Kisah
Muhammad, Putra Ali bin Abi Thalib
Penamaan dirinya atas izin dari Rasulullah SAW kepada Ali.
Suatu hari, Ali bin Abi Thalib duduk bersama dengan Nabi Muhammad SAW. Kemudian, sepupu Rasulullah SAW itu terpikir untuk mengabadikan kenangan bersama al-Musthafa dengan menamakan putranya kelak.
Ali ingin agar dirinya apabila dikaruniai putra lagi—sesudah Hasan dan Husain—boleh menamakan buah hatinya itu dengan nama beliau. “Wahai Rasulullah,” katanya, “seandainya saya punya anak lagi setelah engkau tiada, bolehkah saya memberi nama anakku itu dengan namamu dan memberikan julukan Abu al-Qasim kepadanya?”
Rasulullah SAW pun mengabulkan permintaan itu. Betapa senang hati Ali.
Hingga kemudian, Nabi SAW wafat. Beberapa bulan kemudian, Fatimah binti Rasulullah, yakni istri Ali bin Abi Thalib—menyusul kepergian beliau.
Setelah itu, Ali bin Abi Thalib menikah lagi dengan seorang wanita dari Bani Hanifah, Khaulah binti Ja'far bin Qais al-Hanafiyyah. Cinta keduanya melahirkan Muhammad al-Hanafiyah. Panggilan itu membedakan dirinya dengan kedua saudaranya Hasan dan Husein.
Sosok Muhammad
Muhamamd al-Hanafiyah bin Ali tumbuh dan dibesarkan di bawah bimbingan sang ayah. Ia juga mewarisi ketekunan ibadah, sifat zuhud, keberanian, kekuatan, serta kefasihan lidah sang khalifah. Ali bin Abi Thalib pun mendidiknya agar sigap dalam jihad fii sabilillah.
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, "Mengapa Anda selalu diterjunkan di medan perang berbahaya dan memikul beban melebihi kedua kakakmu, Hasan dan Husain?"
Ia menjawab karena kedua kakaknya ibarat kedua mata ayahnya. Adapun dirinya bagaikan kedua tangan Ali bin Abi Thalib. Sang khalifah keempat dalam Khulafaur rasyidin menjaga pandangan dengan `tangannya'.
Muhammad al-Hanafiyah berjanji tak akan melukai sesama Muslim. Ketika Perang Shiffin terjadi antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kubu gubernur Syam, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Muhammad memegang panji-panji ayahnya.
Tatkala perang berkobar, korban berjatuhan dari kedua pihak. Terjadilah suatu peristiwa, yakni ketika berada di Shiffin. Muhammad menyaksikan dengan pilu, orang-orang Islam bertempur dengan sesama saudara seiman. Mereka bahkan saling bunuh.
“Aku menjadi sedih dan gelisah karenanya. Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari belakangku, ‘Wahai saudara-saudara Muslimin... ingat Allah... Allah... Wahai saudara-saudara Muslimin.. Allah... Allah, sisakan orang-orang kalian, wahai saudara-saudara Muslimin..!’”
Seketika, Muhammad tersadar dan berjanji tidak akan mengangkat dan menghunus senjata lagi untuk melawan seorang Muslim pun sejak hari itu.
Pasca wafatnya Ali, panji kekhilafahan jatuh ke tangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Pendiri Daulah Umayyah itu sempat meminta Muhammad al-Hanafiyah agar sering-sering mengunjunginya.
Suatu hari kaisar Romawi menulis surat kepada Mu'awiyah yang berisi ajakan untuk mengirimkan orang terkuatnya dalam sebuah pertarungan. Raja pertama Umayyah ini menyetujui tawaran tersebut dan memberikan izin.
Setelah itu, kaisar Romawi ini mengirimkan dua orang lelaki kuat. Yang satu luar biasa tingginya dan besar perawakannya, seakan-akan ia adalah pohon besar menjulang. Lainnya terlihat kuat. Ototnya besar. Tenaganya sungguh luar biasa.
Kedatangan keduanya disertai sepucuk surat berbunyi: “Adakah orang yang menyamai kebesaran dan kekuatan kedua orang ini di negeri Anda?”
Mu'awiyah kemudian bermusyawarah dengan Amru bin Ash. “Untuk orang yang tinggi besar itu aku sudah menemukan tandingannya, bahkan melampauinya—yaitu Qais bin Sa'ad bin Ubadah. Namun, untuk menandingi orang yang kuat satunya lagi, aku meminta pertimbanganmu,” katanya.
“Ada dua orang yang cocok,” jawab Amr bin Ash, “tetapi keduanya tinggal jauh dari Syam (ibu kota Umayyah). Mereka adalah Muhammmad al-Hanafiyah dan Abdullah bin Zubair.”
“Bukankah Muhammad al-Hanafiyah tidak jauh dari sini?” selidik Mu’awiyah.
“Ya, tetapi apakah menurut Anda dengan kedudukannya yang mulia itu, ia bersedia diadu dengan si romawi di depan khalayak ramai?” tanya Amr lagi.
“Ia pasti bersedia, bahkan lebih dari itu selagi melihat ada kebaikan di dalamnya dan Islam semakin tampak berwibawa.”
Kemudian, Mu'awiyah memanggil Qais bin Sa'id bin Sa'ad dan Muhammad al-Hanafiyah. Gelanggang dibuka.
Untuk mengetahui siapa yang lebih tinggi, Qais bin Sa'ad membuka celana luarnya dan dilemparkannya kepada orang-orang Romawi. Ketika seorang jagoan Romawi memakainya, ternyata celana itu menutup sampai ke dadanya, sehingga orang-orang pun tertawa geli melihatnya.
Giliran Muhammad al-Hanafiyah. Dia berkata kepada penerjemah, “Katakan kepada orang Romawi ini, dia boleh memilih, mau duduk dan aku berdiri, lalu dia harus bisa membuat aku duduk. Atau, aku yang membuat dia berdiri. Boleh juga kalau dia memilih berdiri dan aku duduk!”
Orang Romawi itu kemudian lebih memilih duduk. Lantas, Muhammad al-Hanafiyah memegang tangan si Romawi sampai rasanya nyaris putus dari pundaknya. Orang Romawi itu terduduk di atas tanah. Akhirnya, kedua orang dari negeri seberang itu pun pulang dengan membawa kekalahan dan kehinaan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Kisah Dukun Memeluk Islam
Semula, dukun ini hendak mempengaruhi Rasulullah SAW dengan mantra-mantranya.
SELENGKAPNYARibuan Warga Yaman Kecam Aksi Militer di Jenin
Mereka juga mengecam aksi pembakaran Alquran di Swedia pekan lalu.
SELENGKAPNYASimbol Kejayaan Mamluk Mesir
Masjid Sultan Hasan di Kairo, Mesir, merupakan saksi kejayaan Dinasti Mamluk pada abad ke-14.
SELENGKAPNYA