Dunia Islam
Surat Diplomatik: Era Nabi Hingga Kekhalifahan
Praktik diplomasi via surat menyurat telah menjadi bagian dari sejarah Islam sejak era Nabi Muhammad SAW.
Praktik diplomasi memiliki pelbagai macam metode. Di antaranya ialah korespondensi atau surat menyurat.
Khalid Sayid Ali dalam Rasail an-Nabi ila al-Muluk wa al-Umara wa al-Qabail menggambarkan potret surat-surat yang pernah dikirimkan oleh Nabi Muhammad SAW ke sejumlah pemimpin dunia. Dokumen-dokumen itu disahkan dengan cincin stempel yang terbuat dari perak, dengan cetakan berbunyi “Muhammad Rasul Allah.” Kata-kata itu tepatnya tersusun dalam tiga baris: “Muhammad”, “Rasul”, dan “Allah."
Dari delapan amir dan raja yang menerima surat-surat Nabi SAW itu, terdapat tiga orang yang beragama Nasrani. Ketiganya adalah Raja Habasyah, Raja Romawi, dan Raja Mesir. Dalam ketiga surat itu, selalu disertakan ayat Alquran surah Ali Imran ayat ke-64.
Artinya, "Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’”
Sebagai contoh, redaksi surat yang pernah ditulis oleh Rasulullah kepada penguasa Mesir, Benyamin alias Muqauqis. Isinya sebagai berikut.
“Bismillahirrahmannirrahim. Dari Muhammad hamba Allah dan Rasulullah. Kepada Muqauqis penguasa Qibthi. Salam sejahtera kepada yang mengikuti petunjuk. Amma ba'du.
Aku mengajak Anda dengan dakwah Islam. Anutlah agama Islam dan Anda selamat. Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Namun, apabila Anda berpaling, Anda akan memikul dosa kaum Qibthi (Mesir).
Wahai Ahli Kitab, marilah menuju ke suatu kalimat ketetapan yang tidak terdapat suatu perselisihan di antara kita bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun.
Tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, 'Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.’”
Dari delapan amir dan raja itu, hanya Raja Habasyah dan Raja Uman yang bersedia masuk Islam dan mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW seperti tertulis dalam surat-surat diplomatik yang beliau kirimkan itu.
Adapun enam amir dan raja lainnya menolak surat itu. Mereka pun tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta enggan memeluk Islam.
Diplomasi era kekhalifahan
Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, syair Islam tetap tumbuh. Ekspansi wilayah daulah pun kian masif, terutama antara masa Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (750-1258 M). Diplomasi via surat menyurat tetap diterapkan.
Dalam Dinasti Abbasiyah, misalnya, Dr Yusuf al-Isy menulis perihal perjanjian damai antara Khalifah Harun al-Rasyid dari Daulah Abbasiyah dan Raja Romawi Naqfur. Namun, karena perjanjian damai itu dikhianati oleh Naqfur, bala tentara khalifah pun menghancurleburkan wilayah Bizantium Naqfur.
Surat-surat diplomatik antara kedua kerajaan itu silih berganti baik dengan nada marah, menyerah, menyerang, dan memohon pengampunan. Pada permulaan tahun 187 Hijriah, Khalifah Harun al-Rasyid mulai menampakkan kekuatan pasukan yang besar kepada Irene, ratu Romawi.
Saat itu, Ratu Romawi langsung takluk kepada Khalifah Harun al-Rasyid dengan mengakui kekuasaan Daulah Abbasiyah. Bahkan, Ratu Irene dari Romawi membayar pajak (jizyah) dan menyatakan taat kepada Harun al-Rasyid.
Namun, pengganti Ratu Irene, Raja Naqfur, justru bersikap menentang kekuasaan Harun Al-Rasyid. Ia pun menulis surat yang membuat gusar dan marah Khalifah Harun.
Mengutip tulisan Ath-Thabari, Yusuf Al-I'sy menulis sebagai berikut. Raja Naqfur telah meminta kembali harta pajak yang telah diberikan oleh pendahulunya, Ratu Irene, dengan kata-kata yang mencaci-maki dan bernada perang.
Kata-kata yang sangat mengiris hati Khalifah Harun yaitu, "Jika kamu telah membaca suratku, kembalikanlah harta yang telah diberikan kepadamu serta selamatkanlah dirimu dari harta yang akan kamu peroleh. Jika tidak, akan ada perang antara aku dan engkau."
Membaca surat tersebut, Khalifah Harun Al-Rasyid sangat marah luar biasa dan menulis surat balasan yang bernada sangat menghina Raja Romawi itu. Naqfur pun disebut "Anjing Romawi" dengan kata-kata yang sangat singkat, yakni: "Jawabannya adalah hal yang akan kamu lihat, bukan kamu dengar."
Sejumlah sumber Barat juga mencatat elegannya diplomasi Islam di Era Abbasiyah. Seperti yang terjadi antara Harun al-Rasyid dengan Raja Prancis Charlemagne.
Kedua tokoh itu saling bertukar utusan yang membawa hadiah dari pemimpin masing-masing. Sang Khalifah memberikan jam air yang dapat bergerak. Di antara hadiah dari Charlemagne adalah kunci Baitul Maqdis dan Gereja al-Qiyamah. Peristiwa itu terjadi pada 800 M.
Praktik diplomasi Islam juga dikembangkan baik oleh Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Shalahuddin al-Ayyubi terkenal sebagai sosok yang piawai berdiplomasi. Indra Gunawan Lc, dalam Legenda Empat Umara Besar menuliskan, sang Khalifah mampu menciptakan stabilitas dengan berbagai elemen.
Dalam contoh kasus Mesir, di bidang sosial, Sultan Shalahuddin pun menerapkan toleransi dan kebebasan yang luas bagi warga non-Muslim. Pendiri Dinasti Ayyubiyah itu juga mengangkat beberapa pegawai negara dari unsur Kristen Koptik dan Yahudi.
Selain itu, tidak semua pembesar Kekhalifahan Fathimiyah disingkirkan. Sultan Shalahuddin masih mengangkat Qadi Al-Fadhil (1131-1199 M) sebagai wakil kepala pemerintahan dan penasihatnya.
Langkah-langkah Sultan Shalahuddin ini secara secara tidak langsung ikut membangkitkan persatuan rakyat Mesir dan stabilitas politik sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di masa pemerintahan Dinasti Ottoman/Turki Usmani, hubungan diplomatik sangat dinamis dengan sejumlah negara di kawasan Eropa, termasuk dengan negara-negara tetangga di kawasan Balkan dan Rusia. Diplomasi modern telah dipraktikkan semasa pemerintahan ini.
Dalam buku berjudul Bangkit dan runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Prof Ali Muhammad ash-Shalabi menulis, negara-negara besar di Eropa mulai membuka hubungan diplomatik atau setidaknya membangun aliansi dengan Kekhalifahan Turki Usmani pasca penaklukkan dahsyat Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih.
Duta Rusia datang bermaksud membuka hubungan diplomatik dengan Kekhilafahan Turki Usmani, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Bayazid II. Duta besar itu mulai resmi bertugas sejak 898 H/1492 M. Saat itu, Rusia dipimpin oleh Duke of Moskwa, Tzar Evan III. Duta besar Rusia itu pun memiliki hak kekebalan diplomatik yang membuatnya bebas untuk berhubungan dengan pejabat pemerintahan Usmani.
Di masa pemerintahan Sultan Bayazid II, Kekhalifahan Turki Usmani membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara di Eropa seperti Florence, Napoli, dan Prancis. Sedangkan, perjanjian damai berhasil disepakati dengan Venezia dan Hongaria.
Diplomasi monumental modern dalam sejarah Ottoman terjadi pada masa Sultan Sulaiman al-Qanuni. Masih menurut ash-Shalabi, perjanjian diplomatik itu dikenal dengan Kesepakatan Istimewa Usmani-Prancis. Secara garis besar, isi kesepakatan itu berisi mengizinkan Kerajaan Prancis pimpinan Raja Francis untuk mengirimkan duta besar dan konsulat lengkap dengan kekebalan diplomatik yang dimilikinya.
Setidaknya, imbuh ash-Shalabi, ada sepuluh poin kesepakatan perjanjian diplomatik antara Kekhalifahan Usmani dan Kerajaan Perancis, di antaranya kebebasan berlayar dan menangkap ikan di kapal-kapal bersenjata atau tidak bersenjata, hak berdagang, kewajiban bea cukai dan pajak, hak mendatangkan konsulat, dan kemerdekaan beribadah untuk warga negara Prancis.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Sejarah Diplomasi Dalam Dunia Islam
Diplomasi yang dilakukan para penguasa Muslim tidak selalu berjalan mulus.
SELENGKAPNYAPesta Pernikahan Outdoor Banyak Diminati, Ini Alasannya
Untuk pesta pernikahan ada tiga hal yang paling esensi yaitu dekorasi, tempat dan makanan.
SELENGKAPNYA