OPINI -- Urgensi Konsolidasi Masyarakat Sipil | Republika/Daan Yahya

Opini

Urgensi Konsolidasi Masyarakat Sipil

Pada momen-momen itu pula peran masyarakat sipil semakin penting.

IKHSAN YOSARIE; Peneliti di SETARA Institute dan Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia

Menjelang dan pascapemilu menjadi momen penting dalam memperhatikan dinamika politik. Pada masa-masa itu, kita akan melihat geliat secara gamblang para politikus hingga kekuasaan dengan beragam cara, baik tindakan maupun kebijakan.

Geliat yang dimaksud dapat berupa upaya mengamankan hingga mendapatkan kekuasaan. Publik dengan mudah bisa melihat ataupun menafsirkan, peristiwa-peristiwa masa itu selalu berkelindan dengan kontestasi pemilu, termasuk 2024 mendatang.

Bersamaan dengan itu, pada momen-momen itu pula peran masyarakat sipil semakin penting. Bukan hanya penyeimbang terhadap kekuasaan, melainkan juga menjaga kewarasan publik. Kondisi ini tecermin pada kontestasi politik menjelang dan pasca-Pemilu 2019.

Dalam konteks menjelang 2024, urgensi ini kian tampak. Dalam beberapa bulan dan tahun ke belakang, dunia hukum dan kontestasi politik kita memiliki setumpuk catatan kelam demokrasi.

 
Dalam beberapa bulan dan tahun ke belakang, dunia hukum dan kontestasi politik kita memiliki setumpuk catatan kelam demokrasi.
 
 

Di antara persoalan yang menjadi puncak gunung es adalah intervensi kekuasaan kehakiman oleh lembaga legislatif dalam penggantian hakim konstitusi di tengah masa jabatan, isu dan/atau wacana perpanjangan masa jabatan presiden ataupun penundaan pemilu.

Isu terbaru, diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau dikenal Perppu Cipta Kerja.

Dinamika dan peran

Pada awal Januari 2023, salah satu diskursus menarik sempat muncul ke permukaan soal posisi akademisi di tengah gejolak hukum-politik, yang semakin memperlihatkan kecenderungan perbenturan antara posisi politik dengan intelektualitas dan/atau sikap akademisi, pun demikian dengan yang berlatar belakang aktivis.

Keberadaan akademisi ataupun aktivis dalam lingkaran kekuasaan tentu kita pahami dapat berkontribusi untuk mengantisipasi persoalan-persoalan demikian agar tidak terjadi.

Secara sederhana, kita dapat memahaminya demikian karena ini menjadi implementasi paradigma ”memperbaiki dari dalam”, yang sering kita dengar sejak berorganisasi di kampus.

Melalui paradigma tersebut, kita membayangkan masuknya dua kelompok ini bisa membendung hasrat kekuasaan yang barang kali meluap-luap di dalam. Cara membendung ini tentu dengan menghadirkan, mengimbangi, dan memberikan alternatif ide.

Namun seiring waktu, kemungkinan terjadinya hal-hal tak kontributif dengan paradigma tadi justru juga dapat terjadi. Yakni, pertama, mengambil sikap diam. Kedua, berkomentar formal, atau bahkan ekstremnya berupa sikap ketiga, yaitu perubahan sikap.

Atas potensi terjadinya hal ini, dinamika dalam lingkaran kekuasaan juga semestinya bisa menjadi instrumen yang membentuk pemahaman kita mengenai implikasi, yang dapat terjadi jika masuk ke lingkaran kekuasaan.

 
Dinamika dalam lingkaran kekuasaan juga semestinya bisa menjadi instrumen yang membentuk pemahaman kita mengenai implikasi, yang dapat terjadi jika masuk ke lingkaran kekuasaan.
 
 

Kondisi ini tentu menjadi perdebatan. Ada yang berpandangan, kita perlu untuk tidak langsung memberi penghakiman kepada mereka yang bersikap sebagaimana tiga kemungkinan tadi, sebab ada dinamika yang barangkali pihak luar tidak mengetahui.

Namun, tak sedikit yang memberikan stereotip pada kondisi demikian sebab mungkin mereka yang berpandangan seperti ini masih memegang prinsip ”mengubah dari dalam”. Sikap yang terakhir ini perlu kita pertimbangkan karena ada nilai yang tengah dipegangnya.

Meski ada pandangan kita perlu untuk tidak langsung memberi penghakiman kepada mereka yang mengalami perubahan sikap, tetapi menjengkelkannya adalah ketika akademisi atau aktivis di lingkaran kekuasaan itulah yang menjadi perpanjangan mulut kekuasaan.

Atau menjadi lawan debat dari luar kekuasaan yang menentang suatu kebijakan. Kondisi ini paling tidak terlihat dari tiga persoalan yang telah disebutkan sebelumnya.

Uniknya, tidak sulit mengingat atau menemukan rekam jejak ketika mereka yang di lingkaran kekuasaan kini, juga berada di garis terdepan memberikan kritikan kepada kekuasaan atas suatu kebijakan, baik secara pribadi maupun dalam gerakan masyarakat sipil.

Hanya posisi politiklah yang terkadang dapat memperlihatkan dan menjelaskan kepada publik landasan perubahan sikap tersebut. Persoalan penting lainnya, stereotip mengenai segala kritik dan dukungan sebagai representasi perilaku dari posisi politik.

Argumentasi dikerdilkan sebatas posisi politik sehingga substansi menjadi tertutupi. Kondisi demikian di antaranya dapat kita pahami melalui penyebutan ”barisan sakit hati” kepada beberapa kalangan, yang mengkritisi pemerintah oleh pihak tertentu.

 
Argumentasi dikerdilkan sebatas posisi politik sehingga substansi menjadi tertutupi.
 
 

Secara mudah, stereotip menjadi potret minimnya kualitas atau ketidakmampuan pihak terkait dalam merespons kritikan dengan argumentasi. Lebih dari itu, penurunan kualitas ini terkadang atau berpotensi menyasar kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Terhadap persoalan yang menyangkut masa depan demokrasi kita, sudah sewajarnya akademisi dan aktivis di luar kekuasaan memberikan kritikan. Namun, kriminalisasi terkadang menunggu di ujung jalan.

Begitu juga jika menyangkut hajat hidup orang banyak, sudah sewajarnya masyarakat ikut berkomentar sebagai bentuk partisipasi dalam politik dan bernegara. Namun, komentar tersebut dibenturkan pada data dan dasar keilmuan.

Ada juga yang mengatakan kritik harus disertai solusi. Jika tidak, ibarat rumusan masalah tanpa disertai solusi dalam sebuah penelitian. Bayangkan bagaimana jika ucapan itu disampaikan kepada masyarakat yang dari pagi bertemu pagi membanting tulang mencari nafkah, tetapi terdampak langsung dari kebijakan tersebut.

Padahal, tidak jarang komentar masyarakat justru mempertanyakan kehadiran pemerintah atau negara ketika rakyatnya terjepit akibat persoalan tersebut. Tidak ada lagi benang merah yang memisahkan antara mana yang persoalan bangsa dan politik.

Quo vadis?

Dinamika kenegaraan di tahun politik sering kali mencerminkan terganggunya rasionalitas bangsa. Semua argumentasi dikerucutkan menjadi pro atau kontra pemerintah. Narasi dan kritik konstruktif minim atau tersendat mengemuka diruang publik.

Pada titik ini, akademisi dan aktivis yang dapat kita sebut bagian dari kaum inletektual, seharusnya bergerak “memadamkan kebakaran” ini dan menyelamatkan narasi serta rasionalitas bangsa.

Akan lebih ironis apabila kaum intelektual yang telah merapat ke kekuasaan lupa jalan pulang. Mereka justru akan berbicara sesuai kepentingan dan untuk membela kelompok masing-masing. Akan minim kita mendengar narasi-narasi yang meluruskan rasionalitas dan solusi-solusi kreatif lainnya, yang ada hanya pembelaan.

 
Akan lebih ironis apabila kaum intelektual yang telah merapat ke kekuasaan lupa jalan pulang.
 
 

Melihat situasi bangsa seperti ini, kaum intelektual semestinya kembali pulang secara pikiran dan gagasannya. Jabatan yang diberikan jangan sampai mengerdilkan martabat dan idealismenya.

Intelektual tak boleh jadi alat kultural negara atau alat negara untuk melakukan –meminjam istilah Paulo Freire– penjinakan secara sosial dan budaya terhadap masyarakat. Mereka harus bebas kepentingan praktis agar selalu jernih menilai persoalan dan berargumentasi.

Apa yang kita cemaskan jika kaum intelektual lupa jalan pulang adalah tidak ada lagi rausyan fikr atau pemikir tercerahkan --meminjam istilah Ali Shariati. Kecerahan berpikir mereka tertutup posisi politik yang mereka ambil.

Mereka menjadi benteng, sayangnya bukan benteng rasionalitas bangsa. Lebih lagi, intelektual kita tidak lagi bersifat seperti intelektual organik, tetapi intelektual tradisional --meminjam istilah Antonio Gramsci.

Mereka memiliki garis batas antara kehidupan mereka dengan kehidupan rakyat dan sosial lainnya karena telah berada di pihak elite politik, pro ataupun kontra pemerintah. Akibatnya, kaum intelektual tak lagi mampu merasakan emosi, nilai, dan perjuangan masyarakat.

Sehingga mereka (para intelektual) kehilangan kepekaan sosial dalam menangkap gejala kemasyarakatan dan kehilangan daya tangkap objektif, dalam menafsirkan suatu persoalan. Mereka justru bertransformasi menjadi alat negara untuk melakukan penjinakan sosial dan budaya, seperti kata Paulo Freire.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Menengok Kesultanan Deli yang ‘Ditinggalkan’

Banyak anggota keluarga kesultanan kini kesulitan dalam ekonomi.

SELENGKAPNYA

Kembalinya Keriangan di Gunung Salju

Pariwisata di Jepang menggeliat kembali pascapandemi.

SELENGKAPNYA

Mengeratkan Kepedulian

Sikap peduli sebagai simbol keimanan dan ketakwaan setiap manusia terhadap Sang Pencipta.

SELENGKAPNYA