
Liputan Khusus
Agar Orang Papua tak Lagi Terpinggirkan
Kebijakan pemekaran daerah otonomi baru (DOB) oleh pemerintah dan DPR menyisakan banyak tantangan.
Oleh Lipsus Tiga Tahun Periode ke-2 Joko Widodo
OLEH FEBRYAN A, FAUZIAH MURSID
Hesron Weipsa (21 tahun) dan Yakub Meklok (39 tahun) meninggal tak lama selepas tengah hari Selasa, 15 Maret 2022 lalu. Para pria dari suku Mek di Distrik Nalca dan Distrik Puldama itu kehilangan nyawa setelah diterjang peluru aparat kepolisian dalam kericuhan ketika aksi unjuk rasa menolak pemekaran Provinsi Papua di Yahukimo.
Pekan-pekan itu, aksi unjuk rasa serupa meledak di berbagai wilayah Papua. Jayapura, Wamena, Jayawijaya, ramai menolak usulan penambahan tiga daerah otonomi baru (DOB) di Papua. Ratusan ditangkap, ratusan terluka.
Bagaimanapun, Jakarta bergeming. Tiga bulan lebih sedikit selepas aksi-aksi itu, DPR mengesahkan tiga provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Usulan pemerintah pusat yang dilayangkan tanpa persetujuan resmi Majelis Rakyat papua (MRP) itu tak mampu dilawan aneka unjuk rasa tersebut.
Jakarta berkeras, langkah sepihak pusat semata untuk kesejahteraan masyarakat serta mendobrak stagnasi pembangunan di Papua. Meski begitu, publik sejauh ini belum melihat detail kebijakan dari pusat soal bagaimana hal itu bisa diraih melalui pemekaran.

Pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan, semuanya masih disiapkan menjelang pelantikan penjabat gubernur tiga DOB pada akhir Oktober ini. Di antaranya soal skema penyerahan hibah dana dari kabupaten cakupan dan dari Provinsi Papua. Kedua, penyiapan kantor sementara pemerintahan. Ketiga, identifikasi aset Provinsi Papua yang berada di wilayah provinsi baru dan aset kabupaten cakupan yang akan diserahkan kepada tiga provinsi belia tersebut. Keempat, penyiapan perangkat daerah dan manajemen ASN.
"Penataan ASN di tiga provinsi tersebut diatur dengan ketentuan khusus sebagai bentuk afirmasi kepada OAP," ujar Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah pada Kemendagri Valentinus S Suminto kepada Republika, Jumat (7/10). Rencananya, 80 persen aparatur daerah akan diisi orang asli Papua (OAP).
Kemendagri juga berpandangan, ruang partisipasi OAP atas kebijakan publik akan semakin terbuka dengan pemekaran dengan pendirian lembaga-lembaga politik seperti DPRD dan MRP masing-masing. Itu bisa dilihat sebagai bahasa birokratis untuk konsolidasi elite karena ironisnya DOB baru ini sendiri lahir tanpa partisipasi publik di Papua.
Prof Djohermansyah Djohan, mantan pejabat yang paham soal seluk-beluk otonomi daerah di Kemendagri, juga membagi kekhawatiran soal DOB baru ini. Dia menjelaskan, sejak 1999 hingga 2022, terjadi ledakan pemekaran Papua menjadi 44 DOB dengan dua provinsi, yakni Papua dan Papua Barat, sebagai induk.
Hal itu nyatanya tidak serta-merta membuat kesejahteraan masyarakat Papua meningkat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), lama bersekolah, kualitas kesehatan, dan pelayanan publik, seluruhnya jauh di bawah rata-rata nasional. “Itu kan suatu data yang kuat menunjukkan bahwa pemekaran enggak bisa meningkatkan kesejahteraan secara signifikan di Papua," ujar Djohermansyah.
Menurut dia, pemekaran Papua yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua tidak mengikuti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan daerah otonomi baru harus melalui daerah persiapan.
Dia menjelaskan, tujuan perlunya daerah persiapan adalah untuk memastikan kesiapan sarana dan prasarana, sumber daya manusia, sumber pembiayaan, hingga batas wilayah daerah selama tiga tahun. Jika dinilai siap, provinsi maupun kabupaten/kota baru tersebut akan ditetapkan.
"Dia ibarat bayi baru lahir, ditumbuhkan dulu. Tetapi ini kan sekarang Papua tidak, dia boleh tanpa persiapan. Bayangkan, di daerah lain yang dinilai lebih siap saja, melalui daerah persiapan. Masa, di Papua justru enggak? Tentu akan nanti fatal akibatnya membuat DOB enggak mampu menyejahterakan masyarakat," kata Djohermansyah.
Bagaimanapun, palu sudah diketok. “Distrik perlu dikuatkan, kewenangan, dikasih struktur organisasi kelembagaan yang bisa mengurus orang asli Papua, urusan-urusan standardisasi, dikasih SDM aparatur yang jumlahnya banyak, kemudian dikasih pengelolaan dana supaya bisa urusi OAP, pendidikan kesehatan, ekonomi," ujarnya.
Menurut dia, itu penting untuk mendekatkan pemerintah ke masyarakat serta pelayanan yang menyertainya. Kedua, lanjut Djohermansyah, anggaran Papua yang besar perlu dibuatkan program tertentu dan dijalankan oleh kepala distrik di Papua. Di antaranya pengadaan guru, fasilitas pendidikan, kesehatan, hingga penguatan ekonomi keluarga di Papua. Alur kucuran langsung ke bawah ini mengantisipasi yang selama ini terjadi.

"Itu (dana) akan jadi kantor gubernur, mobil mewah, fasilitas pegawai, akan jadi komputer, kalau di situ akan lebih banyak ke birokrasi. Makanya kalau saya bilang, Papua itu enggak perlu banyak provinsi, tapi distriknya diperkuat," ujarnya.
Kemudian, kata Djohermansyah, penguatan distrik juga diyakini akan membuat situasi keamanan di Papua lebih kondusif. Itu karena program yang dijalankan orang asli Papua akan merangkul orang-orang anti-NKRI turut dalam program. "Itu lebih konkret merangkul ketimbang pakai teori gede-gede," ujarnya.
"Selama pemekaran dilakukan pejabat-pejabat lama, ya, itu sama saja memekarkan korupsi, dan kesejahteraan tidak akan terwujud," ujar aktivis hak asasi manusia (HAM) asal Papua, Yones Douw, kepada //Republika//, Sabtu (8/10). Warga Papua tentu belum lupa bahwa saat ini gubernur mereka, Lukas Enembe, masih jadi incaran KPK. Ia juga memerkirakan, eskalasi konflik bersenjata akan meningkat karena pembentukan provinsi baru bakal diikuti dengan penambahan aparat militer dan keamanan.
Sementara itu, di kalangan masyarakat, kecemasan soal peminggiran juga mengemuka. "Belum pemekaran saja sudah banyak orang luar yang datang, apalagi setelah pemekaran. Pasti butuh tenaga kerja cukup banyak, mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah," ujar Beatrix Gebze (37 tahun), seorang warga Merauke yang tempat tinggalnya bakal termasuk wilayah Papua Selatan.
Serbuan pendatang itu dikhawatirkan bakal membuat OAP kalah bersaing dalam berbagai sektor ekonomi. "Harapan saya mungkin proteksi kehadiran non-OAP dari luar Papua untuk mengisi wilayah pemekaran," ujarnya.
"Misalnya dalam proyek pembangunan jalan. Masak, buat jalan atau bangun gorong-gorong saja harus datangkan orang dari Jawa?"
***
Jangan Eksploitasi Sumber Daya Alam
Peneliti Utama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Cahyo Pamungkas
Apakah kehadiran tiga provinsi baru di Papua bisa menyejahterakan rakyat Papua?
Namanya usaha, ya. Pemerintah pusat memang mengeklaim bahwa pemekaran tiga provinsi ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan orang Papua. Tapi, pertanyaannya, orang papua yang mana yang akan disejahterakan?
Pemekaran provinsi tentu akan mendatangkan beberapa perubahan. Pertama, infrastruktur pasti akan berkembang. Kedua, akan ada rekrutmen pada lembaga politik, seperti jabatan anggota DPRD, kepala dinas, dan lainnya.
Di sisi lain, ada persoalan yang menanti tiga provinsi baru itu. Ada persoalan kualitas SDM. OAP (orang asli Papua—Red) kan selama ini tidak disiapkan untuk bersaing dengan kelompok-kelompok masyarakat dari luar Papua.
Persoalan lainnya adalah ada kekhawatiran terhadap kedatangan kelompok migran lebih besar sehingga OAP akan semakin mengecil proporsinya. Terdapat kemungkinan-kemungkinan adanya depopulasi OAP.
Selama ini, rata-rata pendapatan asli daerah di kabupaten-kabupaten yang sekarang masuk tiga provinsi pemekaran kan cukup rendah proporsinya dibandingkan dengan APBD Provinsi Papua. Hal itu dikhawatirkan akan membuat tiga provinsi baru itu sangat bergantung pada pemerintah pusat terkait pembiayaan.
Kalau untuk kesejahteraan elite, iya, karena akan terbuka peluang, seperti jabatan kepala dinas dan anggota DPRD. Tapi, untuk masyarakat di tingkat akar rumput, itu masih tanda tanya. Bisa iya, bisa tidak, karena SDM-nya belum disiapkan. Saya kira itulah tantangannya.
Bagaimana dampak pemekaran ini terhadap persoalan konflik bersenjata di Papua?
Tentu ada implikasi politik dari pemekaran ini. Semua wilayah yang masuk tiga provinsi baru itu adalah daerah konflik, kecuali Merauke. Nah, pemekaran ini menimbulkan tanda tanya. Apakah pemekaran bisa jadi strategi resolusi konflik atau membuat konflik lebih besar?
Pemekaran bisa menambah persoalan baru kalau tidak bisa merangkul kelompok-kelompok yang ingin merdeka seperti TPNPB-OPM. Saya kira itu masalahnya.
Pemerintah pusat tidak melakukan dialog sama sekali mengenai pemekaran?
Memang ada pertemuan dengan orang Papua, tapi bukan dialog. Ada sekitar 50 orang Papua yang datang ke Istana Negara. Tapi, mereka itu siapa? Mereka itu elite anggota dan kelompok-kelompok masyarakat yang pro pemerintah. Jadi, kehadiran mereka di istana tidak merepresentasikan orang Papua.
Saya melihat sebetulnya gagasan pemekaran ini adalah ide dari atas. Sebuah strategi untuk melumpuhkan konsolidasi politik orang papua yang ingin merdeka. Jadi, pemekaran itu lebih berorientasi politik daripada strategi meningkatkan kesejahteraan.
Apakah pemekaran ini akan menambah eskalasi atau sebaliknya?
Apabila pemekaran provinsi diikuti dengan penambahan daerah teritorial militer, maka akan bertambah pula jumlah aparat keamanan, TNI-Polri, di sana. Tambahan pasukan TNI-Polri tentu akan menimbulkan ketegangan yang lebih besar dengan kelompok-kelompok yang ingin merdeka. Hal itu akan menambah kemungkinan terjadinya kekerasan politik.
Rata-rata masyarakat di pegunungan itu memiliki memoria passionis, yaitu ingatan kolektif orang asli Papua mengenai kekerasan-kekerasan, kekejaman-kekejaman yang mereka alami di masa lalu dan masa sekarang, yang itu diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Ketika mereka melihat aparat keamanan Indonesia, mereka masih trauma secara psikologis. Trauma ini juga akan jadi kendala mewujudkan kesejahteraan OAP.
Dengan setumpuk masalah itu, lantas apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Pertama, pemekaran yang tidak disertai perluasan lembaga-lembaga teritorial militer. Jadi, pemekaran jangan diikuti dengan penambahan aparat keamanan.
Kedua, jumlah kelompok migran yang masuk ke tiga provinsi baru itu harus dibatasi. Pemekaran seharusnya didahului dengan penyiapan SDM, yakni peningkatan kesehatan, pendidikan bagi OAP, sehingga mereka siap.
Ketiga, pemekaran jangan diikuti oleh eksploitasi sumber daya alam (SDA). Di tiga provinsi baru itu kan sangat besar SDA-nya. Eksploitasi SDA harus dibatasi. Artinya, pemekaran jangan jadi pintu masuk eksploitasi SDA dan peminggiran hak OAP dalam bentuk perampasan tanah adat dan lain-lain.

Pemekaran harus mengembangkan ekonomi hijau, konservasi hutan, dan pengakuan masyarakat adat. Jadi, pemekaran harus diikuti dengan perlindungan terhadap masyarakat adat, baik itu tanahnya, airnya, dan lain-lain.
Itu observasi saya, ya. Sejauh saya meneliti di BRIN, itulah adanya. Kami tidak punya kepentingan dan hanya menggambarkan realitas di sana.
Menjadi Penerang Saat Dunia Suram
Indonesia sebagai titik terang saat ekonomi dunia suram.
SELENGKAPNYABerbenah Meraih Kepercayaan Umat
Kasus ACT menjadi pelajaran bagi lembaga filantropi Islam.
SELENGKAPNYAMengandalkan Bansos Jadi Bantalan Ekonomi, Efektifkah?
Bantuan untuk pekerja informal bisa diperoleh melalui sektor lain selain Kemenaker.
SELENGKAPNYA