
Dialektika
Rendah Akses Pangan Bergizi
Pangan bergizi dapat membantu meningkatkan produktivitas dan kesehatan masyarakat.
FAJRI AZHARI, Peneliti IDEAS; ASKAR MUHAMMAD, Peneliti IDEAS; NAURA SITI ALIFAH, Peneliti IDEAS
Akses terhadap pangan bergizi adalah salah satu hak dasar setiap rakyat Indonesia. Pangan bergizi adalah salah satu faktor penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Pangan bergizi dapat membantu meningkatkan produktivitas dan kesehatan masyarakat, yang merupakan dua komponen penting dalam pembangunan ekonomi. Pangan bergizi dapat meningkatkan produktivitas kerja masyarakat Indonesia.
Pangan bergizi dapat memberikan nutrisi yang diperlukan untuk meningkatkan energi dan konsentrasi. Ini dapat membantu meningkatkan produktivitas kerja yang akan meningkatkan pendapatan dan menciptakan lapangan kerja.

Selain itu, pangan bergizi juga dapat membantu meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Makanan sehat mengandung nutrisi yang diperlukan untuk menjaga kesehatan tubuh dan mengurangi risiko penyakit. Hal itu akan mengurangi biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit, membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan produktivitas.
Menggunakan data dari Susenas Maret 2021, IDEAS mampu mengonstruksi indikator kecukupan gizi secara subjektif dan objektif. Secara subjektif, indikator ini diperoleh dari pengakuan responden Susenas mengenai apakah rumah tangga terkait mampu menyantap makanan sehat dan bergizi selama setahun terakhir.
Alhasil ditemukan bahwa terdapat 23,4 juta penduduk Indonesia atau setara 8,62 persen penduduk yang tidak mampu menyantap makanan sehat dan bergizi.
Secara objektif, IDEAS menggunakan indikator angka kecukupan gizi yang ditetapkan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk masyarakat Indonesia. Menggunakan ketetapan ini, kami menemukan realitas yang sangat jauh dari perkiraan.
Secara objektif, terdapat 205,1 juta penduduk atau setara dengan 75,7 persen penduduk Indonesia yang belum mampu memenuhi angka kecukupan gizi tersebut.

Jika ditelisik lebih lanjut di level kabupaten dan kota, tidak ada satu pun kabupaten dan kota yang pengakuan masyarakatnya melebihi realitas. Hal ini sekaligus menunjukkan juga rendahnya literasi masyarakat akan pangan bergizi.
Banyak dari mereka yang menganggap dirinya sudah menyantap pangan bergizi, tapi kenyataannya santapannya belum mampu memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
Kesenjangan antara realitas dan pengakuan itu cukup lebar. Sebagai contoh, di Kabupaten Dogiyai, di mana hanya 7,34 persen penduduknya yang mengaku tidak mampu menyantap makanan sehat dan bergizi.
Secara objektif, terdapat 205,1 juta penduduk atau setara dengan 75,7 persen penduduk Indonesia yang belum mampu memenuhi angka kecukupan gizi.
Namun, acuan angka kecukupan gizi di Permenkes Nomor 28 Tahun 2019 mematahkan mentah-mentah capaian yang hampir setara dengan capaian di Kota Administrasi Jakarta Selatan, yaitu 7,31 persen atau bahkan melebihi capaian di Kota Administrasi Jakarta Utara, yaitu 7,78 persen. Nyatanya, 99,85 persen penduduk Kabupaten Dogiyai belum mampu memenuhi angka kecukupan gizi versi Permenkes.
Pola kesenjangan ini cukup terlihat nyata jika kita sandingkan dengan indikator-indikator kemiskinan. Sebagian besar daerah dengan prevalensi penduduk dengan gizi tidak cukup berada di Indonesia timur, terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua. Sedangkan, daerah-daerah dengan prevalensi penduduk dengan gizi tidak cukup terendah berkumpul di Indonesia bagian barat.

Keterbatasan bantuan pangan
Rendahnya pendapatan dan akutnya kemiskinan merupakan salah satu faktor paling utama yang menyebabkan ketidakmampuan rumah tangga Indonesia dalam memenuhi angka kecukupan gizi. Untuk itu sebenarnya pemerintah telah menggulirkan kebijakan bantuan pangan non-tunai (BPNT).
Jika ditelisik sejarahnya, kebijakan itu sebenarnya lahir dari kebijakan Beras Sejahtera (Rastra). Setelah evaluasi panjang, kebijakan Rastra akhirnya diganti dengan BPNT. Hal itu menyusul temuan bahwa sebenarnya kebutuhan utama banyak orang di Indonesia adalah mengutilisasi lebih banyak ragam pangan, tidak hanya beras.
BPNT lahir untuk memberikan keleluasaan lebih bagi penerimanya dalam memilih jenis pangan apa yang ingin dikonsumsi. Penerima BPNT seyogianya kini dapat mendiversifikasi secara lebih luas jenis-jenis pangan yang dikonsumsi sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan bergizinya.
Namun, masih ada beberapa masalah yang harus diatasi dalam pelaksanaan kebijakan BPNT di Indonesia. Salah satunya adalah literasi. Masih ada sebagian besar masyarakat yang tidak mengerti tentang pentingnya gizi seimbang. Hal itu menyebabkan masih banyak masyarakat tidak mengikuti pola makan yang sehat meskipun telah menjadi penerima BPNT.

Di sisi lain, cakupan penerima BPNT masih sangat jauh dari jumlah penduduk yang benar-benar membutuhkan. Di Kabupaten Bogor, misalnya, terdapat 4,5 juta penduduk yang teridentifikasi belum mampu memenuhi angka kecukupan gizinya. Tetapi, hanya 858 ribu penduduk kabupaten tersebut yang menerima BPNT. Secara total, dari 205,1 juta penduduk dengan gizi tidak cukup, BPNT hanya mencakup 53,44 juta penerima manfaat.
Tentunya BPNT tidak dapat dijadikan sandaran utama. Persoalan inti dari besarnya jumlah penduduk dengan gizi tidak cukup adalah mahalnya harga makanan sehat dan bergizi. Standar FAO menunjukkan bahwa harga pangan bergizi pada 2020 sebesar (PPP) 4,466 dolar AS atau setara dengan Rp 21,252.36 per kapita/hari.
Urgensi pangan bergizi
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera lahir batin sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28C, yaitu setiap orang berhak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya demi meningkatkan kualitas hidupnya.
Namun, kenyataan ini harus ditelan pahit karena berdasarkan hasil analisis IDEAS dari data Susenas dengan menggunakan standar biaya makanan bergizi dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), selama empat tahun terakhir (2018–2021) jumlah penduduk yang tidak mampu mengonsumsi makanan bergizi hanya berkurang 4,6 juta orang dan angkanya masih tinggi berada di atas 170 juta orang dengan prevalensi 63,3 persen dari total penduduk Indonesia pada 2021.
Kemampuan yang rendah dalam memenuhi kebutuhan pangan bergizi dipengaruhi oleh pendapatan per bulan yang kurang memadai dan standar biaya hidup yang tidak terjangkau, dinamika dari kedua faktor ini diperparah dengan pola konsumsi yang tidak seimbang seperti yang dianjurkan dalam Permenkes Nomor 41 Tahun 2014 tentang pedoman gizi seimbang.

Dari empat komponen utama makanan dalam satu piring sekali makan yang seharusnya proporsi makanan pokok dan sayuran masing-masing 33,3 persen, sedangkan lauk-pauk dan buah-buahan masing-masing 16,7 persen. Faktanya, dari hasil perhitungan kami menggambarkan realita rata-rata proporsi menu sekali makan masyarakat Indonesia yang belum sesuai perilaku konsumsi gizi seimbang yang dianjurkan.
Secara nasional terdapat proporsi konsumsi berlebih pada makanan pokok, yaitu 44,50 persen dan lauk-pauk 34,82 persen. Sebaliknya, proporsi sayur berada di bawah standar, yaitu 15,08 persen, dan buah-buahan hanya 5,60 persen.
Terdapat fenomena unik, yaitu daerah dengan proporsi konsumsi makanan pokok tertinggi sebagian diisi oleh daerah perkotaan, seperti Kota Pariaman, Kota Tasikmalaya, dan Jakarta Pusat.

Untuk daerah dengan proporsi konsumsi lauk-pauk terbanyak ditempati oleh Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Sintang. Sedangkan, untuk daerah dengan proporsi konsumsi sayuran terendah ialah, antara lain, Kabupaten Pamekasan, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Asmat. Daerah dengan proporsi buah-buahan terendah ialah, antara lain, Kabupaten Nduga, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Kupang.
Jika dilihat lebih terperinci, dari hasil temuan kami memperlihatkan sebuah ironi di negeri yang subur dan kaya sumber daya alam, tetapi tidak ada satu pun dari kabupaten dan kota di Indonesia yang mampu memenuhi standar minimal konsumsi buah-buahan.
Daerah dengan proporsi konsumsi buah tertinggi hanya mencapai 9,87 persen, yaitu Kota Banjar. Sementara itu, hampir tiga perempat dari kabupaten dan kota di Indonesia merupakan daerah dengan tingkat konsumsi sayuran rendah atau di bawah standar.
Debat Sistem Pemilu yang Belum Juga Usai
Belasan kali pemilu digelar, sistem proporsional terus berubah.
SELENGKAPNYABatavia dan Kegagalan Sistem Kanal
Batavia dihiasi oleh pohon-pohon rindang dan bangunan indah di kanan kiri jalan dan kanal-kanal.
SELENGKAPNYASaat HB Jassin Menerjemahkan Alquran
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang tidak pernah membaca buku-buku sastra.
SELENGKAPNYA