
Konsultasi Syariah
Menjadi Advokat, Siapa Saja yang Bisa Jadi Klien?
Bagaimana tuntunan syariah menjadi advokat?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Advokat itu profesional mendapatkan permintaan advokasi dari berbagai pihak dan beragam kasus; bisa dalam pihak yang benar dan bisa juga dari pihak yang salah/zalim. Apakah boleh menerima klien yang diketahui melakukan kesalahan? Mohon penjelasan Ustaz terkait tuntunan syariah sebagai advokat. -- Ismail, Bekasi
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Kesimpulannya: (1) jika advokat tahu bahwa kliennya itu ada dalam posisi yang salah, maka tidak boleh diadvokasi (diterima) klien tersebut. (2) Saat advokat mengetahui bahwa kliennya itu benar dalam kasus atau masalah tersebut, maka boleh diadvokasi (diterima).
Berdasarkan pemilahan tersebut, maka setiap advokat atau kantor advokat itu harus memiliki sikap dan kebijakan bahwa setiap klien yang meminta advokasi di pengadilan itu harus didalami terlebih dahulu. Apakah dalam kasus tersebut calon klien itu dalam posisi benar atau salah, terzalimi atau zalim.
Apakah dalam kasus tersebut calon klien itu dalam posisi benar atau salah, terzalimi atau zalim.
Kesimpulan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, regulasi telah memberikan hak kepada para pihak yang menggugat atau tergugat untuk memberikan kuasa kepada advokat untuk berbicara di pengadilan sebagai kuasa hukumnya. Atau dari sisi advokat, advokat diberikan hak oleh regulasi untuk berbicara sebagai kuasa hukum klien.
Hal ini sebagaimana regulasi terkait; “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” (Pasal 54, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).
Sesungguhnya, aktivitas sebagai advokat itu sarat dengan tantangan dan dinamika. Oleh karena itu, setiap advokat sebagai kuasa hukum akan memperjuangkan agar kliennya terbebas dari tuntutan hukum dengan cara yang legal dan syar’i, terhindar dari pelanggaran hukum seperti kasus suap dan lainnya.
Setiap advokat sebagai kuasa hukum akan memperjuangkan agar kliennya terbebas dari tuntutan hukum dengan cara yang legal dan syar’i.
Kedua, Syekh ‘Athiyah Saqr menjelaskan bahwa sikap yang harus diambil advokat adalah: (1) Jika advokat tahu bahwa kliennya itu ada dalam posisi yang salah, maka tidak boleh diadvokasi (diterima) klien tersebut. (2) Saat advokat mengetahui bahwa kliennya itu benar dalam kasus atau masalah tersebut, maka boleh diadvokasi (diterima). (Ahsanul Kalam Fii al-Fatawa wa al-Ahkam, hal 129-130).
Ketiga, di antara adab yang harus dipenuhi setiap advokat adalah: (1) Merawat niat menjadi advokat itu sebagai perjuangan membela yang benar dan menegakkan hukum. (2) Merawat kesabaran dan istiqamah dengan komitmen beribadah kepada Allah SWT. (3) Merawat komitmen agar tidak melakukan aktivitas yang bertentangan dengan hukum, seperti tidak memberi dan menerima suap.
Keempat, kesimpulan tersebut didasarkan pada landasan berikut: (a) Advokat boleh mengadvokasi klien yang ia ketahui di pihak yang benar karena: (1) bagian dari ta’awun ala al-birri wa at-taqwa (menolong dalam kebaikan). (2) Membela pihak yang terzalimi. (3) Membantu pengadilan dalam memutuskan perkara dengan cara yang benar atau adil.
(b) Sedangkan jika klien tersebut berada di pihak yang salah atau zalim, maka tidak boleh diadvokasi/tidak boleh diterima permintaan klien. Sebagaimana tuntunan: (1) hadis Rasulullah SAW, “Barangsiapa memberikan pertolongan dalam sebuah perselisihan dengan kezaliman, maka sungguh ia telah kembali dengan membawa kemarahan Allah.” (HR Abu Dawud).
(2) Karena dengan advokat mengadvokasi klien yang zalim itu berarti memberikan kesaksian palsu, karena ia menyampaikan penjelasan yang tidak sesuai dengan fakta.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Barang siapa membicarakan mukmin dengan sesuatu yang tidak benar adanya; niscaya Allah akan benamkan dia ke dalam kubangan nanahnya para penghuni neraka, hingga ia bertobat dari perkataan tersebut.” (HR Abu Dawud).
(3) Imam Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya bahwa advokat dapat menjadi seorang profesional dengan mendapatkan fee sebagai kompensasi atas pembelaannya di pengadilan saat ia mengetahui kliennya dalam kondisi yang benar atau terzalimi.
Tetapi saat kliennya dalam posisi yang salah/zalim, maka tidak boleh dibela dan tidak boleh menjadi objek bisnis dan ia tidak halal menerima upah.
Sebagaimana firman Allah SWT, “Begitulah kamu. Kamu berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Akan tetapi, siapa yang akan menentang Allah untuk (membela) mereka pada hari Kiamat? Atau, siapakah yang menjadi pelindung mereka (dari azab Allah)?” (QS an-Nisa’ [4]: 109).
(4) Pihak yang zalim atau salah dengan seluruh kasusnya tidak boleh dibela walaupun putusan pengadilan menunjukkan sebaliknya karena putusan tersebut didasarkan pada apa yang didengar dan dilihat, yang mungkin berbeda dengan realitas sebenarnya.
Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Saya hanyalah manusia biasa, dan kalian seringkali mengadukan sengketa kepadaku, bisa jadi sebagian di antara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lainnya sehingga aku putuskan seperti yang kudengar. Maka barang siapa yang kuputuskan (menang) dengan mengambil hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, sebab itu seakan-akan aku memberikan potongan api neraka untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dan sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Barangsiapa membantu perseteruan/sengketa bukan di atas jalan kebenaran (membantu kezaliman), maka senantiasa ia berada dalam kemurkaan Allah hingga ia melepas (kezhaliman) itu.” (HR Abu Dawud dan Thabrani dengan sanad yang baik, dan Hakim menilainya shahih).
Dalil ini memberikan pesan yang lugas dan tegas bahwa pihak yang bersengketa di pengadilan dan di pihak yang salah, kemudian diputuskan sebagai pihak yang benar karena peran advokat, maka ia telah membela yang zalim hingga menang di pengadilan.
(5) Sebagaimana firman Allah SWT agar setiap orang adil dan jujur saat mencatat dan meminta mereka (yang mewakili di bawah usia atau yang dilarang untuk bertransaksi) untuk bertakwa kepada Allah SWT agar ia dalam posisi benar dan adil.
Yakni firman Allah SWT, “...Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar...” (QS al-Baqarah [2]: 282).
(6) Karena advokat itu merupakan pihak yang mewakili klien. Jika ia menerima permintaan advokasi dari pihak yang salah dan mewakilinya di depan pengadilan menyampaikan pembelaan, maka sesungguhnya objek yang dikuasakan itu tidak halal dan tidak sah karena ia menolong pihak yang zalim.
Sebagaimana Fatwa DSN MUI No 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Wakalah bi Al-Ujrah.
Wallahu a’lam.
Nyatanya Ancaman Pemanasan Global
Wawancara dengan Kepala BMKG Prof Dwikorita Karnawati
SELENGKAPNYAMenjaga Harmoni Kehidupan
Muslim yang hebat adalah yang berusaha menjaga harmoni kehidupan.
SELENGKAPNYAAngan-Angan Palsu
Di akhirat, angan-angan yang mereka inginkan malah berganti menjadi azab.
SELENGKAPNYA