Perempuan Arab menyiapkan qahwah. | istimewa

Teraju

Qatar, Sepak Bola, dan Qahwa

Para kampiun sepak bola bertarung memperebutkan trofi dan prestise empat tahun sekali itu. 

OLEH SIWI TRI PUJI B

Meski Qatar bergerak cepat menuju modernitas, orang-orang di negara itu masih menaruh banyak perhatian pada tradisi dan warisan budaya. Salah satu warisan yang dipegang kukuh adalah Perjamuan Qahwa pada para tamu. Datanglah ke sembarang rumah di sana, niscaya Anda akan disuguhi qahwa.

Apa itu qahwa (kadang diucapkan sebagai gahwa atau qawa)? Kopi, ya ... qahwa adalah nama muasal kopi. Di Qatar, kopi disajikan dengan tambahan rasa cardamon (kapulaga) dan saffron yang dikonsumsi dalam kondisi panas. Minuman klasik di negara-negara Teluk (Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, Yaman, Irak, Jordan) ini disuguhkan tak hanya di rumah-rumah, tapi juga di kantor-kantor pemerintah dan acara-acara resmi.

Alisa Grishin seperti dikutip qataramerica.org mengatakan bahwa qahwa atau kopi Arab telah dianggap sebagai "simbol keramahan dan kemurah-hatian" bangsa Arab sejak abad ke-15. Qahwa bahkan sudah masuk dalam warisan takbenda UNESCO sejak 2015 sebagai "bagian budaya keramahan di dunia Arab".

Kopi sejatinya adalah warisan dunia Islam bagi dunia. Sejarah kopi setidaknya bermula pada abad ke-9; dari Afrika Timur, kopi menyebar ke Mesir dan Yaman. Bukti kredibel awal muncul pada pertengahan abad ke-15, dimana di padepokan Sufi di Yaman, kopi biasa dipanggang dan diseduh, dalam cara yang mirip dengan bagaimana kopi kini disiapkan.

Pada abad ke-16, kopi sudah menyebar ke Timur Tengah, Persia, Turki, dan Afrika utara. Dari wilayah kekuasaan Muslim, kopi kemudian menyebar ke Italia, dan seluruh Eropa, ke Indonesia, baru kemudian ke  benua Amerika. 

photo
Pria menikmati qahwah di gurun pasir di perbatasan Hail dan Riyadh, Arab Saudi, Jumat (10/1/2020). - (AP Photo/Bernat Armangue)

Orang pertama yang diketahui menulis tentang kopi adalah seorang filsuf yang juga dokter dari Persia bernama Rhazes atau Al-Razi (850-922), yang memanfaatkannya sebagai obat. Dia menggambarkan minuman yang disebut bunchum yang dibuat dari buah bunna, bahasa Ethiopia untuk menyebut kopi. 

Tulisan-tulisan awal lainnya menyebut Yaman, di bagian selatan Semenanjung Arab tepat di seberang Laut Merah dari Ethiopia, sebagai wilayah perkebunan kopi pertama pada awal abad ke-15. Semua tanaman kopi di wilayah ini dibawa dari Ethiopia.

Di Yaman, para sufi Muslim lah yang mengenalkan tradisi minum ini: menyulapnya menjadi minuman agar tetap terjaga saat berdoa sepanjang malam. Situs sejarah Islam Muslim Heritage menyebut, pertama kali tradisi memanggang dan menggiling kopi mungkin terjadi di sini.

Namun ada versi lain cerita penggunaan kopi di kalangan kaum sufi di Yaman. Dalam salah satu tulisannya, cendekiawan Muslim Fakhr al-Din Abu Bakr Ibn Abi Yazid Al-Makki menyebut kelompok sufi Shadhilya sebelumnya menggunakan daun Al-Gat, tanaman merangsang yang terkenal di jazirah Arab, untuk mencegah kantung. Entah karena apa, tiba-tiba daun ini sulit ditemukan. 

photo
Lukisan kedai kopi di Istanbul, Turki, dari 1826. - (public domains)

Syekh al-Dhabhani (1470-1471), salah satu pemimpin sufi, kemudian memerintahkan para pengikutnya untuk menggunakan bunna, biji kopi dalam bahasa Ethiopia. Namun, banyak sejarawan menyebut hal ini tidak bisa dijadikan patokan bahwa kopi pertama dikenal di Yaman pada masa itu; tanaman ini mungkin telah ada, hanya sebelumnya tak termanfaatkan. 

Bagaimanapun, banyak versi tentang sejarah kopi. Dalam Kitab Kahvaler dituliskan penemuan pertama kopi pertama kali adalah tahun 1258. Ceritanya mengacu pada seorang syekh bernama Omar yang menemukannya secara tidak sengaja.

Ia tengah kelaparan, kemudian mengulum biji-biji kopi yang berwarna merah ranum. Beberapa catatan juga menunjukkan kopi sudah dikenal umat Islam jauh sebelum abad ke-15.

Namun perjalanan kopi mengelana ke seluruh penjuru dunia tak bisa lepas dari sejarah penaklukan Turki atas Semenanjung Arab pada awal abad ke-16. Dinasti Usmaniyah lah yang berjasa membawa kopi ke tempat-tempat yang sama sekali baru.

***

Bagi orang Arab, mempersiapkan qahwa merupakan tradisi penting. Dari menyiapkan kopi hingga menyajikannya, mereka menjalani ritual tradisional dengan sangat serius. Meski alat-alat kopi listrik sudah tersedia, mereka yang masih memegang kukuh tradisi ini membuat qahwa secara tradisional.

Masyarakat adat, juga suku-suku di sana, bahkan sering menyusupkan cita rasa sendiri dalam minuman itu. Laki-laki maupun perempuan sama-sama mahir membuat qahwa. Mereka menurunkannya dari generasi ke generasi.

Secara tradisional, qahwa disiapkan seluruhnya di depan para tamu. Ketika sudah jadi, tamu tertua atau paling dihormati dilayani terlebih dulu. Tuan rumah, dalam tradisi ini, menuang dari teko (mizal dallah) dengan tangan kiri ke cangkir (fanajin) di tangan kanan. Qahwa diisi maksimal separuh cangkir. Tamu akan menerima dengan tangan kanan atau dengan dua tangan dan jika sudah selesai menggoyang-goyangkan cangkir. 

Para "barista" tradisi ini menggunakan alat panci pemasak kopi (khumrah), sendok/pan pemanggang (nihmas), nampan (mubarrid), lesung dan alu (hawan wa yad al-hawan), teko saji (mizal dallah), dan cangkir (fanajin). Bahan utamanya adalah biji kopi hijau yang bisa dibeli di pasar-pasar tradisional.

Rempah-rempah yang dibutuhkan antara lain saffron (terbaik dan termahal dari Iran), cardamon, cengkeh, dan daun syeba atau kalpasi (bunga batu hitam). Beberapa juga menambahkan sedikit jahe.

Prosesnya, seperti dukutip dari onmanorma.com: pertama biji kopi hijau dipanggang di nihmaz dengan bara arang, setelah dingin ditempatkan di mubarrid. Alu kecil dan lesung digunakan untuk menumbuk dan menggiling kopi sampai halus. Biasanya "barista" akan memutar musik saat menggiling.

Sambil menggiling, air direbus dalam khumra sesuai kebutuhan. Rempah-rempah juga ditumbuk. Setelah semua siap, kopi dimasukkan, kemudian semua rempah menyusul, rebus selama 20 menit dengan api kecil. Setelah itu pindahkan kopi yang sudah siap ke teko kopi dan dituang dengan tangan kiri ke cangkir di tangan kanan. Qahwa tidak pakai gula atau pemanis lain, dan biasanya, disajikan bersama kurma.

Ritual yang menjadi "simbol kedermawanan" bangsa Arab ini telah dijunjung secara turun temurun melampaui status sosial, usia dan jenis kelamin. Praktik ini menjadi keterlibatan komunal yang menunjukkan rasa hormat untuk semua, termasuk pada para tamu yang menonton Piala Dunia secara langsung.

photo
Pekerja menyiapkan kopi di salah satu kafe di Gaza, Palestina, pada 2020 lalu. - (EPA/MOHAMMED SABER)

***

Kopi 'Kebahagiaan' Maroko

Keajaiban itu datang dari Maroko. Negara di wilayah Magribi (Barat Laut Afrika) itu menjadi negara pertama di Afrika yang mencapai babak semifinal Piala Dunia. Ia menaklukkan beberapa negara Eropa dengan tradisi kompetisi sepak bola yang ketat: Belgia, Spanyol dan Portugal. Giliran Prancis akan menjadi lawan berikutnya di semi final.

Omong-omong, peta "penyerbuan" sepak bola Maroko ini cukup menarik. Dari Spanyol, persis tetangga utaranya, lalu bergeser ke Portugal, tetangga di Barat laut. Kini lebih ke utara, Amrabat dan kawan-kawan siap "menggempur" Prancis. Qatar, yang menjadi tuan rumah, juga negara-negara Timur Tengah, serta Afrika secara keseluruhan, mendukung habis-habisan. Ibu-ibu para pemain juga melangitkan doa-doa untuk mereka.

"Peta invasi" itu tentu kontras dengan masa lalu Kerajaan Morocco--kenapa ya Indonesia menyebutnya Maroko? karena nama aslinya Al-Mamlakah Al-maḡribiyya. Sejak abad 16 hingga awal abad 20, kolonialisme Eropa menguasai negara beribu kota Rabat itu. Portugis, Prancis dan Spanyol pernah membagi-bagi wilayah Magribi tersebut.

Secara kultur pun, Maroko banyak dipengaruhi Eropa selain Timur Tengah yang sudah melekat lama. Tradisi minum teh di Maroko, misalnya, adalah tradisi Eropa. Setiap sore, banyak keluarga yang menggelar "upacara" minum teh mint. Minum kopi?

Walaupun sebuah situs travel di Maroko menyebut kopi adalah "minuman nasional", kebiasaan minum kopi tak bisa menggantikan tradisi minum teh mint pada sore hari.

"Minuman nasional" yang dimaksud adalah kopi Arab Maroko. Kopi Maroko sangat mirip dengan qahwa yang banyak ditemukan di negara-negara Teluk. Asal-muasal kopi memang dari Ethiopia, lalu menjadi qahwa ketika sampai Yaman dan Makkah, Arab Saudi.

Selanjutnya kopi yang dicampur berbagai rempah itu menyebar ke negara-negara di sekitarnya. UNESCO sudah menahbiskannya sebagai warisan takbenda Timur Tengah sejak 2015.

Sama-sama kopi rempah, tapi kopi Maroko tidak menggunakan saffron. Yang lebih banyak ditemui adalah cardamon (kapulaga), cinnamon (kayumanis), dan jahe, dan kadang ditambah lada hitam dan juga paprika.

Jika di Qatar, masih banyak keluarga yang mempertahankan alat tumbuk (alu) dan giling kopi tradisional untuk membuat qahwa, banyak keluarga di Maroko yang memakai giling kopi dan blender elektrik. Kedekatan dengan Eropa yang serba memakai alat kopi elektrik tampaknya memberi pengaruh. Tak heran, jika mereka menggiling kopi dan mencampurnya dengan seluruh rempah-rempah di grinder listrik yang sama.

Selebihnya, qahwa dan kopi Maroko sama. Juga upacara penyajiannya: mendahulukan tamu tertua, pejabat, atau orang yang dihormati. Mereka juga menyuguhkannya dengan menuang kopi dari teko di tangan kiri ke cangkir di tangan kanan.

Situs travel-exploration.com menulis mereka kerap menemukan orang-orang duduk di luar rumah selama berjam-jam menyesep kopi Arab Maroko sambil bertukar cerita. Minum kopi di Maroko menjadi "pengalaman luar ruangan" untuk memberi penghormatan pada para tamu.

photo
Relawan menyajikan kopi dan teh di Grand Egyptian Museum (GEM), di Giza, Mesir, pada 2020. - (EPA-EFE/MOHAMED HOSSAM)

Para tamu, setelah menghabiskan secangkir kopi, biasanya menunjukkan penghargaan kepada tuan rumah dengan mengatakan fi sehtuk ("untuk kesehatan Anda", diucapkan kepada laki-laki, atau fi sehtik kepada perempuan). Lalu setelah mendoakan kesehatan tuan rumah, tamu juga akan berucap fil afrah, yang berarti "untuk kebahagianmu".

Bagaimana dengan tradisi minum kopi murni di Maroko? Anda akan cukup sulit menemukan kedai kopi yang menyuguhkan kopi murni manual brew (tanpa campuran rempah apapun). Seorang pelancong di Marakash, berkeliling kota dan hanya menemukan Bacha Coffee, rumah kopi yang ternyata hanya menjual kopi murni (bahkan tak menjual latte atau cappuccino) sejak 1910.

Bacha Coffee atau "House of Pasha" itu pernah dikunjungi Perdana Menteri Inggris (1940-1945 dan 1951-1955) Winston Churchill, Presiden Amerika Serikat (1933-1945) Franklin D. Rossevelt, dan Charlie Chaplin. 

Justru Bacha Coffee inilah yang mendunia saat ini dengan membuka kedai antara lain di Singapura (teman saya Farida Isom  suka nongkrong di sini). Tapi baik Bacha maupun kopi Arab yang sudah mentradisi, menawarkan dua hal bagi peminumnya: kesehatan dan kebahagiaan.

Industri Kesehatan Berkompetensi Syariah

Isu kehalalan produk farmasi dan kosmetik berpengaruh besar pada implementasi program kesehatan.

SELENGKAPNYA

Selandia Baru: Larangan Rokok Seumur Hidup Bagi Remaja

UU baru juga akan mengurangi jumlah pengecer yang diizinkan menjual tembakau.

SELENGKAPNYA

Jalan Kemenangan

Kemenangan dalam hidup menjadi impian setiap orang.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya