Kue Kastangel | Daan Yahya/Republika

Sastra

Kue Kastengel

Cerpen Jagad Wijaksono

Oleh JAGAD WIJAKSONO

Suara raungan kereta api yang kutumpangi berebut tempat dengan langkah petugas karcis  yang dengan telaten memeriksa seisi gerbong, diiringi oleh seorang polisi khusus kereta api.

Tubuh keduanya besar, dengan perut menyembul seperti sedang hamil tua. Wajahnya ditumbuhi kumis selebat ulat bulu. Langkah keduanya dibuat sedikit-sedikit dan agak diseret. Mungkin menurut mereka hal tersebut dapat menambah aura wibawa.

“Karcis!” Seru petugas itu pendek. Polisi yang berdiri di sampingnya menatap tajam.

Aku segera merogoh saku kemeja dan mengeluarkan selembar karcis dengan tujuan Jogja-Bandung.

“Ctek!” Selembar kertas kecil yang menjadi bukti bahwa aku penumpang legal dilubangi oleh petugas kereta api itu. Kemudian ia bersama polisi khusus itu pergi melengos menuju penumpang lain di seberangku. Tak ada salam atau basa-basi. Mereka tampak seperti robot yang hanya mengerjakan tugas. Tak lebih.

 
Di dalam kereta tak banyak hal dapat menghiburku selain kenangan tentang rumah yang penuh dengan ramah.
 
 

Di dalam kereta tak banyak hal dapat menghiburku selain kenangan tentang rumah yang penuh dengan ramah. Rumah tempat aku merasakan hangat peluk ibu dan setoples kue kastengel yang baru saja keluar dari oven. Rumah tempatku pulang dan menuntaskan rindu.

Dalam perjalanan itu aku memutar kembali setiap kenangan yang bisa ku ingat. Hawa dingin kota Bandung, logat bicara khas yang jarang kujumpai di Jogja dan tentu ibu serta kue kastengel di hari raya. 

Di tengah-tengah buaian lamunan itu, tiba-tiba terulang kalimat wejangan dari ustaz dalam ceramah jumat beberapa hari lalu.

“Jangan sampai kegiatan pulang kampung merusak ibadah puasa di hari-hari terakhir bulan suci yang dirahmati Allah.” Begitu kalimat pembuka khotbah dalam ceramah jumat kala itu.

“Jangan sampai perjalanan pulang kampung menjadi alasan untuk kita membatalkan atau bahkan memutuskan untuk tidak menunaikan ibadah puasa.” Lanjut isi khotbah tersebut.

Tidak, aku akan tetap menunaikan ibadah puasa di hari terakhir walau mesti melakukan perjalanan jauh, lagi pula tak ada alasan untuk tak puasa, toh aku hanya tinggal duduk manis dalam gerbong kereta.

 
Tidak, aku akan tetap menunaikan ibadah puasa di hari terakhir walau mesti melakukan perjalanan jauh.
 
 

Kereta yang kutumpangi melaju cepat. Udara pagi diganti dengan dingin AC yang terasa tak wajar, terlalu dingin pikirku. Jendela tak memberi pemandangan, kecepatan kereta api tak memberi kesempatan mataku untuk menangkap dan menikmati suasana di luar. Sedang, di dalam begitu riuh oleh obrolan penumpang. Semua membuatku kembali memutuskan untuk melanjutkan lamunan, ya, lamunan tentang rumahku, tempat tumpah ruahnya rinduku.

Sambil terus melamun aku memejamkan mata. Mencoba hanya memikirkan apa-apa yang telah disiapkan ibu di rumah, rasa rindu dan lamunan melenaku hingga aku tertidur. 

***

Guncangan kereta yang aku tumpangi membuatku terbangun. Ketika aku membuka mata, aku sedikit terkejut. Pemandangan di luar tampak jelas, seakan kereta yang kutumpangi melambatkan lajunya, apa mungkin aku sudah sampai tujuan?

Namun, pemandangan itu tak biasa, membuatku semakin bertanya-tanya. Seingatku tak ada daerah penuh dengan lampu di antara Jogja dan Bandung. Dari balik jendela kereta api aku melihat sebuah kawasan yang terang benderang oleh pijar lampu. Begitu indah.

Pemandangan itu menyedot perhatianku, tak ada hal lain yang kuperhatikan selain pijaran lampu di luar. Pijar-pijar lampu itu seperti bintang-bintang yang jatuh berguguran ke bumi. Cahayanya berkerlap-kerlip warna-warni, aku seperti melihat ribuan lampu di pasar malam membentang sepanjang jalan. Bahkan sesekali aku melihat cahaya yang berasal bukan dari lampu dan berjalan-jalan layaknya seorang manusia. 

 
Pemandangan di luar tampak jelas, seakan kereta yang kutumpangi melambatkan lajunya
 
 

Tak berselang begitu lama perhatianku tercuri oleh aroma yang begitu aku kenal. Wangi kue kastengel yang baru saja keluar dari oven. Entah dari mana aroma itu datang, aroma kue kastengel itu memenuhi seisi gerbong.

Namun semua keanehan itu segera teralihkan ketika aku menyadari kereta yang kutumpangi melambat dan perlahan-lahan berhenti. Aku tersenyum dan bergegas beranjak dari kursiku dan melangkahkan kaki, di antara riuh aku berjalan terburu-buru meninggalkan gerbong kereta, rinduku pada ibu tak dapat aku tahan lagi.

Dari stasiun Bandung aku berjalan menuju rumah, Ya, rumahku tak jauh dari stasiun. Sepanjang perjalanan aku melihat kerlap-kerlip lampu yang tak pernah ku lihat sebelumnya.

Aku pun sesekali berpapasan dengan sosok cahaya yang menyerupai manusia itu. Tak pernah terbayangkan olehku, akan bertemu begitu banyak cahaya yang berjalan kesana-kemari.

Cahaya-cahaya itu menjentikan jarinya saat berdekatan dengan lampu-lampu yang berdiri maupun tergantung di sepanjang jalan, dan setiap jentik jari cahaya akan mengubah warna lampu itu.

Selain cahaya-cahaya itu, aku pun dibuat terheran-heran oleh aroma kue kastengel yang semakin menusuk. Aroma kue kastengel buatan ibu seakan memenuhi seluruh udara Kota Bandung. Setiap aku menarik nafas, aroma kue kastengel itu tercium, membakar rinduku.

 
Selain cahaya-cahaya itu, aku pun dibuat terheran-heran oleh aroma kue kastengel yang semakin menusuk.
 
 

Aku berlari menuju rumah, aku semakin tak sabar bertemu ibu. Namun, keanehan itu terus bertambah, aku tak begitu mengenali jalanan yang aku lewati. Aku merasa dibuat berputar-putar karena cahaya yang tak habis-habis berkeliaran di sepanjang jalan.

Perjalanan menuju rumah terasa begitu jauh. Namun tak ada sedikitpun kekhawatiran yang aku rasakan setelah aku samar melihat halaman rumah.

Halaman rumah itu dipenuhi lampu yang berkerlap-kerlip bagai kunang-kunang di tengah malam. Bahkan rumah-rumah telah dirias wajahnya sedemikian indah. Samar aku melihat ibu di depan pintu rumah dengan setoples kastengel yang ia sodorkon kepadaku. Aku segera menghampirinya tak sabar, masih dengan seutas senyum yang kini semakin melebar. Aku berlari menuju ibu sambil merentangkan tangan.

Samar, aku lihat ibu menangis, awalnya kupikir itu  adalah sebuah tangis haru, ternyata aku salah. Aku terus berlari, tetapi jarak antara aku dan ibu tak kunjung berkurang satu jengkal pun. Ibu masih menangis. Aku mencoba berlari lebih kencang, tetapi lekuk peluk ibu masih berada di ujung sana.

Aku terus berlari, hanya terus berlari, entah sampai kapan. Aku tak pernah sampai pada peluk ibu. Aku tak pernah mencicipi kastengel dalam setoples itu. 

Jagad Wijaksono sktif di Komunitas Ngamparboekoe Cimahi. Menulis cerpen dan puisi, beberapa puisi terbit di media lokal dan termuat dalam antologi berjudul 3 Dermaga dan Bintang di Pulau Garam (Sastra Bunga Tunjung Biru, 2017) 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Teknologi dan Ikhtiar Selamatkan Bumi

Peningkatan inovasi teknologi dapat memberikan manfaat berlipat ganda bagi perusahaan dalam jangka panjang.

SELENGKAPNYA

Menanti Aksi 'Wonderkid' Tim Tango di GBK

Aksi para pemain muda timnas Argentina patut dinantikan.

SELENGKAPNYA

Menlu Blinken ke Beijing, Cina-AS Rujuk?

Biden dan Xi Jinping juga disebut berencana bertemu.

SELENGKAPNYA