
Kabar Utama
Ikhtiar Menumpulkan Paradoks Digital
Republika menyodorkan nilai-nilai kepada para pembacanya.
OLEH ARYS HILMAN, Direktur PT Republika Media Mandiri
Era digital ibarat pisau bermata dua. Satu sisi menawarkan peluang, pada sisi lain melahirkan tantangan. Dalam ranah informasi, pelantar digital membuka jalan demokratisasi, tapi pada saat yang sama menjadi suluh anarki.
Pada sisi buruk itulah hoax merajalela, fake news menjadi santapan sehari-hari, simulakra mewujud seakan kebenaran, dan post-truth mengisi ruang-ruang publik.
Indonesia, terkait dengan hal itu, berada pada titik terberat. Riset Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada 2021 menunjukkan, masyarakat Indonesia menempati papan terbawah dalam kemampuan mengecek kredibilitas bahan bacaan, jauh di bawah Malaysia, Thailand, bahkan Brunei. Lebih parah lagi, masyarakat Indonesia menempati peringkat terburuk dalam kemampuan untuk membedakan fakta dan opini.
Soal melek huruf, Indonesia bisa berbangga karena 96,04 persen masyarakatnya sudah bisa membaca (BPS, 2021). Bahkan, di provinsi-provinsi di Pulau Jawa, tingkat melek huruf sudah mencapai 99 persen.
Namun, angka tersebut kehilangan makna karena hasil asesmen oleh Kemendikbud (Indeks Alibaca, 2019) maupun lembaga internasional (Indeks PISA, 2019) justru menunjukkan kinerja baca (reading performance) masyarakat Indonesia berada di level rendah.
Indonesia menempati peringkat terburuk dalam kemampuan untuk membedakan fakta dan opini.
Sebagai gambaran, pengujian yang dilakukan oleh OECD memperlihatkan 69,9 persen siswa Indonesia berumur 15 tahun berada di level 1 dari enam level kinerja baca. Mereka hanya dapat menangkap ide dalam teks yang disusun berupa kalimat-kalimat dengan panjang sedang, menyerap informasi yang disampaikan secara eksplisit, serta hanya memahami bentuk dan maksud teks yang disusun secara langsung.
Mereka tak mampu memahami kalimat-kalimat yang panjang. Mereka gagal menangkap konsep yang abstrak. Mereka kesulitan membedakan fakta dan opini.
Digitalisasi seharusnya berdampak baik pada nilai indeks literasi karena salah satu parameternya adalah ketersediaan perangkat informasi digital. Di Indonesia, kebiasaan membaca pada kanal digital melonjak pada kurun 2009-2018, antara lain membaca e-mail (naik 7,5 persen), percakapan daring (60,7 persen), membaca berita daring (32,8 persen), mencari informasi topik tertentu secara daring (30,7 persen), mengikuti grup diskusi daring (34,5 persen), dan mencari informasi praktis secara daring (34,9 persen).
Terdapat paradoks antara kegiatan membaca lewat media digital yang melonjak itu dan kinerja baca pada riset OECD. Itu terkonfirmasi dengan kenaikan 9,9 persen warga yang berpendapat, “Bagi saya, membaca adalah buang-buang waktu.” Tampak ada persoalan kualitas dalam saluran yang dibaca oleh masyarakat yang membuat mereka tetap berada pada level tak bisa membedakan fakta dan opini.
Dalam hal inilah, transformasi ke dunia digital secara penuh oleh Republika menemukan relevansinya.
Dalam hal inilah, transformasi ke dunia digital secara penuh oleh Republika menemukan relevansinya. Menggenggam stempel jaminan mutu sejak masa-masa awal kelahirannya sebagai koran, Republika dapat merawat kualitas tersebut, terbukti dengan perolehan anugerah secara konsisten hingga kini, termasuk pengakuan publik atas kekuatan desainnya hingga kini. Inilah media dengan keunggulan kualitatif berdasarkan kekuatan pengaruh di kalangan pengambil keputusan maupun loyalitas pembaca yang tinggi.
Masyarakat digital, migran maupun native, memerlukan media daring yang menyajikan konten berkualitas, dikelola secara profesional, memenuhi kaidah jurnalisme, dan tidak terjebak pada clickbait atau bersandar pada algoritme belaka.
Konsep semacam all the news that’s fit to print seharusnya dapat mengejawantah menjadi all the news that’s fit to publish dalam saluran apa pun, termasuk media digital. Jangan beri tempat untuk media abal-abal yang hanya mencari klik demi penghasilan dari ad network.
Media dalam kategori ini menyodorkan nilai-nilai kepada para pembacanya.
Sejak dulu, media arus utama seperti Republika tidak berjualan koran, tidak menjajakan majalah, tidak pula menawarkan barang cetakan atau sekadar situs web. Media dalam kategori ini menyodorkan nilai-nilai kepada para pembacanya.
Masyarakat bersedia keluar uang karena memiliki kesamaan keyakinan terhadap nilai-nilai yang disajikan. Pembaca Republika membeli kesepakatan sudut pandang dalam mencerna berbagai peristiwa. Mereka bersedia merogoh kocek demi informasi yang dapat mewakili isi hati dan pikiran yang pada masa-masa sebelumnya sulit mereka dapatkan. Mereka membeli alasan berita-berita Republika diterbitkan.
Hal itu pula yang terjadi pada media arus utama seperti the Washington Post. Saat pertama kali ditawari untuk mengakuisisi koran tersebut dan mentransformasinya ke dunia digital, Jeff Bezos berpikir, “Tidak ada dalam mimpi-mimpi masa kecil saya untuk memiliki perusahaan media.”
Namun, pemilik wahana digital Amazon itu kemudian menyetujuinya dengan alasan, “Media ini terlalu penting untuk diabaikan.” Jelas, Bezos saat itu sedang bicara tentang nilai-nilai, bukan komoditas belaka.
Tantangan Mediamorfosis Menghadapi Generasi Kaca
Pandemi Covid-19 sejak 2020 juga mengakselerasi perilaku digital warga global.
SELENGKAPNYAKembali ke Jurnalisme, Kembali ke Republika
Republika hadir dengan standar jurnalisme profesional.
SELENGKAPNYAPembaca Republika Hadirkan Senyum di Cianjur
Bantuan diharapkan memotivasi anak-anak untuk terus bersemangat dan tidak larut dalam duka.
SELENGKAPNYA