Medika
Apa yang Terjadi pada Tubuh dengan Satu Ginjal?
Ginjal yang tersisa akan tumbuh sekitar 20 persen sampai 30 persen lebih besar.
Saat ini kembali marak kasus sindikat penjual ginjal, salah satunya di Bekasi. Mereka menjual ginjal demi mendapatkan uang untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Lalu, apakah mungkin kita hidup dengan satu ginjal? Apa dampak kesehatan hidup dengan satu ginjal?
Dilansir dari laman Dr Mishra Urology, Jumat (21/7/2023), ahli urologi di Bhubaneswar, dr Sumanta Mishra menjelaskan, pengangkatan ginjal (nephrectomy) adalah operasi yang dilakukan untuk mengangkat sebagian atau seluruh ginjal. Bergantung pada kebutuhan, itu dilakukan dengan cara yang berbeda.
Operasi juga mungkin melibatkan pengangkatan sebagian ginjal (nefrektomi parsial) atau pengangkatan ginjal lengkap (nefrektomi sederhana). Bisa pula abstraksi satu ginjal bersama dengan kelenjar adrenal (nefrektomi radikal) dan lemak di sekitarnya. Terkadang kelenjar getah bening di sekitarnya juga dapat diangkat jika diperlukan.
Ada risiko yang terkait dengan segala jenis operasi termasuk pengangkatan ginjal. Anda bisa saja menemukan gumpalan darah di dalam kaki yang mungkin menyebar ke paru-paru. Risiko lainnya adalah adanya infeksi pada paru-paru, kandung kemih, ginjal, atau luka operasi. Anda juga mungkin mengalami kehilangan darah.
Selain itu, kemungkinan lainnya adalah masalah pernapasan, strok, atau serangan jantung selama operasi serta respons terhadap obat-obatan. Mishra menambahkan beberapa risiko terkait dengan prosedur pengangkatan ginjal adalah gagal ginjal pada ginjal yang tersisa.
Anda juga mungkin mengalami cedera pada struktur atau organ lain, bahkan kemungkinan ginjal lain tidak berfungsi dengan baik setelah pengangkatan ginjal. Selain itu, risiko lainnya adalah hernia luka operasi.
Nyeri perut dan masalah pencernaan
Dilansir dari laman Health Central, Jumat (21/7/2023), setelah operasi, Anda mungkin akan mengalami sakit perut selama satu atau dua pekan, tetapi dokter akan memberikan obat pereda nyeri untuk ini. Efek samping umum lainnya adalah sembelit, diare, gas, mual, atau sakit kepala. Anda mungkin merasa lelah lebih cepat dari biasanya dan merasa kekurangan energi, perlu beberapa bulan untuk mendapatkan kembali energi Anda.
"Tetapi, bagi sebagian besar pasien sehat yang tidak memiliki hipertensi atau diabetes jangka panjang, tubuh menyesuaikan diri dengan cepat terhadap hilangnya satu ginjal dalam beberapa minggu, terkadang bahkan dalam hitungan hari," ujar Jennifer Linehan, MD, ahli urologi bersertifikat, ahli onkologi urologi, dan profesor urologi dan onkologi urologi di John Wayne Cancer Institute di Providence Saint John's Health Center di Santa Monica, California.
Secara keseluruhan, sungguh menakjubkan betapa cepatnya tubuh beradaptasi dengan organ yang hilang. “Ketika satu ginjal diangkat, ginjal yang lain tumbuh besar untuk memenuhi kebutuhan ginjal yang tersisa untuk menyaring dan membersihkan darah,” kata Ramin.
Selama proses yang disebut hipertrofi konsentris ini, ginjal yang tersisa akan tumbuh sekitar 20 persen sampai 30 persen lebih besar. Jangan khawatir, Anda tidak akan merasakannya, tetapi dokter dapat mengamatinya melalui evaluasi radiografi, seperti ultrasonografi, MRI, atau CT scan.
Ekonomi Jadi Faktor Utama
Sebanyak 122 orang menjadi korban kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus penjualan organ tubuh ginjal. Sindikat yang diungkap oleh Polda Metro Jaya itu semula menampung para korban di Bekasi, lantas mengirim mereka ke Kamboja untuk proses pengambilan ginjal.
Apa yang membuat para korban tergiur untuk menjual ginjal? Sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rochadi, menyebut kondisi ekonomi yang sulit menjadi faktor utama di balik kesediaan para korban menjual salah satu organ tubuhnya.
"Karena faktor ekonomi, jadi kemiskinanlah yang membuat mereka mau melakukan tindakan itu. Mereka membayangkan uang puluhan juta yang belum pernah dilihat dan dimiliki. Itu yang utama," kata Sigit saat dihubungi Republika, Jumat (21/7/2023).
Menurut Sigit, para korban biasanya diyakinkan bahwa prosesnya berlangsung aman, bahwa seseorang tetap bisa hidup dengan satu ginjal dan tidak akan memberikan efek apa pun. Provokasi itu membuat korban yakin untuk mengambil keputusan.
Selain itu, sindikat penjualan ginjal kerap melakukan jebakan atau perangkap. Ada kasus di mana korban tidak langsung ditawari menjual ginjal, tapi mereka diajak ke suatu negara dengan jaringan internet yang tidak mumpuni atau tidak memiliki infrastruktur komunikasi yang baik.
Dengan cara itu, pelaku mencegah calon korban berkomunikasi dengan orang lain, atau keluarga di negara asal. Di Indonesia, cara-cara demikian disebut Sigit sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, yakni sejak 1990-an.
Kasus kian marak saat pandemi Covid-19, yang menyebabkan banyak keluarga mengalami masalah perekonomian. Korban pun akhirnya menjual ginjal akibat terlilit kebutuhan ekonomi dan berada dalam perangkap.
Sigit menyebut, biasanya yang digunakan menjaring korban baru adalah orang yang dulunya pernah menjadi korban untuk menunjukkan bukti bahwa tidak apa-apa hidup dengan satu ginjal. "Sama seperti peredaran narkoba, menggaet calon korban dengan yang sudah pernah kecanduan," ujarnya.
Terkait kasus terbaru yang diungkap Polda Metro Jaya, para korban berasal dari berbagai latar belakang. Disebutkan bahwa salah satunya berprofesi sebagai dosen dan memiliki gelar S-2. Menurut Sigit, pertimbangan ekonomi tetap melatarinya.
Sigit mengatakan, dosen dengan gelar S-2 tidak mematahkan alasan faktor ekonomi. Sebab, masih ada sejumlah dosen di universitas swasta dengan besaran gaji yang masih kurang memadai, bahkan kalah dari gaji guru SD yang merupakan pegawai negeri.
Adapun metode menjaring korban yang dilakukan lewat media sosial, menurut Sigit, itu karena ada perbedaan aturan terkait penjualan organ di berbagai negara. Di negara yang tidak melarang, maka yang bersangkutan tidak akan bisa dituntut.
Sigit menyoroti, pemerintah punya pekerjaan berat untuk mengedukasi masyarakat mengenai TPPO, yang di dalamnya termasuk penjualan organ tubuh. Menurut Sigit, pemahaman masyarakat Indonesia mengenai jual beli organ tubuh belum terlalu baik.
Dalam masyarakat tertentu, misalnya, yang tinggal di pelosok desa, mungkin masih menganggap mendonorkan anggota tubuh merupakan tindakan membantu orang lain, sikap kedermawanan menyelamatkan nyawa. Padahal, ada sindikat internasional yang membidik korban di sejumlah negara berkembang dengan penduduk yang padat.
"Pemerintah melalui jaringannya, khususnya ke lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga kemasyarakatan, harus memasukkan edukasi mengenai bahaya penjualan organ tubuh, misalnya dalam agenda-agenda di pemerintah daerah dan kelurahan," ujar Sigit.
Dosen dengan gelar S2 tidak mematahkan alasan faktor ekonomi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.