
Kronik
Kriminalitas dan Sejarah Bandit di Jakarta
Maraknya kejahatan di Jakarta berulang kali terjadi.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akhir tahun lalu mengumumkan kenaikan tajam angka kriminalitas di Indonesia. Pelonggaran protokol kesehatan Covid-19 dan meningkatnya mobilitas masyarakat, menurut Kapolri, jadi salah satu penyebab fenomena tersebut.
Kapolri menyebut, pada 2021 terdapat 257.743 tindakan kejahatan. Sedangkan tahun 2022 meningkat menjadi 276.507. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya, sepanjang 2022 angka tindak pidana mencapai 36.608 kasus, sedangkan pada tahun 2021 sebanyak 30.124 kasus.
Di lapangan, secara anekdotal nyaris setiap hari mengemuka berita-berita soal tindak kejahatan seperti pembunuhan, penculikan, pembegalan, dan kekerasan seksual. Sepanjang sejarah Indonesia, utamanya di kota-kota besar, memang ada masa-masanya kriminalitas ini semacam tiba-tiba melonjak.
Pada 1997, menjelang krisis ekonomi, misalnya, di Jakarta juga tercatat marak kriminalitas. Hal itu sempat diikuti tindakan polisi main tembak.
Usman KS dalam tulisannya untuk Republika pada April 1997 menuturkan bahwa kala itu di wilayah hukum Polda Metro Jaya saja, sejak Januari Maret 1997 tercatat 19 bandit tewas ditembus timah panas.
Tahun sebelumnya tercatat 89 bandit tewas ditembak dan delapan lainnya menderita luka-luka. Konon, penembakan itu dilakukan terhadap para residivis dan penjahat yang mencoba melarikan diri atau melawan petugas.
"Petugas hanya menembak para penjahat semacam itu dan penembakan dilakukan sesuai dengan prosedur melalui tembakan perintah lebih dulu," kata Kadispen Polda Metro Jaya Letkol Pol Edward Aritonang saat itu.
Sedangkan Willy Purna Samadhi menuliskan pada Februari 1999, sepanjang 1997 itu para petugas kepolisian di lapangan tampaknya menerima instruksi senada untuk mengatasi peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan. Pada periode Januari hingga April tahun itu, tercatat 70 lebih tersangka penjahat di Jakarta yang diterjang peluru petugas, 62 diantaranya kehilangan nyawa.

Jauh sebelumnya, sekitar tahun 1983-84, tindakan tegas itu pernah menggegerkan ketika masyarakat menemukan mayat-mayat bertato dengan sejumlah luka bekas tembakan bergelimpangan di jalan. Masyarakat mengenal peristiwa itu sebagai 'Petrus' atau 'Penembakan Misterius'. Barangkali, itulah fenomena terbesar yang pernah terjadi di Indonesia sehubungan dengan perintah tembak di tempat.
Bedanya, ketika itu tak satupun pejabat keamanan yang mengakui hubungan antara keberadaan mayat-mayat tak dikenal itu dengan instruksi tembak di tempat. Presiden Soeharto-lah yang jauh di kemudian hari justru mengungkap kejadian itu sebagai kebijakan resmi yang ditempuh untuk ''bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan''.
Di jagat perbanditan Jakarta dewasa ini tak dikenal adanya tokoh penjahat yang menjadi incaran polisi. Dulu, kita mengenai nama Johny Indo atau Kusni Kasdut dalam dunia perbanditan di Jakarta.
Dalam dunia perbanditan Jakarta tempo doeloe atawa Batavia jenis kejahatan yang paling banyak terjadi adalah pembunuhan, perampokan dan pencurian hewan.
Pada 1904 di Batavia terjadi 41 pembunuhan dan 56 perampokan. Pada 1920 pembunuhan meningkat menjadi 92 kasus dan perampokan 149 kasus ditambah pencurian hewan ternak 322 kasus.

Pada 1883 di Batavia tercatat 781 narapidana rantaian, 1.523 narapidana di luar rantaian, dan 97 narapidana - delapan diantaranya wanita - di luar rantaian yang dihukum lebih dari satu tahun.
Dalam dunia perbanditan Batavia dikenal tokoh bandit bernama Pitung, Entong Tolo, Entong Gendut, dan Kain Bapa Kayah. Pitung yang terkenal itu, menurut legenda Betawi, merampok harta benda para tuan tanah dan memberikannya kepada rakyat jelata.
Aksi perbanditan Pitung ini berlangsung selama delapan tahun. Entong Tolo adalah pedagang asal Pondok asal Pondok Gede yang kemudian pindah ke Pagerbarang, Jatinegara. Ia dikenal sebagai pelaku berbagai kejahatan, termasuk pencurian binatang ternak.
Entong Tolo tadinya berbuat jahat untuk membantu petani yang tinggal di tanah partikelir yang senantiasa terbebani oleh berbagai pajak. Ia melakukan sejumlah perampokan besar terhadap para tuan tanah di tanah partikelir, antara lain di Sawang, Jatinegara.
Sayangnya, niat menjadi 'Robinhood' itu kemudian berbelok. Entong Tolo. Ia lebih suka hidup bersenang-senang menikmati hasil kejahatan bersama lima istrinya ketimbang membantu rakyat kecil. Pada 1906, pemerintah kolonial meringkus Entong Tolo ketika ia habis mencuri barang-barang di rumah Gorin. Pemerintah menjebloskannya ke dalam penjara.

Namun, pemerintah sempat ketar-ketir juga manakala mengingat kejahatan mereda hanya ketika Entong Tolo berada di penjara. Kejahatan marak lagi ketika ia bebas dari penjara. Untuk mencegahnya, pemerintah kolonial bukannya menembak mati Entong Tolo, tetapi membuangnya ke Manado dengan tunjangan 10 gulden per bulan selama enam bulan.
Perbanditan Entong Gendut marak pada 1916. Perbanditan Entong Gendut ini lahir sebagai simbol resistensi anti-tuan tanah. Gendut meneriakkan suara ketidakpuasan petani di tanah partikelir Tanjung Timur, Asisten Wedana Pasar Rebo, afdeling Jatinegara.
Pada 7 Maret 1916, Asisten Wedana Pasar Rebo mendatangi seorang warga bernama Taba untuk melakukan eksekusi. Rumah dan kekayaan Taba harus dijual untuk melunasi utang sebesar f 7,20. Entong Gendut dan 50 pengikutnya mencoba menggagalkan eksekusi itu. Entong Gendut juga menghalangi eksekusi terhadap penduduk Batu Ampar dan Balekambang, Condet, yang tak sanggup melunasi utang dan kewajiban terhadap tuan tanah.
Pada 9 April 1916 Entong Gendut mengancam asisten wedana. Malah ia kemudian menahan asisten wedana. Keesokan harinya Asisten Residen Jatinegara dan pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut dan 40 pengikutnya.
Entong Gendut dan para pengikutnya tak mau menyerah begitu saja. Seraya meneriakkan sabilillah, Entong Gendut bersama para pengikutnya malah menyerang polisi.

Entong Gendut akhirnya tewas tertembak dalam bentrokan itu. Kaiin Bapa Kayah yang beroperasi di Desa Pangkalan, Tangerang pada 1924 muncul menjadi tokoh bandit untuk menggelorakan semangat anti-Tionghoa. Kayah yang bekerja sebagai petani kecil itu melihat kesenjangan dalam kepemilikan tanah, antara tanah yang dimiliki orang Tionghoa dan penduduk Pangkalan.
Bayangkan, orang Tionghoa yang jumlah hanya 20 persen menguasai 60 persen tanah di Pangkalan. Sebaliknya petani Pangkalan yang jumlahnya 80 persen hanya bisa menggarap 40 persen tanah.
Kaiin dan para pengikutnya ketika itu menangkap orang-orang Tionghoa. Kaiin membebaskan orang-orang Tionghoa yang berjanji akan hengkang kembali ke negerinya. Kaiin pun kemudian menjadi sasaran penangkapan polisi.
Ketika ia dan rombongannya akan minta izin kepada "Tuan Besar" di Bogor untuk mengusir orang-orang, polisi menghentikannya. Lantaran Kaiin melakukan perlawanan, bentrokan dengan polisi tak terhindarkan. Sembilan orang tewas dan dua puluh satu luka-luka. Tak diceritakan, apakah Kaiin tewas dalam bentrokan itu.
Yang jelas, sejak saat itu gangguan kamtibmas di Tangerang reda. Perbanditan di Batavia sempat membuat Residen Batavia Vons Schmidt dan kepala polisinya AWV Hinne blingsatan. Pasalnya, perbanditan tokoh-tokoh diatas bukan sekadar perbanditan biasa melainkan perbanditan sosial-politik -- kecuali perbanditan Entong Tolo barangkali.
Namun, Snouck Hurgronje, penasihat gemeente urusan pribumi pada 5 Maret 1902 langsung menyurati Gubernur General perihal gangguan kamtibmas itu. Menurut Snouck kerawanan kamtibmas itu murni kriminal, tak ada kaitannya dengan politik. Pemerintah kolonial punya persepsi perbanditan empat tokoh bandit Batavia itu sebagai perbanditan kriminal.
Mengenal Talak Sunah dan Talak Bid'ah
Talak sunah yaitu talak yang berlangsung sesuai dengan tuntunan syariat
SELENGKAPNYASaudi: Haji 2023 Kembali Normal, tak Ada Batasan Usia
Arab Saudi tidak menetapkan persyaratan untuk vaksin.
SELENGKAPNYABentengi Anak dari Ancaman Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk pesantren.
SELENGKAPNYA