Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Nostalgia

Hoaks Seputar Kongres Pemuda Indonesia Kedua

Hingga awal 1970-an, hoaks mengenai Kongres Pemuda Indonesia Kedua terus berkembang.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Hingga awal 1970-an, hoaks mengenai Kongres Pemuda Indonesia Kedua terus berkembang. Misalnya, kata Sugondo Joyopuspito, ada yang menulis WR Supratman menyanyikan lagu ciptaannya, “Indonesia Raya”, sambil memetik gitar dan diiringi permainan biola dan ukulele.

Ada pula cerita gadis cilik didaulat untuk menyanyikan lagunya, sementara WR Supratman mengiringinya dengan biola. Ada yang mengatakan juga  peserta kongres menyanyikan "Indonesia Raya" dengan penuh semangat setelah WR Supratman selesai membawakannya dalam lantunan biola.

Ada juga yang menyebut, sebelum dibawakan di Kongres Pemuda Indonesia Kedua, “Indonesia Raya” sudah dinyanyikan di mana-mana. Belakangan, ada yang menulis, Sin Po sudah memuat terlebih dulu syair “Indonesia Raya” sehingga masyarakat umum bisa menyanyikannya sebelum diadakannya Kongres Pemuda Indonesia Kedua.

Pernyataan-pernyataan itu, menurut Sugondo yang menjadi ketua panitia kongres, semuanya benar, tetapi kejadiannya tidak di dalam kongres ataupun sebelum kongres. Di majalah Media Kita edisi November 1973, Sugondo menyebut, “Indonesia Raya” tidak dinyanyikan di kongres karena syairnya ada kata-kata “Indonesia”.

 
Polisi berpendapat bahwa ‘Indonesia’ adalah pengertian politik dan oleh karena itu tidak boleh disebut dalam rapat pemuda yang dilarang membicarakan politik.
 
 

“Perkataan ini dalam rapat umum yang pertama menyebabkan insiden yang hebat karena polisi berpendapat bahwa ‘Indonesia’ adalah pengertian politik dan oleh karena itu tidak boleh disebut dalam rapat pemuda yang dilarang membicarakan politik. Saya khawatir jika lagu yang penuh dengan perkataan ‘Indonesia’ dinyanyikan akan timbul insiden lagi,” tulis Sugondo.

Sugondo meminta nasihat kepada Van der Plas selaku wakil penasihat urusan pribumi mengenai hal itu. Namun, Van der Plas justru menyarankan untuk menghubungi komisaris polisi yang hadir di kongres itu. Tentu saja, Sugondo tidak menghubungi komisaris polisi yang pada hari pertama sudah menginterupsi kongres.

Pada malam pembukaan, seperti dilaporkan Darmo Kondo edisi 31 Oktober 1928, komisaris melakukan interupsi ketika peserta kongres dari perkumpulan teosofi mengatakan “bendera kemerdekaan Indonesia”. Pada esok siangnya, menurut Darmo Kondo edisi 1 November 1928, komisaris polisi melakukan interupsi lagi ketika seorang peserta kongres menyebut “semangat persatuan Indonesia” dan membandingkan semangat dengan Inggris dan Belanda.

Sugondo menyampaikan saran kepada Supratman agar lagunya tidak dinyanyikan. Rupanya, Supratman memang menyiapkan diri tidak menyanyikannya, sebab ia sudah membawa biola. “O, tidak usah saya nyanyikan. Saya membawa biola saja,” jawab Supratman.

Tapi, mana yang benar, tidak boleh menyebut Indonesia atau merdeka, sementara nama acaranya sendiri memakai sebutan “Pemuda Indonesia”? Darmo Kondo menyebut, polisi melakukan interupsi dengan mengatakan tidak boleh berkata “merdeka”.

 
Polisi melakukan interupsi dengan mengatakan tidak boleh berkata “merdeka”.
 
 

Setelah interupsi itu, Sugondo meminta para pembicara tidak menggunakan kata “kemerdekaan”, lantaran bukan rapat politik. “Harap tuan-tuan harus ‘tahu-sama-tahu-saja,” tulis Darmo Kondo edisi 31 Oktober 1928.

Di syair lagu “Indonesia Raya”, Supratman memang menulis banyak “Indonesia”. Seperti yang bisa dilihat di syair yang dimuat koran Persatoean Indonesia edisi 1 November 1928, ada “Indonesia tanah airku”, “Indonesia kebangsaanku”, “Indonesia bersatu”, “Untuk Indonesia Raya”. Koran milik PNI ini menjanjikan akan memuat notasi lagu pada edisi 15 November 1928, tetapi batal.

Setelah majalah Sin Po memuatnya pada 10 November 1928, Sin Po mencetak 5.000 eksemplar lirik lagu beserta notnya untuk dijual.

Lalu, ada pula yang menyatakan pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia Kedua adalah atas prakarsa Sukarno. Pun ada yang menyatakan, sebelum pelaksanaan kongres, terlebih dulu dibentuk dewan pakar/dewan penasihat (braintrust, dewan otak), melibatkan Moh Nazif, Arnold Mononutu, Mr Sartono, Mr Sunario, Amir Sjarifuddin, Sunarko, Muh Yamin, Sigit, dan Sugondo.

Menurut Sugondo, dalam kepanitiaan kongres tak ada badan pertimbangan. Rupanya, istilah ini muncul dari Sigit yang menyebut bahwa rapat-rapat di Flomberg Park disebutnya sebagai rapat badan pertimbangan. “Saya kira pekerjaan ini tidak memerlukan perencanaan yang rumit yang harus disusun oleh ‘Dewan Otak’ yang terdiri atas sembilan orang sarjana dan calon sarjana,” kata Sugondo di buku 45 Tahun Sumpah Pemuda.

 
Saya kira pekerjaan ini tidak memerlukan perencanaan rumit yang harus disusun oleh ‘Dewan Otak’ yang terdiri atas sembilan orang sarjana dan calon sarjana.
 
 

Di kongres kedua ini, Sukarno menyampaikan pidato tertulis. Menurut Subagio Reksodipuro dan Soebagijo IN yang menyusun buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, selain Sukarno, ada pula Perhimpunan Indonesia di Belanda dan Tan Malaka yang juga mengirimkan pidato tertulis. Di kongres ini, kalangan tua dan muda turut hadir. Darmo Kondo melaporkan, ada 1.000 peserta.

Boleh jadi, anggapan Sukarno yang merancang kongres muncul dari sini, sebab Sartono merupakan anggota PNI, partai yang didirikan Sukarno. Kongres Pemuda Indonesia Kedua sudah dirancang sejak pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia Pertama.

Ketika pembahasan ikrar pemuda tidak mencapai kesepakatan soal nama bahasa persatuan, keputusan yang diambil oleh Panitia Kongres Pemuda Indonesia Pertama adalah membawa persoalan itu ke Kongres Pemuda Indonesia Kedua. Artinya, sedari awal memang sudah direncanakan bahwa pelaksanaan kongres pemuda itu tak hanya sekali.

Saat membuka Kongres Pemuda Indonesia Pertama, Tabrani selaku ketua Panitia Kongres Pemuda Indonesia Pertama menyinggung kelanjutan kongres. Tabrani berbicara soal kongres lanjutan yang coraknya tidak akan ditentukan oleh panitia Kongres Pemuda Indonesia Pertama, tapi oleh konferensi organisasi pemuda.

“Di pertemuan itu kita akan menetapkan program kerja untuk tahun berikutnya. Hanya, dengan sepenuh hati besar harapan kami supaya bagaimanapun hasilnya konferensi itu nanti, watak nasional Indonesia jangan sampai hilang,” ujar Tabrani.

Selain para pemrasaran, para peserta juga diberi kesempatan memberikan tanggapan terhadap prasaran-prasaran. Kartosoewirjo, misalnya, menurut Darmo Kondo, dua kali memberikan tanggapan. Kartosoewirjo semula adalah aktivis Jong Java. Ketika beberapa aktivis Jong Java mendirikan Jong Islamieten Bond, Kartosoewirjo ikut di dalamnya.

Kelak, ia mendeklarasikan Negara Islam Indonesia karena Sukarno tidak menjalankan syariat Islam dalam pemerintahannya. Kartosoewirjo, antara lain, menanggapi prasaran dari Yamin soal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ia mendukung penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia ia sebut sebagai tali perhimpunan para pemuda.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Sederhana Bukan Berarti Miskin

Pejabat yang kerap menampilkan gaya hidup //hedon// disebabkan kurangnya pemahaman agama

SELENGKAPNYA

Teladan Kesederhanaan dari Pemimpin Islam

Tak sedikit pemimpin Islam yang sukses justru berlaku hidup sederhana.

SELENGKAPNYA

Bersyukur Meski ‘Dihantam’ Sakit

Hakikat syukur adalah menghayati hanya Allah yang memberikan nikmat di alam ini

SELENGKAPNYA