Kronik
Benarkan Pasukan Belanda Terlibat di Srebrenica?
Tentara Belanda disebut ikut memilah-milah Muslim Bosnia.
Pelaku genosida di Srebrenica, bagian timur Bosnia sudah awam diketahui adalah militer Yugoslavia dan tentara Serbia Bosnia. Namun kejahatan yang membunuh sedikitnya 8.000 Muslim Bosnia pada 1995 alias 28 tahun lalu itu dinilai tak bisa berlangsung bila tak diberi jalan oleh anasir lain.
Hanya berselang dua tahun setelah dicanangkan menjadi wilayah aman PBB, pemandangan kota Srebrenica di Bosnia berubah menjadi ladang pembantaian terburuk. Pada 6-9 Juli 1995 Militer Serbia mengepung wilayah kantong Srebrenica, puluhan ribu warga sipil Muslim Bosnia mengungsi akibat serangan Serbia di timur laut Bosnia. Para warga dijaga oleh sekitar 600 militer infanteri Belanda bersenjata ringan yang tergabung dalam pasukan penjaga perdamaian PBB.
Serbia menyerang pos observasi Belanda dan menawan 30 tentara. Buntutnya, ribuan pengungsi terpaksa melarikan diri ke selatan. 10 Juli 1995 Komandan Belanda Kol Karremans mendesak agar PBB melancarkan serangan udara setelah aksi brutal Serbia menggempur posisi Belanda. Sebelumnya, komandan PBB Jendral Janvier menolak. Namun ia akhirnya menerima setelah sang kolonel kembali mendesak. Serangan Serbia pun berhenti sebelum pesawat mendarat. Serangan udara pun ditunda. 11 Juli 1995 Militer Serbia menolak mundur.
Sekitar pukul 09.00 Kol Karremans menerima kabar dari Sarajevo bahwa permintaan dukungan udara pada PBB itu tak sesuai prosedur. Berselang satu setengah jam, permintaan baru diterima Jen Janvier. Namun pesawat NATO harus kembali ke pangkalan di Italia untuk mengisi bahan bakar. Tengah hari, lebih dari 20 ribu pengungsi -- kaum perempuan, anak-anak dan difabel -- lari ke Potocari. Pukul 14.30, dua jet tempur F-16 Belanda menjatuhkan dua bom di posisi Serbia, sekitar Srebrenica.
Balasannya, Serbia mengancam akan membunuh sandera Belanda dan pengungsi. Serangan udara lanjutan pun tertunda. Dua jam berselang, komandan Serbia Ratko Mladic memasuki Srebrenica. Sore hari, Mladic minta bertemu dengan Kol Karremans. Saat itulah ia melontarkan ultimatum agar warga Muslim menyerahkan senjata demi nyawa mereka. 12 Juli 1995 Bus-bus tiba dan siap mengangkut perempuan dan anak-anak ke wilayah Muslim.
Tak kurang dari 23 ribu perempuan dan anak-anak segera dideportasi dalam waktu 30 jam. Sedangkan Serbia sibuk memisahkan kaum pria berkisar 12 hingga 77 tahun untuk interogasi menciduk tersangka penjahat perang. Ratusan pria ditampung dalam truk-truk dan gudang penyimpanan. 13 Juli 1995 Di sebuah gudang di Desa Kravica, pembantaian terhadap warga Muslim tak bersenjata terjadi untuk kali pertama.
Pasukan penjaga keamanan sempat menyerahkan 5.000 warga Muslim yang berlindung di Potocari, pangkalan Belanda. Pihak Sebia pun membebaskan 14 penjaga keamanan Belanda yang ditahan di pangkalan Nova Kasaba. Pada 16 Juli 1995 Kabar pedih pembantaian pun tiba. Seorang korban yang bertahan hidup setelah berjalan jauh dari Srebrenica membeberkan kekejian Serbia. Lima hari setelah militer Serbia menggempur Srebrenica, lebih dari 7.000 pria Muslim tewas terbunuh.
Kesaksian peneliti
Dua tahun setelah kejadian itu, tepatnya pada 1997, Seorang peneliti kejahatan perang Bosnia menuduh pasukan tentara Belanda yang tergabung dalam batalion PBB di Bosnia turut bertanggung jawab atas pembantaian keji penduduk sipil Bosnia oleh kaum ekstremis Serbia di Srebrenica, dua tahun lalu. ''Tentara-tentara Belanda dan terutama komandan mereka, Kolonel Ton Karremans gagal untuk melindungi 20.000 penduduk sipil yang berdiam di kantung-kantung perlindungan dan mereka bahkan bekerja sama dengan kaum Serbia Bosnia,'' ujar Profesor Smail Cekic, direktur Institut Penelitian Kejahatan Perang dan Genosida di Universitas Sarajevo.
Menurutnya, batalyon Belanda yang dikenal dengan sebutan ''Dutchbat'' tak hanya mengizinkan pasukan Serbia Bosnia memisahkan kaum pria dewasa dari kaum wanita dewasa dan anak-anak, namun juga membantu mereka melakukan itu. Cekic menyamakan penderitaan kaum Muslim di Srebrenica dengan kaum Yahudi di tangan pasukan Jerman semasa Perang Dunia II.
Ia juga mengungkap bahwa pasukan Belanda tersebut menyalurkan bantuan 30.000 liter bensin bagi kaum Serbia Bosnia. Bantuan inilah yang kemudian digunakan sebagai bahan bakar bagi "bus-bus pengangkut para penduduk sipil dan buldozer-buldozer yang menimbun kuburan massal ribuan korban setelah berlangsungnya eksekusi masa".
Tak diketahui pasti jumlah Muslim Bosnia yang terbantai. Daerah itu mula-mula dihujani bom dan mortir, diserang tanpa pertahanan memadai, penduduknya ditembak, digorok, diperkosa -- dewasa, maupun anak-anak. Sekitar 15.000 Muslim ketika itu berusaha melarikan diri setelah jatuhnya Srebrenica. Tapi hanya sekitar separo yang selamat sampai kawasan yang dikuasai pemerintah Bosnia-Herzegovina. Para penyidik memperkirakan separuhnya lagi tewas dibunuh dalam perjalanan.
Tuduhan mengenai perilaku tentara Belanda di Srebrenica kala itu menimbulkan kemarahan di Belanda. Namun menteri Pertahanan Joris Voorhoeve membantah kritik tersebut, seraya berkeras bahwa tragedi tersebut berlangsung akibat "kegagalan kebijakan komunitas internasional".
Belanda selama ini memang selalu menyatakan pasukannya tak bisa berbuat apa-apa atas pembantaian warga sipil yang seharusnya mereka lindungi, karena tak memperoleh "bantuan semestinya". Pada Juli 1996, kepala staf Belanda, Jenderal Hans Couzy menuduh Prancis menghalangi dukungan udara bagi pasukan Belanda.
Di Amsterdam, mantan menteri dalam negeri Bosnia Ado Hebib menyatakan bahwa yang seharusnya disalahkan dalam kasus Srebrenica adalah mantan pimpinan UNPROFOR (Pasukan Pelindung PBB) Jenderal Bernard Janvier asal Prancis.
"Para tentara Belanda memang menjadi saksi pembantaian, tapi mereka tak bisa melakukan apa-apa," katanya. Menurutnya lagi: "Apa yang terjadi di Srebrenica adalah hasil dari sikap birokratis PBB." Dukungan juga diberikan mantan menteri luar negeri Kroasia Zvonimir Separovic.
Menurutnya batalyon Belanda dapat disebut sebagai "tahanan" kaum Serbia yang merebut kantung Muslim Bosnia itu sesudah menunggu lama pada Juli 1995. Tuduhan tentang kelemahan pasukan Belanda di Bosnia itu adalah satu dari berbagai topik yang dibicarakan dalam simposium mengenai korban-korban perang Bosnia yang berakhir Jumat di Amsterdam.
Pengakuan tentara
Setahun setelah simposium itu, tepatnya pada 1998, tentara Belanda yang tergabung dalam pasukan penjaga perdamaian PBB (SFOR) selama konflik Bosnia mengaku ikut membantu Serbia Bosnia melakukan pembersihan etnis Muslim. Pengakuan itu diungkapkan seorang mantan anggota pasukan Belanda yang bertugas di Srebrenica, Senin tengah malam (17/8/1998) di sebuah stasiun televisi setempat.
Menurut Kapten Ron Rutten tindakan yang dilakukan pasukan Belanda selama perang berkecamuk jelas-jelas menunjukkan kolaborasi dengan pihak Serbia Bosnia. "Sampai kini saya masih dihantui bayangan buruk peristiwa pembantaian itu," ungkapnya.
Dalam wawancara itu, Rutten menyebutkan pasukan Belanda yang bertugas di daerah kantong Srebrenica, yang menjadi zona damai, ikut membantu Serbia memilah-milah warga Muslim Bosnia. "Mereka membantu pasukan Serbia memisahkan pria, wanita, dan anak-anak untuk diangkut ke dalam truk," katanya.
Padahal, menurut Rutten, pasukan SFOR yang bertugas menjaga kawasan damai ini, tak dibenarkan melakukan hal tersebut. ''Srebrenica disepakati sebagai zona damai dan tindakan apa pun yang dilakukan oleh Serbia di sana merupakan hal yang salah. Bagaimana mungkin pasukan Belanda ikut membantu memisahkan pria dan wanita Muslim di sana?'' katanya.
Tergugah oleh perasaannya, Rutten mengabadikan peristiwa pengangkutan warga Muslim itu lewat kameranya. ''Para wanita, pria, dan anak-anak diangkut dalam truk terpisah ke suatu lokasi.'' Dalam satu fotonya, Rutten berhasil mengabadikan gambar sejumlah warga Muslim yang baru saja dibantai pasukan Serbia.
Setelah pasukan Belanda ditarik dari Bosnia, Rutten kembali ke tanah air dengan foto-foto eksklusif hasil jepretannya. Sampai di Den Haag pada bulan JUli 1995, film negatif foto tersebut diminta oleh pihak intelijen setempat. Menurut mereka, foto-foto tersebut akan digunakan untuk melakukan penyidikan kejahatan perang.
Namun, belakangan pihak intelijen mengaku proses penyidikan berhenti mendadak dan semua film negatif tersebut rusak. Alasan tersebut, kata Rutten, tak masuk akal dan "tak bisa diterima." Pengakuan Rutten ini tak pelak lagi membuat militer Belanda kebakaran jenggot. Dalam keterangannya pada pers sehari setelah itu, rekan Rutten dan seorang dokter pasukan menegaskan tindakan yang mereka lakukan bukan untuk membantu Serbia.
"Yang kami lakukan adalah mengurangi penderitaan para pengungsi Muslim dan karenanya kami melakukan pemisahan," ujar Paul van Klinken dan Kolonel Gert Kremer, yang bertugas sebagai dokter. Menurut van Klinken tindak pembersihan etnis yang masuk dalam daftar kejahatan perang semata dilakukan oleh Serbia dan mereka tak pernah membantu. "Yang kami lakukan justru membantu warga Muslim yang mengungsi ke Srebrenica. Kami memberikan makanan dan obat-obatan," katanya.
Pada Juli 2019 lalu, Mahkamah Agung (MA) Belanda akhirnya menyatakan pemerintah negaranya ikut bertanggung jawab atas insiden pada 1995 yang mengarah pada pembantaian Muslim Bosnia di Srebrenica oleh pasukan Serbia. Keputusan ini membuka jalan bagi preseden hukum secara internasional bahwa negara pun dapat dianggap bertanggung jawab dalam perkara hukum saat mereka berpartisipasi dalam pasukan penjaga perdamaian di bawah PBB.
"Mereka (pasukan Belanda) merampas kesempatan orang-orang ini agar terhindari dari pasukan Serbia," demikian isi putusan MA. Pada 1995 pasukan Belanda yang bergabung dalam penjaga perdamaian PBB diserahi mandat untuk menjaga Muslim Bosnia yang berlindung dari pasukan Serbia. Di antara ribuan Muslim Bosnia, 350 orang tiba di pos pasukan Belanda untuk berlindung.
Namun, warga Bosnia ini ditolak pasukan Belanda. Hal itu kemudian menggiring mereka jatuh ke tangan pasukan Serbia dan dibantai. Secara keseluruhan, tragedi pembantaian Srebrenica menewaskan sekitar 8.000 Muslim pria dan anak-anak. Insiden itu menjadi pembantaian terparah di tanah Eropa sejak Perang Dunia II. Tindakan Serbia itu juga dianggap sebagai genosida.
Disadur dari pemberitaan Harian Republika
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.