Tema Utama
Bulan Pernikahan Rasulullah
Sejumlah wanita dinikahi Nabi Muhammad SAW tepat pada bulan Syawal.
Oleh: Hasanul Rizqa
Nabi Muhammad SAW adalah contoh paripurna untuk diikuti seluruh manusia. Segala perbuatannya merupakan tuntunan bagi mereka yang mengharapkan ketenteraman, baik di dunia maupun akhirat. Salah satu teladan yang beliau tunjukkan berkaitan dengan pernikahan.
Statusnya sebagai utusan Allah tidak membuat Rasulullah SAW menghindari urusan duniawi secara total. Bahkan, beliau pernah menegur beberapa Muslimin yang sempat berniat menghindari kebutuhan-kebutuhan ragawi, dengan cara semisal berpuasa selamanya atau tidak akan menikah. Nabi SAW bersabda kepada mereka, “Demi Allah, saya lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa ketimbang kalian. Saya berpuasa, tetapi juga berbuka. Saya shalat malam, tetapi saya juga tidur. Dan, saya pun menikah.”
Bagaimanapun, pernikahan yang dilakukan Rasul SAW berbeda hikmahnya dengan yang dilakukan manusia biasa. Sebagai contoh, dalam hidupnya beliau pernah menikah pada Syawal. Hal itu dilakukannya untuk membantah orang-orang Arab Jahiliyah yang meyakini, Syawal adalah bulan sial.
Risalah Islam yang beliau bawa menampik takhayul-takhayul yang dipelihara kaum musyrik. Dalam sebuah bukunya, Imam Nawawi menerangkan, “Terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (mazhab Syafii) telah menegaskan hal itu berdasarkan dalil hadis ‘Aisyah. Ia menceritakan (tentang pernikahan dengan Rasulullah SAW) dengan bermaksud membantah masyarakat Jahiliyah.”
Sejarah mencatat, Nabi SAW menikahi beberapa istrinya pada bulan Syawal. Mereka adalah Saudah binti Zam’ah, ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Ummu Salamah binti Abi Umayyah al-Makhzumiyah. Ketiganya termasuk para ibu kaum Mukminin (ummahat al-mu`minin) yang berpasangan dengan Rasulullah SAW dalam masa poligami beliau.
Untuk diketahui, Nabi SAW pertama kali menikah dalam usia 25 tahun. Istrinya ketika itu adalah Khadijah binti Khuwailid, seorang janda berusia 40 tahun. Dengan Khadijah, Rasulullah SAW dikaruniai enam orang anak. Sekira 25 tahun (riwayat lain menyebut 28 tahun) kemudian, istri yang dicintainya itu berpulang ke rahmatullah. Selama satu tahun, beliau sempat menduda hingga kemudian menikah lagi.
Diketahui, Rasulullah SAW wafat dalam usia 63 tahun. Artinya, beliau menjalani poligami sekira 12 hingga 13 tahun. Itu lebih singkat daripada masa monogaminya, yakni bersama dengan Khadijah, selama 25 tahun.
Saudah binti Zam’ah
Berkaitan dengan momentum Syawal, Saudah binti Zam’ah adalah wanita pertama yang Rasul SAW nikahi pada bulan tersebut. Beliau berjodoh dengan janda Sakran bin Amr bin Abdul Syams itu kira-kira satu tahun sesudah wafatnya Khadijah. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan bahwa Saudah adalah seorang wanita cantik, berharta, atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh duniawi dalam pernikahan itu.
Saudah termasuk orang yang mula-mula masuk lslam. Ia turut membela agama Allah, memikul pelbagai macam penderitaan demi mempertahankan keyakinan tauhid, khususnya di tengah kuatnya tekanan orang-orang kafir Quraisy Makkah. Saat masih menjadi istri Sakran, dirinya dan lelaki itu ikut berhijrah ke Habasyah (Etiopia). Sejumlah Muslimin memang dianjurkan Nabi SAW untuk berpindah ke negeri seberang Laut Merah tersebut.
Sakran wafat tatkala menetap di Etiopia. Maka kembalilah Saudah ke Hijaz dengan status barunya sebagai janda yang ditinggal wafat suami terkasih. Bagaimanapun, Muslimah ini berjiwa tegar.
Melihat hal itu, Rasulullah SAW menaruh perhatian yang sangat istimewa terhadapnya. Oleh karena itu, tiada henti-hentinya Khaulah binti Hakim as-Salimah menawarkan Saudah untuk beliau SAW hingga akhirnya beliau menerima Saudah.
Rasulullah SAW mendampingi Saudah dan membantunya menghadapi kerasnya hidup. Apalagi, kala itu, umur Saudah telah mendekati usia senja, sehingga membutuhkan seseorang yang dapat menjaga dan mendampinginya.
Setelah ditinggal Khadijah wafat, tidak ada seorang sahabat pun yang berani mengajukan masukan agar Rasulullah menikah lagi.
Khadijah telah mengimani Rasulullah SAW di saat manusia mengufurinya dan menyerahkan seluruh hartanya di saat orang lain menahan bantuan terhadapnya dan bersamanya pula Allah SWT mengaruniakan kepada Rasulullah SAW putra-putri yang baik.
Namun, melihat keadaan Rasulullah, Khaulah binti Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah SAW dengan cara yang lemah lembut dan ramah.
Khaulah bekata, "Tidakkah Anda ingin menikah, ya Rasulullah?"
Rasulullah SAW menjawab dengan nada sedih, "Dengan siapa aku akan menikah setelah dengan Khadijah?"
Khaulah menjawab, "Jika Anda ingin, Anda bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang janda."
Rasulullah SAW menjawab, "Jika dengan seorang gadis, siapakah gadis tersebut?"
Khaulah menjawab, "Putri dari orang yang Anda cintai, yakni Aisyah binti Abu Bakar."
Setelah terdiam beberapa saat, beliau bertanya, "Jika dengan seorang janda?"
Khaulah menjawab, "Ia adalah Saudah binti Zam'ah, seorang wanita yang telah beriman kepada Anda dan mengikuti yang Anda bawa."
Beliau lantas menyetujui anjuran Khaulah dan menikahi Saudah. Nabi SAW menikah dengannya pada bulan Syawal tahun ke-10 Hijriyah. Sebagai seorang istri, Saudah mampu menunaikan kewajibannya dalam rumah tangga bersama Rasulullah SAW, melayani putri beliau, dan mendatangkan kebahagiaan serta kegembiraan di hati al-Musthafa.
Setelah tiga tahun berjalan, masuklah Aisyah dalam rumah tangga Rasulullah SAW, disusul kemudian istrinya yang lain.
Saudah menyadari jika ia sudah masuk usia senja. Ia sadar, tidak bisa melayani Rasulullah SAW sebagaimana para istri beliau yang lain.
Rasulullah SAW pun hampir menceraikan Saudah. Namun, Saudah meminta agar Rasulullah SAW mempertahankannya sebagai istri. Saudah hanya ingin mencari ganjaran yang besar dan keutamaan sebagai istri Rasulullah SAW.
"Pertahankanlah aku, ya Rasulullah! Demi Allah, tiadalah keinginanku diperistri itu karena ketamakan. Akan tetapi, hanya berharap agar Allah SWT membangkitkan aku pada hari kiamat dalam keadaan menjadi istrimu."
Begitulah Saudah, lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang mulia maka ia berikan gilirannya (tidur) kepada ‘Aisyah untuk menjaga hati Rasulullah SAW. Sementara, ia sendiri sudah tidak memiliki keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.
Rasulullah SAW pun menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan halus tersebut. Saudah juga bersyukur kepada Allah SWT karena telah mendapatkan gelar Ummul Mukminin yakni dengan menjadi seorang istri Nabi SAW di surga. Ia hidup lebih lama daripada sang suami. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, wanita salehah ini wafat.
Putri sahabat mulia
Betapa dekat persahabatan Rasulullah SAW dengan Abu Bakar. Lelaki itulah yang mendampingi beliau kala berhijrah dari Makkah ke Madinah. Saat banyak orang mendustakan dan menghina Nabi SAW, termasuk sesudah peristiwa Isra dan Miraj, Muslim berjulukan ash-Shiddiq itu dengan tegas menyatakan percaya kepada beliau.
Karena itu, hubungan itu semakin erat lagi dengan adanya simpul kekeluargaan. Ash-Shiddiq tidak sekadar sahabat, melainkan juga mertua Nabi SAW. Itu sesudah beliau menikah dengan ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Di antara keistimewaan ‘Aisyah ialah pernikahannya terjadi atas petunjuk Allah SWT. Hal ini diketahuinya ketika suatu hari Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Aku pernah melihat engkau dalam mimpiku tiga hari berturut-turut sebelum aku menikahimu. Malaikat datang kepadaku dengan membawa gambarmu yang ditutup dengan secarik kain sutera. Malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu’. Aku pun membuka kain yang menutupi gambar wajah perempuan itu. Dan, ternyata perempuan itu adalah engkau.”
‘Aisyah menikah dengan Rasulullah SAW ketika usianya sembilan tahun. Namun, keduanya baru berkumpul saat ‘Aisyah berusia 16 tahun. Sebab, demikianlah idealnya umur dewasa perempuan zaman itu. Pernikahan tersebut juga sebagai cara Rasulullah SAW mempererat hubungan persaudaraan dengan Abu Bakar.
Babak baru dalam kehidupan ‘Aisyah bermula sejak Muslimin hijrah ke Madinah. Rasulullah SAW membuatkan rumah yang sederhana untuknya di samping masjid. ‘Aisyah tinggal serumah dengan beliau sejak usianya sembilan tahun.
Rasulullah SAW lebih mencintai ‘Aisyah dibandingkan istri-istri beliau lainnya—kecuali Khadijah. Seperti diriwayatkan Bukhari dan Muslim, suatu ketika Nabi SAW pernah ditanya Amr bin Ash. “Wahai Rasulullah,” kata sahabat tersebut, “siapakah orang yang paling engkau cintai?”
“Aisyah,” jawab beliau.
“Kalau dari kalangan laki-laki?”
“Ayahnya (Abu Bakar),” jawab Rasul SAW lagi.
‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq masih berusia belia saat menikah dengan Rasulullah Muhammad SAW. Kalangan orientalis yang tendensius terhadap Islam kerap menjadikan pernikahan tersebut sebagai perkara untuk memojokkan Nabi SAW. Padahal, pernikahan itu sah dan pantas adanya. ‘Aisyah sudah berusia baligh (dewasa) saat berumah tangga. Hubungan itu pun terjalin dengan tujuan yang lebih dari sekadar hubungan antara dua insan. Sebab, ada visi lain yang tak kalah penting, yaitu misi dakwah Islam.
Terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal.
Sejarah membuktikan, ‘Aisyah merupakan seorang yang cerdas. Perempuan yang dijuluki Humaira (‘pipi kemerah-merahan’) oleh Rasul SAW itu selalu berpikir kritis dan analitis dalam melihat suatu peristiwa. Ilmu hadis pun bisa dikatakan berutang banyak pada istri ketiga Nabi SAW tersebut.
Ini, misalnya, terlihat jelas dalam kasus hadis berikut. Suatu ketika, Abu Hurairah menanyakan kepada ‘Aisyah perihal hadis yang menyebutkan, “Shalat seseorang bisa batal karena tidak adanya pembatas yang menghalang orang dari melintas (di depan orang shalat itu), disebabkan melintasnya perempuan, himar, dan anjing hitam.”
Sanad hadis ini juga diperoleh dari sahabat Nabi SAW lainnya, semisal Abu Dzar al-Ghifari. Mendengar keterangan itu, ‘Aisyah lantas menyampaikan pendapatnya, berdasarkan pengalamannya serumah dengan Nabi SAW.
Ia berkata, “Demi Allah, aku melihat Nabi SAW sedang shalat, sementara aku sedang tiduran telentang di atas tikar, kakiku berada di antara beliau dan kiblat. Timbul niat dariku untuk tidak duduk sehingga bisa mengganggu shalat Nabi SAW. Maka, aku membiarkan kakiku terjulur di hadapan Nabi SAW.”
Di sini, ‘Aisyah hendak menegaskan pandangannya kepada sahabat Nabi SAW itu. Seseorang hendaknya mengkaji terlebih dahulu seluruh keterangan yang ada sebelum dapat menyimpulkan suatu hukum. Dalam kasus ini, ‘Aisyah tak setuju bila shalat seseorang batal bila ada orang melintas di depannya. Buktinya, lanjut sang Humaira, Nabi SAW tetap meneruskan shalatnya meskipun kaki ‘Aisyah melintang di hadapan beliau.
Kisah di atas hanyalah satu dari rupa-rupa kontribusi ‘Aisyah bagi ilmu hadis. Perempuan mulia itu memang berperan penting dalam menyampaikan risalah Nabi SAW. Sebab utamanya, tentu, lantaran ia tinggal serumah dengan Rasulullah SAW dan rumahnya pun bersisian dengan Masjid Nabawi. Namun, kedekatan itu tak mungkin berarti apa-apa bila tak ditunjang kecerdasan dari sang perempuan itu sendiri.
Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, di Madinah dan Makkah marak bermunculan majelis-majelis keilmuan. Ada yang diselenggarakan para sahabat dari kalangan pria, semisal Abu Hurairah, Ibnu Abbas, atau Zaid bin Tsabit. Bagaimanapun, majelis ilmu yang bisa dibilang paling besar ialah yang diadakan ‘Aisyah RA. Bahkan, dialah yang menjadi poros utama dalam transmisi keilmuan Islam pada fase sahabat dan tabiin.
Teladan salihah
Ummul Mukminin ini bernama lengkap Hindun binti Abu Umayyah Hudzafah bin al-Hughirah al-Qurasisyiyah al-Makhzumiyah. Ia lebih dikenal dengan julukan, Ummu Salamah. Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Muslimah ini merupakan istri seorang sahabat bernama Abu Salamah. Lelaki itu menjumpai syahid kala Perang Badar.
Sejarah mencatat, pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Ummu Salamah terjadi pada bulan Syawal. Di kalangan shahabiyat, wanita ini masyhur dengan komitmennya yang kuat pada dakwah Islam. Ia memang termasuk yang berislam sejak masa dakwah di Makkah al-Mukarramah.
Sewaktu masih menjadi istri Abu Salamah, ia pernah turut berhijrah ke Etiopia. Begitu datang seruan untuk pindah ke Madinah, maka keduanya pun ikut serta.
Pasangan ini saling mencintai satu sama lain. Bahkan, pernah suatu ketika Ummu Salamah berkata kepada Abu Salamah, “Kudengan bahwa seorang istri yang ditinggal mati suaminya akan mendapatkan balasan surga. Dan jika ia tidak menikah lagi (sepeninggal suaminya), maka Allah akan mengumpulkannya dengan suaminya di surga. Maka, aku berjanji kepadamu, tidak akan menikah lagi setelah engkau tiada.”
Mendengar itu, Abu Salamah menolak keinginan sang istri dengan lemah lembut. “Maukah engkau mematuhiku?” katanya.
“Tentu saja,” jawab sang istri.
“Dengarkan aku. Aku ingin kelak ketika aku sudah wafat, menikahlah,” pinta Abu Salamah. Sesudah itu, sang suami berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah kepada ia sosok pendamping yang lebih baik dariku, yang tidak akan membuatnya berat hati, dan yang tidak akan pernah menyakitinya.”
Sesudah Perang Badar, Ummu Salamah menjadi janda yang ditinggal wafat suami. Ketika telah habis masa idahnya, ia belum sepenuhnya merasa tepat untuk menikah lagi. Meskipun demikian, beberapa sahabat Nabi SAW sudah menyatakan maksud untuk melamarnya. Ummu Salamah menolak mereka dengan sopan.
Rasulullah Saw pun turut memikirkan nasib wanita nan mulia itu. Ummu Salamah adalah seorang wanita mukminah yang jujur, setia dan sabar. Suatu hari, saat Ummu Salamah sedang menyamak kulit, Rasulullah datang dan meminta izin kepada Ummu Salamah untuk menemuinya. Ummu Salamah mengizinkan beliau. Ia mengambilkan sebuah bantal yang terbuat dari kulit dan diisi dengan ijuk sebagai tempat duduk bagi Nabi. Maka Nabi pun duduk dan melamar Ummu Salamah.
Mendengar lamaran itu, perasaannya bercampur antara percaya dan tidak. “Bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan Anda ya Rasulullah… hanya saja aku adalah seorang wanita yang pencemburu, maka aku takut jika engkau melihat sesuatu yang tidak anda senangi dariku maka Allah akan mengazabku,” tutur Ummu Salamah.
“Lagipula saya adalah seorang wanita yang telah lanjut usia dan memiliki tanggungan keluarga,”ujarnya.
Rasulullah SAW pun berkata, “Apa pun alasanmu bahwa engkau adalah wanita yang telah lanjut usia, maka sesungguhnya aku lebih tua darimu dan tiadalah aib manakala dikatakan dia telah menikah dengan orang yang lebih tua darinya.”
Berkat kesalehannya, Allah telah menganti suaminya yang telah wafat dengan seorang suami yang lebih baik, yakni Rasulullah SAW. Ummu Salamah pun menjadi seorang Ummul Mukminin yang hidup dalam rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu kedudukan yang beliau harapkan. Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati bersama para ummahatul mukminin.
Pernikahan Ummu Salamah dengan Rasulullah SAW bukan hanya menjadi jawaban doa sang syuhada, Abu Salamah. Dalam konteks dakwah Islam, pernikahan tersebut berimplikasi luas pada mewujudkan perdamaian. Untuk diketahui, wanita salihah itu berasal dari Bani Makhzum.
Pada mulanya, kabilah ini memusuhi atau tidak menyukai Rasulullah SAW. Syiar Islam di Makkah pun dalam beberapa aspek sempat terkendala. Sebab, Bani Makhzum tergolong kelompok elite di tengah kaum Quraisy.
Maka dengan menikahi seorang wanita dari kalangan mereka, Rasul SAW menunjukkan bahwa beliau tidak sedikit pun menyimpan rasa permusuhan ataupun dendam kepada Bani Makhzum. Bahkan, beliau memuliakan mereka. Maka, lambat laun hubungan kabilah tersebut dengan Nabi SAW kian membaik.
Walaupun tidak sebanyak ‘Aisyah yang meriwayatkan lebih dari 2.200 hadis, Ummu Salamah turut berperan penting dalam diseminasi sunnah Rasulullah SAW. Salah seorang ummul mukminin itu meriwayatkan sebanyak 388 hadis. Sebanyak 13 di antaranya disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Adapun yang dinukil masing-masing yakni sebanyak tiga hadis dan 13 hadis.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.