
Kronik
The Smiling General tak Lagi Tersenyum
Makin lama ia berkuasa, makin tinggi pula kadar sensitivitasnya.
Oleh SELAMAT GINTING
The Smiling General. Itulah tampilan yang diperlihatkan Jenderal Soeharto pada 1966 hingga menjelang pertengahan 1967. Ia selalu tersenyum dan menunjukkan sikap sabar.
Tak banyak jenderal yang menampilkan raut muka seperti itu. Di situlah sejumlah wartawan asing menjulukinya sebagai jenderal ganteng yang selalu tersenyum atau the smiling general.
Namun, senyum manis sang jenderal tiba-tiba berubah menjadi murka. Tatkala tokoh kesatuan aksi Adnan Buyung Nasution dalam suatu pertemuan, 13 Juni 1967, dengan tajam melontarkan kritik bahwa ABRI semakin rakus. Dengan marah Soeharto berkata,
“Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempiling….” Wajah sang jenderal tak lagi tersenyum. Kulit wajahnya mengeras, tulang rahangnya menonjol. Bibirnya bergetar.
Masih dalam tahun yang sama, pada kesempatan 8 November, Jenderal Soeharto kembali menunjukkan sikap yang telah berubah kepada mitra pendukungnya. Saat menghadapi demonstrasi massa KAMI, KAPI, dan KAPPI di depan Gedung Presidium Kabinet, Jalan Merdeka Barat, yang meminta perhatiannya selaku pejabat presiden, pengunjuk rasa memprotes semakin melonjaknya harga beras.
Di situ, Soeharto membiarkan massa menunggu dulu dua jam lamanya sebelum menemui mereka. Dengan nada agak ketus, Soeharto berkata kepada massa yang dulu ikut mendukungnya menuju istana dengan menjatuhkan Presiden Sukarno. Kata Soeharto, “Kalau kesatuan aksi bermaksud menindak orang yang bertanggung jawab atas kesukaran hidup dewasa ini, maka sayalah orangnya yang harus ditindak.”
Reaksi Soeharto yang biasanya tenang dan murah senyum kepada massa mahasiswa dan pelajar pada masa lampau itu, cukup mengejutkan banyak orang. Pimpinan demonstran, Arief Budiman, kemudian menanggapi hal tersebut dengan nada pahit. “Dia seakan-akan menghadapi para demonstran sebagai ‘pemuda-pemuda iseng’ yang mengganggu kerjanya,” kata Arief.
Dia seakan-akan menghadapi para demonstran sebagai ‘pemuda-pemuda iseng’ yang mengganggu kerjanya.
Bagi Arief, sikap Jenderal Soeharto yang menantang para pemuda itu sebagai sikap tidak simpatik. Para pemuda itu datang karena penderitaan yang tak teratasi lagi. “Mereka tahu bahwa Pak Harto berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Tapi, mereka juga tahu banyak, para pembantu Soeharto hidup bermewah-mewah dari hasil korupsinya.”
Namun, lanjut Arief, barangkali mereka tak tahu bagaimana orang-orang itu berkorupsi, mereka tak punya dokumen-dokumennya. Namun dengan logika yang elementer saja, melihat kehidupan pribadi mereka dengan rumah yang mewah, dengan jumlah mobil yang cukup banyak, dan membandingkannya dengan gaji yang mereka seharusnya terima, segera dapat disimpulkan bahwa di balik semua ini pasti ada apa-apanya (korupsi).
Mahasiswa pun mulai mengkritik perilaku tentara yang kerap meminjam dan menyetop kendaraan umum untuk kepentingan ‘dinas’. Namun sebaliknya, mobil-mobil tentara justru digunakan untuk ‘ngobjek’ mengangkut barang-barang milik swasta. Mendengar kritikan pedas itu, Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Amir Mahmud langsung menerjemahkan kemarahan bosnya dengan membuat larangan-larangan soal demonstrasi dan berkumpul.
Sikap Jenderal Soeharto dan antisipasi Amir Mahmud menunjukkan karakter militernya. Sekaligus menunjukkan bahwa setelah berkuasa, mereka tak membutuhkan lagi gerakan ekstraparlementer sebagai alat yang setahun sebelumnya dimanfaatkan dan diprovokasi dari belakang layar untuk menekan Sukarno. Bahkan, Soeharto mulai menempatkan kaum muda ini sebagai onak duri yang harus mulai disingkirkan. Dan, semuanya terbukti dengan apa yang dilakukannya pada 1970-an, terutama pada 1974 dan 1978.
Mereka tak membutuhkan lagi gerakan ekstraparlementer sebagai alat yang setahun sebelumnya dimanfaatkan dan diprovokasi dari belakang layar untuk menekan Sukarno.
Intrik Istana
Setelah lima tahun berkuasa, Jenderal Soeharto menjadi lebih sensitif lagi. Apalagi, caranya berkuasa mulai dikritik dan dipersoalkan sejumlah pihak, termasuk mahasiswa. Yang membuat Soeharto semakin murka ialah ketika ia mulai mencium adanya intrik di lingkungan kekuasaannya. Terjadi polarisasi antara beberapa jenderal dan sejumlah pejabat tinggi negara.
Murka diperlihatkan Soeharto ketika menghadapi kritik-kritik mahasiswa terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Proyek itu diprakarsai Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto (Ibu Tien). Kemarahan Soeharto diperlihatkan saat peresmian Rumah Sakit Pusat Pertamina di Kebayoran Baru, 6 Januari 1972.
Dalam suatu pidato tanpa teks, Jenderal Soeharto mengecam penggunaan hak demokrasi yang berlebih-lebihan dan mengancam akan menghantam serta menindaknya. Ia mengaku mengetahui secara jelas rencana pembangunan TMII sebagai miniatur Indonesia.
“Tak bertentangan dengan srategi jangka panjang perjuangan bangsa, pun tidak bertentangan dengan strategi jangka pendek. Sebagai penanggung jawab pembangunan, saya menjamin itu tidak akan mengganggu pembangunan. Juga takkan mengganggu keuangan negara dan penerimaan negara,” kata Soeharto dengan nada meninggi.
Sebagai penanggung jawab pembangunan, saya menjamin itu tidak akan mengganggu pembangunan.SOEHARTO, Presiden ke-2 RI
“Jadi, saya sampai bertanya-tanya kenapa mesti dihebohkan? Apa landasannya untuk diragukan, apakah mengganggu pembangunan? Apakah karena Bang Ali project officer-nya, ataukah karena pemrakarsanya kebetulan istri saya, lalu dianggap ini proyek mercusuar?” ujar Soeharto dengan mimik serius. Berkata lagi, “Atau apakah dianggap mau mempertahankan terus kursi presiden?”
Ia mulai menyampaikan berbagai dugaan bernada prasangka dan peringatan. Soeharto menyebut isu-isu itu bertujuan jangka pendek untuk mendiskreditkan pemerintahan yang dipimpinnya. Dan untuk jangka panjang, mendepak ABRI dari eksekutif maupun mendepak Dwifungsi ABRI, lalu menggiring ABRI masuk kandang. “Bila memang itu soalnya, bukan semata soal Miniatur (TMII), maka ABRI-lah yang akan menjawab, ‘ABRI tidak akan melepaskan dwifungsinya’,” tegas Jenderal Soeharto.
Dengan perasaan jengkel, Soeharto berbicara tentang dirinya yang merasa diusik kanan-kiri. Untuk itu, dia memberikan alternatif bahwa kalau ada yang menghendaki dirinya mundur karena menganggapnya terlalu ke-‘jawa’-an, lamban, alon-alon asal kelakon dan sebagainya, tak perlu ribut-ribut. “Gampang, gunakan kesempatan sidang MPR 1973. Kalau mau lebih cepat lagi, adakan Sidang Istimewa MPR.”
Syaratnya, lanjut Soeharto, semua berjalan secara konstitusional. “Kalau tidak, jangan kaget kalau Jenderal Soeharto kembali ke sikap keras seperti 1 Oktober 1965 ketika menghadapi PKI. Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional, sebab akan saya hantam, siapa saja,” ujarnya.
Jangan coba-coba melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional, sebab akan saya hantam, siapa saja.SOEHARTO, Presiden ke-2 RI
Mereka yang memakai kedok demokrasi secara berlebih-lebihan, akan ditindak tegas. “Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum,” kata Soeharto, “Demi kepentingan negara dan bangsa, saya akan gunakan Supersemar.” Ya, Surat Perintah 11 Maret 1966, bagi Jenderal Soeharto adalah surat ‘pelimpahan kekuasaan’ yang diperolehnya dari Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI Sukarno.
Dekrit Supersemar pada 11 Maret 1966 mengalihkan sebagian besar kekuasaan Sukarno atas parlemen dan angkatan bersenjata kepada Letnan Jenderal Soeharto. Sehari kemudian, 12 Maret 1966, Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyatakannya sebagai partai terlarang di Indonesia.
Dengan ‘supersemar’ itu pula, Soeharto menangkap sejumlah menteri yang diduga terlibat dalam PKI. Ia melakukan “pembersihan” unsur-unsur PKI di Indonesia, yang kemudian menyebabkan terjadinya pembunuhan sistematis atas sekitar 500 ribu tersangka komunis yang kebanyakan warga sipil.
Pascaperistiwa G 30 S 1965 itu mengakibatkan situasi politik di Indonesia memburuk. Namun, hal itu membuat kekuasaan Soeharto semakin digdaya. Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967 kemudian menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No. XXXIII/1967.
Selaku pemegang Ketetapan MPRS tersebut, Jenderal Soeharto menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Sukarno dan pada 12 Maret 1967 ia menjadi pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Satu tahun kemudian, pada 27 Maret 1968, Soeharto menjadi presiden berdasarkan hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968). Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968, ia menyebut era kepemimpinannya sebagai “Orde Baru”, dan sejak itulah Indonesia memasuki era rezim Soeharto yang represif.
Pada 10 Juni 1968, Jenderal Soeharto membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Pembangunan. Sang jenderal pun membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden, mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata, dan memberikan sembilan kursi wakil provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar.
Lima tahun kemudian, Soeharto kembali terpilih menjadi presiden melalui hasil Sidang Umum MPR pada 23 Maret 1973. Sejak itu, rezim Orde Baru semakin berkuasa di Indonesia hingga lebih dari 30 tahun.
Disadur dari Harian Republika Edisi Senin, 21 Januari 2013
Interaksi Islam dengan Peradaban ‘Tua’
Seiring dengan ekspansi Islam sejak zaman Empat Khalifah, budaya-budaya luar pun diterima Muslimin.
SELENGKAPNYAPembenahan Buffer Zone Mendesak
Pembenahan pemukiman di sekitar TBBM Plumpang sudah sejak 2009.
SELENGKAPNYA