Internasional
Erdogan Belum Tumbang, Barat Curigai Pemilu Turki
Lembaga pengawas Uni Eropa menuduh pemilu Turki tak transparan.
ANKARA -- Perolehan suara calon presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Turki 2023 yang melampaui perkiraan lembaga survei diwarnai kecurigaan negara-negara Barat. Sejumlah lembaga menuding bahwa pelaksanaan pilpres tersebut tak transparan.
Pilpres Turki dipastikan berlanjut ke putaran kedua. Sebab baik Erdogan maupun pesaing utamanya, yakni pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu, tak memperoleh suara di atas 50 persen. Setelah 99 persen kotak suara dihitung hingga Senin lalu, Erdogan unggul dengan raihan 49,4 persen suara. Sementara Kilicdaroglu menghimpun 44,96 persen suara. Putaran kedua pilpres bakal digelar pada 28 Mei mendatang.
Sementara itu dalam pemilu parlemen, partai Erdogan, yakni Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), berhasil memenangkan mayoritas kursi. Dari 600 kursi yang diperebutkan, AKP mengamankan 266 kursi. Sedangkan partai Kilicdaroglu, yaitu Partai Rakyat Republik (CHP), memperoleh 166 kursi.
Erdogan yang membawa ideologi konservatisme Islam dalam beberapa waktu belakangan kerap berseberangan dengan negara-negara Barat dan dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Sementara Kilicdaroglu menjanjikan demokratisasi Turki, agenda yang juga digaungkan negara-negara Barat.
Badan Kerja Sama dan Keamanan Eropa (OSCE) mengatakan, Dewan Pemilihan Tinggi Turki (YSK) memperlihatkan kurangnya transparansi dalam menangani penyelenggaraan pemilu parlemen dan presiden di negara tersebut pada Ahad (14/5/2023). OSCE pun menyoroti biasnya liputan media pemerintah Turki tentang pesta demokrasi tersebut.
Temuan itu dirilis misi pengamatan bersama dari Kantor Institusi Demokratik dan HAM OSCE (ODIHR), Majelis Parlemen OSCE (OSCE PA), dan Majelis Parlemen Dewan Eropa (PACE), dalam sebuah konferensi pers di Ankara pada Senin (15/5/2023). “Saya menyayangkan untuk mencatat bahwa pekerjaan administrasi pemilihan kurang transparan, serta bias yang luar biasa dari media publik dan keterbatasan kebebasan berbicara,” ungkap kepala misi pemantauan pemilihan ODIHR, Duta Besar Uni Eropa Jan Petersen.
OSCE mengerahkan 401 pengamat dari 40 negara untuk memantau jalannya pemilu parlemen dan presiden Turki pada Ahad lalu. Isu minimnya tranparansi juga diungkap dalam laporan Misi Pengawasan Pemilu Internasional (IEOM). “Proses penanganan pengaduan di semua tingkat administrasi pemilu kurang transparan dan keputusan YSK yang diterbitkan umumnya tidak cukup beralasan,” kata IEOM.
Meski mencatat adanya kekurangan transparansi dan bias pelaporan media pemerintah, OSCE tetap mengapresiasi tingginya partisipasi warga Turki dalam pemilu tahun ini. Lebih dari 64 juta warga terverifikasi berhak memberikan suaranya. “Demokrasi Turki terbukti sangat tangguh. Pemilu ini memiliki jumlah pemilih yang tinggi dan menawarkan pilihan nyata. Namun, Turki tidak memenuhi prinsip dasar penyelenggaraan pemilu yang demokratis,” ujar ketua delegasi PACE, Frank Schawabe.
Terkait poin demokratis yang disinggungnya, Schawabe meminta Pemerintah Turki memastikan kebebasan pers. Dia menekankan bahwa liputan yang menguntungkan pejawat Presiden Recep Tayyip Erdogan dan partainya yang berkuasa oleh lembaga penyiaran negara sama dengan penyensoran.
Tanggapan mancanegara
Di lain pihak, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dan Presiden Uzbekistan Shavkat Mirziyoyev menyampaikan ucapan selamat kepada Recep Tayyip Erdogan atas keberhasilan pemungutan suara di Turki. Kedua pemimpin tersebut melakukan panggilan telepon secara terpisah kepada Erdogan pada Senin (15/5/2023), menyatakan harapan bahwa hasil pemilu akan bermanfaat bagi bangsa Turki.
Aliyev menyampaikan harapannya kepada Erdogan. "Bahwa Turki telah membuat kemajuan yang luar biasa di bawah kepemimpinan Erdogan," kata Kantor Kepresidenan Azerbaijan dalam sebuah pernyataan. "Sebagai perwujudan dari hal ini, rakyat Turki yang bersaudara juga telah menunjukkan kepercayaan kepada pemimpin mereka dalam pemilihan umum ini," tambah pernyataan tersebut.
Kremlin mengatakan pada hari Senin bahwa Rusia mengharapkan kerja sama dengan Turki untuk terus berlanjut, diperdalam, dan diperluas setelah pemilu. "Tentu saja, kami mengamati berita-berita yang datang dari Turki akhir-akhir ini dengan penuh minat dan perhatian. Kami menghormati dan akan menghargai pilihan rakyat Turki. Namun, bagaimanapun juga, kami berharap kerja sama kami akan terus berlanjut, diperdalam, dan diperluas," ujar juru bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada para wartawan dalam sebuah konferensi pers.
Peskov mengatakan kerja sama antara Moskow dan Ankara saling menguntungkan dan memenuhi kepentingan rakyat kedua negara, dan menambahkan bahwa Turki dapat memastikan "pemilihan yang transparan" dan "mencegah terjadinya tindakan ilegal". Pada Sabtu malam, Peskov mengatakan kepada kantor berita pemerintah Rusia, TASS, bahwa Moskow dengan tegas menolak tuduhan campur tangan dalam pemilihan umum Turki.
Pada Kamis pekan lalu, Kilicdaroglu memang sempat menuduh Rusia berada di balik konten video yang diduga mendiskreditkan para kandidat presiden. Namun hal itu dibantah Peskov. "Mereka yang menyebarkan rumor semacam itu adalah pembohong."
Pejabat Uni Eropa Ursula von der Leyen dan Charles Michel juga mengucapkan selamat kepada para pemilih Turki atas jumlah pemilih yang besar dalam pemilu, dan memuji hal ini sebagai kemenangan bagi demokrasi.
"Ini adalah tanda yang sangat jelas bahwa rakyat Turki berkomitmen untuk menggunakan hak-hak demokratis mereka untuk pergi dan memberikan suara dan bahwa mereka menghargai lembaga-lembaga demokrasi," kata von der Leyen. Negara-negara Uni Eropa ini mengumumkan bahwa mereka akan "mengawasi pemilihan umum dengan cermat karena Turki adalah mitra utama blok ini."
"Turki adalah mitra kunci bagi Uni Eropa dalam berbagai aspek, dan kami mengikuti siklus pemilu di negara ini dan pemungutan suara yang akan datang dengan sangat cermat," Peter Stano, juru bicara utama kebijakan luar negeri, mengatakan pada konferensi pers harian Komisi Eropa sebelum pemilu.
Para pejabat Turki sebelumnya menyatakan keprihatinan mereka mengenai prasangka dan sikap pro Partai Kurdi (PKK) dari beberapa anggota parlemen Uni Eropa, yang dipilih untuk mengamati pemilu atas nama Dewan Eropa.
Kejutan
Beberapa hari sebelum Turki menuju pemilihan presiden yang paling penting dalam sejarah modernnya, sebagian besar jajak pendapat menunjukkan Presiden Recep Tayyip Erdogan tertinggal di belakang pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu. Namun dalam pemilihan umum pada Ahad (14/5/2023), Erdogan justru lebih unggul dari pesaingnya.
Seorang rekan senior dari Institut Washington, Sonar Cagaptay mengatakan, hasil pemilu Turki di luar ekspektasi. “Erdogan unggul sekitar tiga poin persentase atau lebih, itu mengejutkan,” kata Cagaptay, dilaporkan Aljazirah, Senin (15/5/2023).
Dalam survei yang dilakukan pada 6-7 Mei, lembaga survei terkemuka Konda menyatakan, dukungan untuk Kilicdaroglu mencapai 49,3 persen. Sementara dukungan bagi Erdogan mencapai 43,7 persen. Survei lain oleh perusahaan riset politik Gezici menunjukkan Kilicdaroglu unggul 1 poin dari Erdogan dengan 46,9 persen.
Jurnalis Aljazirah, Sinem Koseoglu yang melaporkan dari Istanbul mengatakan, secara umum jajak pendapat tidak terlalu dapat diandalkan di Turki. “Sebelum pemilihan, banyak lembaga survei yang dikritik dan dituduh menunjukkan afiliasi dengan partai atau pemimpin tertentu. Di satu sisi, (pemilihan) ini menunjukkan kepada kita bahwa lembaga survei dipolitisasi, dan mereka mencoba memengaruhi pemilih,” ujar Koseoglu.
Survei tatap muka yang dilakukan pada 10-11 Mei terhadap hampir 4.000 orang oleh agensi Orc memprediksi kemenangan langsung di putaran pertama untuk kandidat CHP dengan dukungan 51,7 persen. Pada Kamis (11/5/2023) setelah pemimpin Partai Tanah Air, Muharram Ince, mundur dari pemilihan presiden. Hal ini diharapkan secara luas akan meningkatkan peluang Kilicdarogolu dan Aliansi Bangsa enam partainya.
Salah satu dari sedikit jajak pendapat yang memprediksi kemenangan Erdogan adalah Optimar, yang dilihat oleh banyak orang sebagai lembaga yang condong ke pemerintah. Dalam jajak pendapat tersebut diperkirakan Erdogan akan memenangkan mayoritas surara langsung sebanyak 50,4 persen.
Sinan Ogan dari Aliansi ATA, yang merupakan kandidat capres menerima 5,17 persen suara. Hal ini mengejutkan para pengamat. Ogan kemungkinan akan memainkan aturan penting dalam putaran kedua karena Erdogan dan Kilicdarogolu akan mencoba untuk mendapatkan suara dari pendukungnya.
Pemilih oposisi menyatakan kekecewaan dan ketidakpercayaan atas perolehan suara Erdogan di putaran pertama. Pemilihan presiden dan parlemen pada Ahad (14/5/2023) menyajikan tantangan terbesar dalam 20 tahun kepemimpinan Erdogan. Dia tidak pernah kalah dalam pemilihan sejak 1994 ketika menjadi wali kota Istanbul.
Pemilihan umum diadakan di tengah krisis biaya hidup yang semakin dalam dan inflasi yang merajalela. Banyak pihak meyakini gempa bumi yang melanda Turki tenggara pada Februari akan mengikis popularitas Erdogan. Sejumlah pihak mengkritisi tanggapan pemerintah terhadap gempa dan kegagalan pemerintahan Erdogan menegakkan peraturan bangunan.
Kritikus Erdogan menuduh kelalaian pemerintah bertanggung jawab atas kematian lebih dari 50.000 orang akibat gempa. Jurnalis Aljazirah, Zeina Khodr yang melaporkan dari Provinsi Giazantep yang terdampak gempa mengatakan, dukungan untuk aliansi Erdogan di provinsi ini cukup besar.
“Ini (Giazantep) secara tradisional adalah kubu (Partai AK), di provinsi yang terkena dampak gempa bumi yang parah ini loyalitas masyarakat tidak terguncang,” kata Khodr.
"Ada kemarahan setelah gempa bumi atas lambatnya respons awal pemerintah. Hingga kini masih ada kemarahan karena rekonstruksi belum dimulai dengan sungguh-sungguh. Tapi Partai AK mempertahankan dukungannya di wilayah tersebut,” tambah Khodr.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.