
Kronik
Hukum Syariah di Bawah Ketidakpastian
Realisasi perundang-undangan berkaitan erat dengan kekuasaan.
OLEH NASHIH NASRULLAH
Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak revisi regulasi pernikahan beda agama yang tercantum dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sepanjang sejarah Indonesia upaya mengutak-atik regulasi tersebut selalu mendapat perlawanan elemen umat Islam.
Mengapa demikian? Mengapa regulasi itu begitu mati-matian dipertahankan. Hal itu ternyata punya akar panjang dalam sejarah relasi umat Islam dan negara Indonesia. Sejarah yang berkelindan dengan upaya keras dilakukan umat Islam sepanjang sejarah di Tanah Air untuk memiliki hukum formal pernikahan berbasis syariat. Berikut tulisan bagian pertamanya disadur dari Harian Republika edisi 14 September 2014.
Menurut Nawawi Muhammad dalam “Hukum Perkawinan di Indonesia”, geliat itu tampak sejak kerajaan Islam berdiri di bumi pertiwi. Para sultan yang menjadi penguasa nusantara memberlakukan hukum Islam di wilayah kekuasaannya, termasuk soal pernikahan dengan menunjuk para penghulu. Sebagian besar berdasarkan Mazhab Syafii.
Ketika Belanda masuk ke bumi Indonesia pada 1596 melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kedudukan hukum Islam diakui. Tak hanya mengakui, VOC bahkan memberikan kemudahan agar hukum Islam terus berkembang. VOC juga menerbitkan buku-buku hukum Islam agar bisa menjadi pegangan para hakim peradilan agama dalam memutuskan perkara-perkara.

Seperti kitab-kitab al-Muharrar di Semarang, Shirath al-Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniry di Kota Raja Aceh. Kitab karangan Syekh Arsyad al-Banjary yang berjudul Sabilul al-Muhtadin untuk para hakim di Kerajaan Kadi, Banjarmasin. Serta kitab Sajirat al-Hukmu untuk Mahkamah Syar'iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik, dan Mataram.
Selama hampir dua abad, hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat Muslim terus berjalan. Melalui dekrit Kerajaan Belanda, pada 1835, pemerintah kolonial secara formal mengakui kekuasaan penghulu untuk memutuskan segala permasalahan perkawinan. Serta, warisan dalam masyarakat Jawa dan semua hal yang berkaitan.
Ini diperkuat oleh teori LWC Van Den Berg bahwa masyarakat Indonesia menjadikan Islam sebagai hukum mereka. Teori ini dikenal dengan Recepcio in Complexu. Sejak 1855, teori itu didukung peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui Pasal 75, 78, dan 109 RR 1854.
Namun, orientalis Christian Snouck Hurgronje saat itu berpendapat lain, hukum yang berkembang di masyarakat Indonesia bukan hukum Islam. Tapi, lebih tepat disebut hukum adat. Pendapat Hurgronje itu dikenal dengan teori Receptie.

Teori tersebut jelas membuat Pemerintah Belanda tak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku di masyarakat, yang memicu munculnya Indische Staatsregeling (IS) Pasal 131 Ayat 6 bahwa hukum adat akan tetap digunakan dan bukan hukum Islam.
Lahirnya peraturan dari Pemerintah Belanda jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Bagaimana dengan seorang Muslim atau Muslimah yang tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Muncul kekhawatiran mungkin pernikahan yang dilakukan bisa saja bertentangan dengan hukum Islam.
Ini terbukti dengan IS Pasal 131 Ayat 2 bahwa bangsa Indonesia bisa mengacu ke Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. UU yang ada saat itu memang tidak protektif terhadap umat Islam. Salah satunya membuka peluang pernikahan beda agama untuk Muslim atau Muslimah.
Pada 22-25 Desember 1928, Kongres Perempuan I di Yogyakarta menginginkan Pemerintah Belanda agar segera menyusun undang-undang perkawinan. Mengutip Nani Suwondo dalam bukunya Kedudukan Wanita, pada 1937, Pemerintah Hindia Belanda menyusun rencana ordonansi perkawinan dengan pokok-pokok, perkawinan berdasarkan asas monogami, dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun.
Serta, perceraian sah adalah yang diputuskan oleh hakim. Namun, ordonansi tersebut ditolak karena dianggap mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
Pada 22-25 Desember 1928, Kongres Perempuan I di Yogyakarta menginginkan Pemerintah Belanda agar segera menyusun undang-undang perkawinan.
Hingga berakhirnya masa penjajahan, tak ada undang-undang yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda tentang materi perkawinan seluruh bangsa Indonesia.
Hukum perkawinan yang berlaku hanya Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) untuk orang-orang Indonesia beragama Kristen. Ada pula peninggalan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) untuk keturunan Eropa dan Cina.
Ketidakpastian Hukum
Mahsun Fuad dalam “Hukum Islam Indonesia” menerangkan, bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa prakemerdekaan, khususnya akhir masa penjajahan, berada dalam posisi yang tidak pasti. Hal tersebut dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme dan karena wilayah yang tidak satu pun sistem hukum mampu mengakomodasi pluralitas hukum.
Sejujurnya, sistem hukum saat itu merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan Islam. Penyusunannya sendiri belum terkonstruksi dengan baik. Itulah yang membuat hukum Islam gagap berhadapan dengan sistem hukum Belanda dan sistem hukum adat. Saat itu juga, nuansa politik yang masih dalam proses eklektisisme dengan hukum Belanda begitu kental.
Ketika Orde Lama berkuasa, muncul keinginan untuk memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia. Sayangnya, pada masa itu, peraturan peninggalan pemerintah kolonial Belanda tetap berlaku menurut golongannya masing-masing.

Pertama, bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum adat. Kedua, bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam. Ketiga, bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI).
Keempat, bagi warga keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Dan, yang terakhir, bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan campuran (Staatsblad 1898 Nomor 158) atau GHR.
Kodifikasi hukum perkawinan Islam yang tidak seragam memunculkan banyak kejadian kurang menyenangkan. Salah satunya perkawinan anak-anak, kawin paksa, serta penyalahgunaan hak talak dan poligami.
Keadaan tersebut membuat Pemerintah Indonesia prihatin. Akhirnya, menetapkan UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Undang-undang tersebut berlaku untuk daerah Jawa, Madura, dan Sumatra. Undang-undang ini juga didukung Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1947 yang ditujukan untuk pegawai pencatat nikah (PPN).
Dalam instruksi tersebut, PPN bertugas mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur. Menjelaskan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami. Bahkan, PPN juga bertugas mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Akhirnya, pada 1954, melalui UU 32 Tahun 1954, UU Nomor 22 Tahun 1946, berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Jalan Panjang Menanti UU Perkawinan
Perjalanan umat Islam untuk memiliki undang-undang perkawinan berbasis syariat cukup berliku. Ragam dinamika berkembang di sana, hingga lahirlah UU Perkawinan No 1 1974.
Masa Kerajaan
* Abad ke-13, Kerajaaan Islam Samudra Pasai di Aceh Utara merujuk hukum perkawinan sesuai mazhab resmi mereka, yakni Mazhab Syafii
* Abad ke-15 dan ke-16, kerajaan Islam di pantai utara Jawa, seperti Demak, juga memberlakukan hukum syariat berdasarkan Mazhab Syafii. Demikian pula kerajaan Islam di Indonesia Timur.
Masa Kolonial
- Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mengakui hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer
- Belanda membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa)
- Usulan Kongres Perempuan Indonesia I (22-25 Desember 1928) di Yogyakarta terkait undang-undang perkawinan gagal
- Awal 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat tetapi ditolak kalangan Islam karena bertentangan dengan syariat.
Awal Kemerdekaan
- Pemerintah RI menetapkan UU No 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam
- Instruksi Menteri Agama No 4 Tahun 1946 diterbitkan yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
- Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan
- Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga, dan seterusnya diterbitkan
- Pada 6 Mei 1961 Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan
- Pada 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia.
Jelang UU Perkawinan
- Pada 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam, yang disusun pada 1967 dan rancangan 1968
- Pada 1973, pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru
- Pada 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan
- Pada 2 Januari 1974 Presiden mengesahkan undang-undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
MUI: Dana Haji Dikelola Mirip Ponzi, Berpotensi Malapraktik
BPKH menyebut dana haji dikelola secara syariah.
SELENGKAPNYASetelah Anies Memegang Tiket Pencapresan
Demokrat dan PKS resmi bersepakat untuk mengusung Anies sebagai capres.
SELENGKAPNYA