indikasinya, harus ditegaskan bahwa peserta bisa melapor ke siapa, dengan cara apa, dan sanksinya seperti apa, baik bagi pelaku, kontestan, maupun panitia atau pihak ketiga yang terkait. Atau bisa juga dengan seluruh pihak yang terlibat, baik kontestan, panitia, maupun pihak ketiga yang terkait perlu punya semacam pakta integritas dalam kontrak kerja sama.
Misalnya, menyebutkan bahwa "Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan berkomitmen tidak melakukan kekerasan pada siapa pun dalam bentuk apa pun, dan bersedia diproses secara hukum bila terbukti melakukan kekerasan dalam bentuk apapun pada siapapun".
“Jadi, ada upaya dari berbagai macam pihak untuk sama-sama menjaga dan memastikan tidak menjadi pelaku atau korban. Serta punya mekanisme yang jelas bila ada yang menjadi korban dan ingin melaporkan kejadian yang dialami,” ucap Neqy.
Ia mengapresiasi para peserta ajang Miss Universe Indonesia, sebagai korban dan penyintas memberanikan diri melaporkan kejadian tersebut. “Karena apa pun ajangnya, yang salah adalah kekerasan seksualnya,” kata Neqy.
Sebagai perempuan yang juga membela hak-hak perempuan, ia ikut berempati dan siap membantu bila dibutuhkan, termasuk untuk memberi rujukan mengenai lembaga, layanan, atau organisasi lain yang dibutuhkan dalam masa pemulihan para korban. Pengambilan foto tubuh tanpa persetujuan, untuk fungsi apa pun, bahkan untuk kebutuhan medis, bila tanpa persetujuan maka itu adalah kekerasan seksual.
“Kalau kita ingat di konteks kesehatan pun itu adanya inform concern, di mana setiap tindakan yang melibatkan tubuh seseorang itu perlu ada persetujuan dari pemilik tubuh atas tindakan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, apa dampak dan risikonya,” papar Neqy.
Tindakan baru bisa dilakukan jika pemilik tubuh sadar penuh dengan konsekuensi dari keputusannya. Tanpa adanya inform concern, apa pun yang dilakukan terhadap tubuh seseorang tergolong kekerasan seksual.
Dalam kasus ini, mereka diminta untuk telanjang, yang artinya melibatkan semua organ seksual dan organ reproduksinya. Neqy mengapresiasi atas awareness masyarakat yang turut mendukung pelaporan ini, apalagi para korban yang melaporkan, berarti mereka sudah menyadari bahwa itu adalah kekerasan seksual.
Pekan ini, perhelatan Miss Universe Indonesia 2023 diwarnai kasus kontroversi perihal pemeriksaan badan atau body checking peserta yang dilaporkan dilakukan secara telanjang. Proses pemeriksaan itu kabarnya dilakukan oknum tertentu bukan atas dasar persetujuan semua pihak di ajang kontes kecantikan tersebut.
Salah satu finalis Miss Universe Indonesia 2023 telah resmi melaporkan yayasan penyelenggara kontes kecantikan itu ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut terkait dengan adanya dugaan pelecehan seksual melalui tahapan body checking dan pengambilan foto dalam keadaan tanpa busana.
"Kami akhirnya melaporkan perbuatan dugaan adanya pelecehan yang dilakukan terhadap klien kami," ujar Mellisa Anggraeni, pengacara korban berinisial NLR, di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (7/8/2023).
Dalam laporan bernomor LP/B/4598/VII/2023 SPKT POLDA METRO JAYA itu, terlapor adalah PT Capella Swastika Karya. Korban melaporkan atas Pasal 4, 5, dan Pasal 6, Pasal 14, dan 15 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam laporan itu juga disebutkan, kejadian pelecehan seksual tersebut terjadi pada 1 Agustus 2023.
Supaya ajang-ajang tersebut tidak menjadi tempat potensial untuk kekerasan seksualRIKA ROSVIANTI, Founder PerEMPUan
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.