IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

Inflademic?

Itulah yang dimaksud dengan inflademic! Masyarakat di segala penjuru dunia menggigil didera inflasi.

 

OLEH IMAN SUGEMA

Tentu Anda bertanya-tanya sejak kapan inflasi disebut sebagai wabah? Tentunya saya membuat judul tersebut bukan tanpa alasan. Ekonom sepakat bahwa inflasi merupakan salah satu 'penyakit ekonomi' yang patut ditakuti.

Kita pernah mengalami masa-masa sulit yang ditandai dengan inflasi yang tinggi, yakni pada pengujung Orde Lama dan Orde Baru. Penyakit ekonomi lainnya adalah resesi dan pengangguran.

Inflasi akhir-akhir ini sudah 'mewabah' mirip virus korona. Hampir semua negara mengalami gejala yang sama, yakni angka inflasi tahunan mulai merayap naik. Nah karena itu, negara-negara besar kompak untuk memerangi inflasi, yakni dengan cara menaikkan suku bunga.

 
Inflasi akhir-akhir ini sudah 'mewabah' mirip virus korona. Hampir semua negara mengalami gejala yang sama.
 
 

Silakan Anda cek angka inflasi di Amerika Serikat dan kawasan Eropa. Atau kalau mau gampang bisa Anda cek pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka inflasi di negara kita. Kecenderungannya naik bukan?

Terdapat perdebatan yang sangat serius di kalangan ekonom dunia tentang penyebab inflasi dan bagaimana cara menanggulanginya. Dalam tulisan ini saya ingin mencoba memaparkan kedua hal tersebut dengan cara yang awam saja.

Inflasi yang sekarang ini terjadi di semua belahan dunia memiliki kaitan erat dengan wabah flu Covid-19. Kok bisa dari flu menjadi inflasi? Ceritanya adalah sebagai berikut.

Pada saat seluruh dunia menghadapi puncak penjangkitan wabah Covid-19, maka yang dilakukan adalah pembatasan aktivitas masyarakat. Masih segar dalam ingatan kita tentang istilah lockdown, social distancing, dan PSBB. Semua itu dimaksudkan untuk membatasi interaksi antar orang di tempat kerja, pasar, mal, sekolah, dan berbagai pusat kerumunan.

Setiap negara memiliki pendekatan dan istilah yang berbeda-beda. Tetapi intinya tetap sama, yaitu mencegah penularan yang tidak terkendali supaya rumah sakit dan tenaga kesehatan masih sanggup melayani antrean pasien. Ada yang berhasil dan ada yang tidak, tetapi yang ingin saya bahas adalah konsekuensinya terhadap perekonomian.

 
Karena aktivitas masyarakat dibatasi, maka yang menjadi efek sampingnya adalah menurunnya kegiatan ekonomi di semua negara.
 
 

Karena aktivitas masyarakat dibatasi, maka yang menjadi efek sampingnya adalah menurunnya kegiatan ekonomi di semua negara. Sebagian masyarakat tidak bisa bekerja, dan sebagian lagi bekerja dari rumah atau hanya bekerja sebisanya. Pabrik, toko, sekolah, dan kantor terpaksa ditutup sementara.

Dalam situasi tersebut, negara mesti hadir untuk menyelamatkan perekonomian. Umumnya setiap negara memiliki kesamaan program, yakni jaring pengaman sosial (JPS) dan penyelamatan ekonomi nasional (PEN).

JPS bertujuan untuk melindungi secara sementara masyarakat yang mendadak tidak punya penghasilan dan pekerjaan. PEN di sisi yang lain lebih dititikberatkan untuk menghindari terjadinya kebangkrutan massal di kalangan dunia usaha, terutama usaha mikro dan kecil.

Perbedaan setiap negara lebih banyak menyangkut besaran bantuan dan skala prioritas program. Namun demikian rumus umumnya tetap sama.

Mulai dari sini, masalah yang dihadapi pemerintahan di semua negara menjadi sangat klasik. Pengeluaran negara untuk JPS dan PEN membengkak. Di sisi lain, sebagai konsekuensi logis dari pembatasan aktivitas sosial, penerimaan negara dari pajak menurun drastis. Akibatnya sudah sangat jelas, yakni defisit anggaran.

 
Sebetulnya kalau negara memiliki tabungan, maka sebagian defisit dapat ditutup. Tetapi, tabungan pemerintah merupakan spesies langka.
 
 

Sebetulnya kalau negara memiliki tabungan, maka sebagian defisit dapat ditutup. Tetapi, tabungan pemerintah merupakan spesies langka. Di hampir semua negara demokrasi-modern, pemerintah cenderung mengadopsi kebijakan fiskal yang defisit bias. Anggaran negara dari tahun ke tahun cenderung defisit dan tentunya hal ini diikuti dengan semakin membengkaknya utang negara.

Karena semua negara mengalami defisit, maka sangat sulit untuk mendapatkan utang dengan bunga yang masuk akal. Akibatnya, berbagai pemerintahan di belahan dunia meminta dana talangan kepada bank sentral masing-masing.

Yang bisa dilakukan oleh bank sentral hanya satu hal, yakni mencetak uang lebih banyak. Agar tidak terkesan vulgar, cetak uang tersebut kemudian dilabeli dengan istilah quantitative easing, burden sharing, atau berbagai istilah lainnya.

Walaupun istilahnya diperhalus, tapi yang terjadi tetaplah pencetakan uang. Di manapun Anda belajar ilmu ekonomi, kalau pencetakan uang dilakukan melebihi yang dibutuhkan, maka ekonomi menjadi kelebihan likuiditas yang berujung pada peningkatan inflasi. Kalau seluruh dunia kompak cetak uang, maka inflasi pasti menyelimuti semua negara.

 
Itulah yang dimaksud dengan inflademic! Masyarakat di segala penjuru dunia menggigil didera inflasi.
 
 

Itulah yang dimaksud dengan inflademic! Masyarakat di segala penjuru dunia menggigil didera inflasi.

Kemudian Anda bertanya bagaimana cara mengatasinya? Pasti sudah bisa Anda tebak. Sedot likuiditas dengan cara menaikkan suku bunga. Jadi tak usah heran kalau sekarang semua bank sentral kompak menaikkan suku bunga. Akankah berhasil langkah seperti ini? Kita tunggu saja pembuktiannya.

Sebagai penutup, ungkapan Milton Friedman berikut ini patut kita garis bawahi: inflation is always and everywhere a monetary phenomenon. Betul, tetapi seperti yang ditambahkan oleh Sargent selalu ada alasan kebijakan fiskal yang menjadi latar belakangnya.

Bank sentral cetak uang karena menteri keuangan kekurangan dana. Itulah yang terjadi di seluruh dunia. 

Ikuti Berita Republika Lainnya