kunjungan HB Jassin ke Republika di gedung Republika Buncit Raya 37 Jakarta Selatan (21/1/1993). | Musiron/Republika

Wawasan

Saat HB Jassin Menerjemahkan Alquran

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang tidak pernah membaca buku-buku sastra.

Oleh Wawancara Bersejarah

Usia boleh bertambah, kulit boleh berkeriput, bahkan kesehatan juga boleh terganggu, namun satu hal yang tak bisa ditawar: semangat untuk terus berkarya harus terus menggebu.

Itulah yang tampak pada diri Paus Sastra Indonesia, Hans Bague (HB) Jassin, yang Senin (1/8/1994) lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-77, di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. "Bagi saya, usia itu tidak diukur dengan tahun dan hari, tapi dari prestasi yang dicapai," ujar ayah empat putra dan kakek belasan cucu ini.

Karena itu, meski kondisi badannya sekarang ini tak memungkinkan lagi untuk ngantor di Pusat Dokumentasi, namun hal itu tak menghalanginya untuk terus bekerja dan berkarya. Di ruang tengah rumahnya di Jalan Arimbi 21B Jakarta Pusat, yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Pusat Dokumentasi Sastranya di TIM, di atas meja bundar berserakan berbagai buku, kertas, dan kliping koran.

"Di sinilah setiap hari saya bekerja," kata HB Jassin kepada Muarif dan Ikhwanul Kiram dari Republika yang menemuinya, Sabtu lalu (30/7/1994), di rumahnya. "Sekarang ini, saya baru menyelesaikan penyusunan naskah Kontroversi Bacaan Mulia," lanjutnya.

Menurutnya, naskah itu kini sudah siap diterbitkan. Beberapa waktu lalu, Alquranul Karim Bacaan Mulia karyanya itu mengundang prokontra masyarakat. Prokontra pendapat itu yang kemudian dikumpulkan kembali oleh Jassin menjadi sebuah buku.

Kami dengar Anda tahun ini melaksanakan ibadah haji, ada pengalaman yang bisa diceritakan?

Betul. Saya naik haji bersama istri atas undangan DPP Golkar, tepatnya Dewan Seni Budayanya. Ini haji yang kedua, setelah haji yang pertama saya jalani tahun 1984. Waktu itu saya dihajikan oleh almarhum H. Masagung. Pengalaman haji kali ini tak beda dengan pengalaman haji saya yang pertama.

Hanya saja haji kali ini saya harus menggunakan kursi roda untuk tawaf dan sai. Sedangkan untuk melempar Jumrah, saya diwakili oleh isteri saya. Selama berada di sana, saya banyak berzikir dan melafalkan Asmaul Husna. Di depan Hajar Aswad saya berdoa agar buku saya Alquran Berwajah Puisi bisa segera tersebar luas.

photo
Potret HB Jassin di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta. - (Republika/Rakhmawaty Lalang)

Dalam salah satu ayat Alquran disebutkan bahwa Allah menantang sastrawan Quraisy untuk membuat satu ayat atau surat yang menyamai Alquran. Sebagai seorang sastrawan, bagaimana pendapat Anda?

Karya manusia tidak akan bisa menyamai ayat-ayat Alquran. Bahasanya yang sangat puitis dan isinya yang sangat tinggi, dalam, luhur, serta beragam itu tidak mungkin ditiru.

Isinya yang mengajarkan hubungan antara manusia dan Tuhannya, serta manusia dan manusia lainnya dan juga dengan lingkungan, memberi bukti bahwa Alquran bukanlah hasil karya akal seorang manusia yang kemampuan berpikirnya terbatas. Isi Alquran itu tidak terbatas.

Sejak kapan Anda mendalami Alquran?

Sejak kecil saya sudah dekat dengan Alquran. Lingkungan keluarga saya merupakan lingkungan keluarga yang taat beragama. Nenek saya setiap harinya membaca Alquran dengan nyaring. Ini menjadikan kata-kata dan bunyi-bunyi Alquran tidak asing buat saya. Baru di kemudian hari saya mempelajari Alquran, tata bahasanya, terjemahan-terjemahannya.

Pada 1950, saya mulai berkenalan dengan ayat-ayat Alquran. Waktu itu saya menjadi mahasiswa Prof. AS Alatas, Prof Prijono, dan Prof Husein Djajadiningrat. Di Fakultas Sastra UI itu, kami diwajibkan belajar sastra Melayu yang banyak menggunakan idiom bahasa Arab serta ayat Alquran. Dengan sendirinya, kami harus belajar bahasa Arab dan ayat-ayat Alquran.

Ketika itulah, saya melihat betapa indah dan puitisnya ayat-ayat Alquran. Saya juga semakin yakin bahwa Alquran itu bukan hasil daripada otak seorang manusia. Tapi, suatu karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

photo
Suasana ruangan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta. - (Republika/Rakhmawaty Lalang)

Lalu, sejak kapan muncul ide Anda untuk menerjemahkan Alquran dalam bentuk puisi?

Kejadiannya, ketika istri pertama saya, Arsiti, meninggal. Ketika itu, banyak orang datang untuk mengaji selama tujuh hari tujuh malam. Saya selalu hadir mengikuti. Pada malam ke delapan saya merasa kesepian. Lalu timbul keinginan untuk mengirim sedekah kepada yang sudah meninggal, kepada almarhumah Arsiti. Lalu saya membaca keras-keras.

Selain membaca ayat-ayat Alquran, saya juga membaca berbagai terjemahan Alquran. Saat itu, saya melihat terjemahan yang ada dalam bahasa Indonesia ternyata tidak sama dengan terjemahan dalam bahasa asing yang pernah saya baca, di antaranya adalah terjemahan karya Marmaduke Pickthall, The Glorious Koran. Terjemahan Alquran dalam bahasa asing lebih enak.

Kecuali isinya lebih tepat, iramanya juga lebih puitis. Ini, berbeda dengan terjemahan ke dalam bahasa Melayu. Terjemahan Alquran dalam bahasa Melayu lebih mementingkan arti, bahkan kepada liku-lekuk bahasa Arab, akan tetapi tidak memperhatikan keindahan perasaan. Sejak itulah timbul minat saya untuk menerbitkan Alquranul Karim Bacaan Mulia.

Anda tidak hanya menerjemahkan Alquran dalam bentuk puisi, tapi juga menuliskan ayat-ayat Alquran secara puitis, bisa diceritakan latar belakangnya?

Benar, karena Mushaf Ustmani yang ada selama ini ditulis satu baris secara penuh. Meskipun ada koma dan ada titik, oleh karena ada bagian kosong, maka ditariklah satu kata ke tempat yang kosong tersebut. Buat saya ini merusak penghayatan keindahan dari Alquran yang bahasa Arab itu. 

Terjemahan Alquran dalam bahasa asing lebih enak. Kecuali isinya lebih tepat, iramanya juga lebih puitis. 
 

Apa itu bukan merupakan kritik terhadap Alquran?

Saya tidak melakukan kritik. Saya merasakan keindahan itu, lalu timbul dalam pikiran, alangkah baiknya bila orang lain bisa menghayati Alquran sebagaiama saya menghayati keindahan Alquran itu sendiri.

Kalau mengenai terjemahan Alquran dalam bentuk puisi?

Alquran itu, kalau diterjemahkan secara dekat dan memperhatikan keindahan bahasa, dengan sendirinya menjadi puisi. Jadi saya tidak mempuitisasikan terjemahan Alquran. Tapi, saya menterjemahkan Alquran dalam bentuk puisi. Antara keduanya jelas ada bedanya.

Bedanya?

Kalau menerjemahkan Alquran dari bahasa aslinya ke dalam bentuk puisi, kita akan merasakan keindahannya. Namun, orang menyangka saya mempuitisasikan Alquran dari terjemahan yang sudah ada. Ini tidak benar.

Tapi, apakah Anda pernah membicarakannya dengan kalangan ulama?

Saya pernah menceramahkannya di depan kalangan ulama ketika MTQ berlangsung di Palembang (MTQ VIII, 1975, red). Saya juga pernah menyampaikan di hadapan Gubernur DKI Ali Sadikin ketika itu, yang disaksikan beberapa ulama. Tidak ada protes yang muncul ketika itu.

photo
Suasana ruangan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta. - (Republika/Rakhmawaty Lalang)

Perhatian Anda untuk menerjemahkan dan kemudian mempuitisasikan Alquran begitu besar, lalu bagaimana dengan kritik sastra yang selama ini Anda lakukan?

Waktu dan perhatian saya untuk sastra tidak hilang ketika saya sibuk menerjemahkan Alquran. Sastra buat saya tidak boleh ketinggalan. Oleh karena itu, antara menerjemahkan Alquran dan mengamati dunia sastra sama-sama berjalan.

Setiap kali novel baru terbit, saya rajin membacanya. Bahkan, khusus untuk terbitan Balai Pustaka, sebelum diterbitkan saya juga membacanya karena saya anggota redaksinya. Saya juga masih menjadi redaktur Majalah Horison dan Majalah Sastra.

Setelah Anda melewati usia 77 tahun, apa masa kerja Anda akan berkurang?

Selain kesibukan yang telah saya sebutkan tadi, setiap hari saya selalu mengisi TTS (teka teki silang). Ini saya lakukan untuk menjaga ingatan dan pengetahuan saya, jangan sampai berkurang atau lupa.

Anda kok selalu memakai gelang akar bahar, apa Anda percaya bahwa akar bahar itu mempunyai kekuatan?

Kalau itu saya lakukan, berarti saya syirik. Saya mengakui kebesaran Tuhan yang membuat akar ini tumbuh di bawah laut. Menurut orang yang memberi, akar ini dicabut dari dasar laut antara Sulawesi dan Banda Neira. Jadi mungkin saja ada unsur-unsur yang memancar dari akar ini dan mempengaruhi kesehatan saya, terutama pinggang.

Pernah dilepas?

Tidak pernah sekali pun saya lepas. 

Kalau itu saya lakukan, berarti saya syirik. Saya mengakui kebesaran Tuhan yang membuat akar ini tumbuh di bawah laut. 
 

Keluhan kesehatan?

Pengapuran. Pengapuran ini menyebabkan pinggang saya terasa sakit. Dan setiap bulannya selalu saya kontrol kepada dua dokter, dokter syaraf, dan dokter jantung.

Bagaimana menjaga kesehatan?

Cukup dengan senam selama satu jam. Selama senam itu saya lakukan zikir dan melafalkan Asmaul Husna.

Menurut orang, semakin tambah usia, Anda semakin menunjukkan husnul khatimah?

Saya merasa semakin tambah usia, semakin dekat dengan kematian. Sekarang ini, saya merasa masih ada tugas Tuhan yang belum selesai. Masih ada yang perlu saya kerjakan lagi. Alquran Berwajah Puisi, itu tugas saya untuk menyebarluaskannya.

Anda takut mati?

Meninggal? Jangan bertanya ke mana saya akan pergi. Yang penting saya terus berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Mudah-mudahan saya bisa sampai kepada-Nya. 

Saya merasa semakin tambah usia, semakin dekat dengan kematian. Sekarang ini, saya merasa masih ada tugas Tuhan yang belum selesai. 
 

Anda percaya kepada kehidupan sesudah mati?

Percaya

Seandainya masih diberi usia panjang, apa keinginan anda?

Saya ingin semua karya saya bisa diterbitkan, termasuk Alquran Berwajah Puisi yang belum bisa terbit sampai sekarang.

Lainnya?

Saya ingin menyelesaikan buku tentang Kontroversi Bacaan Mulia dan Kontroversi Alquran Berwajah Puisi. Selama ini saya sudah kumpulkan kliping prokontra tentang dua buku saya tersebut. Ini sumber dari buku saya nantinya.

Apa arti agama buat Anda?

Agama itu buat pegangan untuk selalu ingat kepada Tuhan.

Perlukah?

Saya tidak bisa membayangkan kalau kita tidak bertuhan. Ketika sakit, kita selalu bertanya bagaimana supaya baik. Ada Tuhan tempat kita mengeluh dan menyampaikan permintaan supaya baik. Semua orang musti ada Tuhannya.

Bagaimana cara mendidik agama untuk putra putri Anda?

Berikan contoh. Kita salat lima waktu dan ditambah salat sunat lainnya, kalau itu dilihat mereka, itu sudah merupakan contoh, merupakan pendidikan. Dari situ pasti timbul keinginan mereka untuk mengikuti. Mungkin belum dengan keimanan yang teguh, tapi itu tak apa. Jadi dengan contohlah mereka kita didik. 

Saya tidak bisa membayangkan kalau kita tidak bertuhan. Ada Tuhan tempat kita mengeluh dan menyampaikan permintaan supaya baik. Semua orang musti ada Tuhannya. 
 

Apa betul, dulu Anda nakal?

Benar. Rupanya, sebagai kritikus sastra, saya ingin mengalami semua pengalaman manusia. Jangan sampai ada pengalaman manusia yang tidak saya ketahui.

Menurut anda, menjadi sastrawan itu karena bakat atau belajar?

Dua-duanya. Bakat yang didukung dengan usaha. Meski ada bakat, tapi tidak ada usaha ya tidak bisa. Ada usaha tanpa bakat, bisa.

Anda setuju sastra bisa memperhalus budi dan perasaan manusia?

Secara umum bisa dikatakan demikian. Sebagai manusia, kita punya nafsu-nafsu, kita bisa ikuti dan kita bisa tidak ikuti. Kita tahu ada yang seperti itu. Tapi, karena keperluan fisik kita secara pribadi, maka kita membutuhkan hal lain dari pada apa yang digambarkan atau yang ada dalam buku itu.

Ada yang berpendapat bahwa baca buku-buku sastra itu buang-buang waktu saja, bagaimana komentar Anda?

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang tidak pernah membaca buku-buku sastra. Orang-orang yang bergelut dalam bacaan ekonomi, manajemen, atau teknik komputer, pasti suatu ketika ia akan baca sajak, puisi atau novel. Paling tidak, kalau ia baca Republika, misalnya, ia tentu akan membaca sastra.

Yang namanya koran itu, isinya serba ada: ada ekonomi, politik, seni dan sastra. Pasti sedikit banyak mereka yang membaca, akan tahu tentang sastra. Mereka yang menjadi redaktur merupakan seniman dan sastrawan semua.

photo
Koleksi Babad Tanah Jawi di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta. - (Republika/Rakhmawaty Lalang)

Kami dengar Anda akan mendapatakan Bintang Mahaputra?

Saya memang mendengar hal itu. Tapi baru sebatas mendengar. Konon, yang mengusulkan agar saya mendapatkan Bintang Mahaputra adalah DPP Golkar, Bidang Seni Budaya. Usulan ini ditunjang oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Secara pribadi, Anda butuh akan bintang penghargaan itu?

Siapa yang tidak membutuhkan. Tentunya senang sekali bila saya bisa memperolehnya. Sebetulnya, buat saya dapat bintang atau tidak dapat bintang, saya akan tetap bekerja terus. Kalau kemudian orang mengakui karya saya, tentu akan membuat saya senang.

Saya juga tidak tahu, tapi saya dengar akan diberikan pada tanggal 15 Agustus nanti. Kita lihat sajalah. Bahkan disebut-sebut penghargaan itu disediakan juga uang 50 juta. Itu banyak, terima kasih kalau saya dapat itu.

Seandainya betul dapat uang sebesar itu, akan Anda pergunakan untuk apa?

Rumah saya ini tiap hujan banjir dan bocor. Saya ingin menambah ruangan di atas, supaya bisa bekerja dengan tenang. Mengerjakan apa-apa yang harus saya kerjakan.

Masih sering ke TIM?

Tidak setiap hari. Ada keponakan saya yang kerja di sana dan ia yang mengantarkan pekerjaan ke rumah. Setelah selesai saya kerjakan di rumah, lalu saya berikan lagi kepada dia untuk dibawa ke kantor. Karyawan-karyawan saya tetap bekerja seperti biasa. Sekali-kali mereka datang meminta tanda tangan untuk permohonan bantuan kepada Pemda DKI. 

Disadur dari Harian Republika edisi 5 Agustus 1994

Kisah Hijrah Durrah Binti Abu Lahab

Kisah Durrah binti Abu Lahab juga menggambarkan bahwa Allah SWT akan selalu memberi hidayah bagi orang-orang yang Ia kehendaki.

SELENGKAPNYA

Cara Halus Muhammadiyah Menolak ‘Tiga Periode’

Berbagai elemen masyarakat menolak wacana presiden dapat menjabat lebih dari dua periode.

SELENGKAPNYA

Ummu Kultsum, Teladan Remaja Muslimah

Umar bin Khattab tertarik dengan kemuliaan dan keanggunan perangai Ummu Kultsum.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya