Kronik
Dari Sumpah Palapa Hingga Sumpah Pemuda
Sama dengan Sumpah Palapa Gajah Mada, Sumpah Pemuda pun bernilai idiologis, politis, dan mitologis.
OLEH MUHAMMAD SUBARKAH
Alkisah, pada suatu hari tahun 1258 Saka (1336 M), saat itu Balairung Kerajaan Majapahit penuh disesaki orang. Para petinggi kerajaan berkumpul. Raja Majaphit Hayam Wuruk duduk di atas singgasananya yang agung. Semua hadirin tampak bahagia, sebab hari itu merupakan perayaan pengangkatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Kerajaan (Patih Amangkubumi).
Setelah gending ditabuh dan berbagai sambutan mengenai pengukuhan jabatan Gajah Mada itu, tiba giliran sang Mahapatih menyatakan ikrar kesetiaan kepada rajanya. Namun, beda dengan “pidato pengangkatan” pejabat Kerajaan Majapahit biasa, Gajah Mada kini hendak mengangkat sebuah sumpah yang khusus.
Sumpah ini dimaksudkan tak hanya untuk memberikan tanda kesetiaan kepada sang raja, tapi juga memberikan janji dari keinginannya untuk meluhurkan nama Kerjaan Majapahit. Sumpah itu adalah “Tidak akan memakan memakan ‘palapa’ (kadang diartikan sebagai kenikmatan duniawi, buah, atau rempah-rempah —RED) sebelum berhasil menaklukkan Nusantara.”
Isi lengkap sumpah itu yang tercantum dalam Kitab Pararaton sebagai berikut. “Sira Gajah Mada Pepatih Amang kubumi tan ayun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, ring Dompu, ring Bali, Sunda, Palem bang, Tumasik, samana ingsung amukti Palapa.”
(Dia Gajah Mada sebagai Pepatih Amangkubumi bersumpah tidak akan mengeyam kesenangan sebelum menaklukkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahanh, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik. Bila itu sudah terjadi maka saya baru amukti Palapa (mengeyam kesenangan)).
Gajah Mada setelah bersumpah itu segera melaksanakan tugasnya. Meski banyak kontroversi mengenai kebenaran klaim penaklukan yang kemudian bisa dilakukannya itu, yang pasti di masa itulah Majapahit mencapai puncak kejayaan. Namanya melambung dan benar-benar bisa mencapai kemuktian.
Dalam Negerakertagama yang ditulis Empu Prapanca, nama Gajah Mada disebut tinggi penuh kemuliaan. Rumahnya yang berada di tepi timur alun-laun Majapahit disebutkannya sebagai bangunan sebuah rumah termegah.
Soal sosok Gajah Mada ini sejarawan Belanda Bernard HM Vlekke menulis dengan mengutip tulisan Prapanca menyebutkan sebagai Patih Majapahit yang berani, bijaksana nasihatnya, dapat diandalkan, setia, jujur kepada raja, mahir berdebat, sederhana, bersiaga, dan bertekad bulat menjalankan perintah Yang Mulia. Pokoknya, semua orang Majapahit menatap sosok dia dengan penuh kebanggaan.
Dan benar, bagi Gajah Mada “Sumpah Palapa” yang dikatakannya itu memang dilaksanakan dengan baik. Imperium Majapahit kemudian mampu menjadi sebuah kekuatan besar.
Kerajaan Cina dan Campa, misalnya, segan pada kerajaan ini. Ibu kota kerajaan tumbuh dengan sangat pesat dari sebuah desa yang sederhana bernama “Tarik” kemudian berubah menjadi kota besar. Vlekke menulis, "Orang-orang dari seluruh negeri pergi ke sana (Ibu Kota Majapahit) untuk memperoleh kerja atau sekadar hidup dari belas kasihan raja dan para tuan besar. Penghuni Istana punya ribuan pengikut di sekeliling mereka. Kandang istana dipenuhi dengan banyak gajah, kuda, banteng, dan binatang langka lainnya."
Kebesaran Majapahit setelah Gajah Mada berhasil mewujudkan Sumpah Palapa itu tergambar jelas dalam catatan Prapanca berikut ini. Tembok kota terbuat dari batu merah tebal dan tinggi. Lewat gerbang yang ada di sisi barat pengunjung masuk ke alun-alun besar yang tengahnya ada kolam air jernih yang dalam.
Di sekeliling alun-alun itu tumbuh beberapa pohon tinggi. Di antara pohon-pohon itu petugas keamanan berjalaan hilir mudik mengawasi lapangan luar istana. Di sisi utara ada gerbang utama yang indah dengan pintu besi yang berhias.
Bahkan, Vlekke kemudian menyebut bila “pujangga itu” (Prapanca) kehabisan kata-kata untuk menggambarkan kemegahan gedung-gedung itu, tentang kandang-kandang penuh burung dengan jumlah tak terbilang, tentang serdadu yang berjaga, dan arus pengunjung tak habis-habis memberi hadiah (upeti) untuk raja.
Kegemilangan Majapahit yang muncul sebagai imbas Sumpah Palapa Gajah Mada itulah yang kemudian disebut oleh sejarawan JJ Rizal dicoba dibangkitkan kembali pada masa Indonesia modern abad ke-20. Meski redaksinya berbeda dengan isi Sumpah Palapa, tapi semangat atau visinya hampir sama, yakni sebagai alat persatuan bangsa. Isi sumpah pemuda sebagai hasil kerapatan atau Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 itu adalah sebagai berikut.
Pertama, kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua, kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia. Ketiga, kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Adanya kesamaan ide antara Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda itu sangat bisa dipahami. Sebab, salah satu tokoh pemikir yang ada di ajang kongres itu adalah Muhammad Yamin. Pada saat kongres dia memang masih berstatus sebagai pelajar, tapi saat itu bacaan dan pemikirannya sangatlah luas.
Dia menguasai banyak bahasa, termasuk Sansekerta, sehingga dia bisa mengetahui khazanah kebesaran bangsanya di masa lampau. “Yamin di sini adalah motor kongres. Dia adalah sosok yang sangat luar biasa,” tegas Rizal.
Imbas dari kongres itu pun kemudian sangat cepat terlihat di lapangan pergerakan politik kebangsaan. Mulai saat itu, satu-persatu wadah pergerakan yang sifatnya masih kedaerahan dan primordial melebur diri dalam bentuk baru yang bernama Indonesia.
Sebutan “Indonesia” makin meluas karena ternyata sebagian besar para peserta kongres kemudian melibatkan diri hingga datangnya masa kemerdekaan. Bahkan, setelah proklamasi, mereka pun menduduki posisi kenegaraan yang strategis.
Salah satu tokoh penggagas kongres itu, Sjahrir, misalnya, sempat menjadi perdana menteri pertama RI. M Yamin sempat menjabat sebagai Menteri Penerangan, Menteri Pendidikan, dan Menteri Kehakiman. Di sana juga ada tokoh penting, seperti Assaat, Kasman Singodimedja, AK Gani, atau SM Kartosuwirjo yang kemudian memimpin pemberontakan DII/TII di awal kemerdekaan.
Arti penting dari ide persatuan melalui bahasa Indonesia sebenarnya juga sempat mengalami ganjalan. Pada awal kemerdekaan, misalnya. Saat itu pun terdengar adanya usaha memakai bahasa Jawa sebagai bahasa nasional.
Ini tampaknya mengulang apa yang dahulu pernah ditulis Yamin pada sajak yang ditulisnya tahun 1921, “Tiada bahasa, bangsa pun hilang!”
Saat ini, tak beda dengan suasana pada Kongres Pemuda II, Yamin pun kembali menolaknya dengan tegas. Dia menyatakan, bahasa adalah landasan utama eksistensi bangsa. Ini tampaknya mengulang apa yang dahulu pernah ditulis Yamin pada sajak yang ditulisnya tahun 1921, “Tiada bahasa, bangsa pun hilang!”
Beruntungnya, sikap tegas Yamin ini ternyata kemudian sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman. Mengacu pada pernyataan JJ Rizal, pada awal kemerdekaan atau hingga sekitar tahun 1956, perayaan Sumpah Pemuda belum dikenal. Saat itu, peristiwa 28 Oktober 1928 lebih dikenal perayaan hari kelahiran lagu “Indonesia Raya”.
Mulai 1956 perayaan pada 28 Oktober sebagai baru Sumpah Pemuda masih sayup-sayup. Namun, berubah pada 1958. Saat itulah, dengan memanfaatkan momentum 30 tahun Sumpah Pemuda, peristiwa ini mulai diperingati secara nasional, dari tingkat Istana hingga kelurahan.
"Di sinilah Sukarno mulai memanfaatkan Sumpah Pemuda menjadi sebuah ide untuk menjawab tantangan politik kebangsaan. Istilahnya, dia mencari momentum dalam sejarah untuk diubah menjadi momen politik dalam menjawab tantangan yang saat itu muncul,” katanya seraya menyatakan bahwa tantangan yang muncul saat itu adalah ancaman disintegrasi bangsa yang akut.
Dengan kata lain, lanjut Rizal, mulai saat itulah ada usaha untuk menggunakan isi Sumpah Pemuda sebagai alat melayani tuntutan idelogis negara persatuan. Dalam hal ini, Sukarno melakukan dua hal.
Pertama, melakukan rekayasa atas teks Sumpah Pemuda. Kedua, melakukan rekayasa terhadap kepala atau judul hasil Kongres 28 Oktober 1928. Untuk soal rekayasa teks, Sukarno membuat semuanya satu dan membuat penyuntingan bahasa.
Ketika membaca teks Sumpah Pemuda di Istana Negara pukul 20.00 pada 28 Oktober 1958, Sukarno membaca teks Sumpah Pemuda yang sudah disesuaikan untuk melayani tujuan-tujuan politik dan ideologi negara kesatuan. Ini misalnya, mengganti kata “persetujuan kerapatan” menjadi “Sumpah Pemuda”.
“Dalam hal ini, Sukarno adalah orang yang mengerti betul bahwa sejarah itu sisi kebenaran faktualnya adalah tak penting. Yang penting adalah visinya. Karena itu, dia sejalan dengan pikiran M Yamin. Nah, mengapa Sukarno memilih kata “sumpah”? Jawabannya ini untuk memberi suasana sakral, suasana mitologis. Bahkan, lebih gila lagi, sebagai sarana untuk mengaitkan dengan suasana masa lalu agar bisa membawa ruh semangat ide kesatuan Indonesia pada Sumpah Palapa,” tegasnya.
Sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “sumpah”, maka suasana kebatinan bangsa menjadi lebih sakral dan dibawa sangat jauh ke belakang untuk melihat masa keemasan Majapahit. Efeknya, kalau ada orang yang berani melakukan pendustaan terhadap Sumpah Pemuda maka dia bukan saja orang yang berdosa secara politis, ideologis, tapi juga secara mitologis.
“Inilah yang luar biasa, betapa Sukarno dan Yamin bisa mengaitkan hasil Kongres Pemuda II sebagai identitas bangsa dan menariknya ke masa Sumpah Palapa Gajah Mada. Mulai saat itulah ada perasaan “bersalah” dari mereka yang ingin melakukan aksi perlawanan terhadap pemerintah pusat,” ujar JJ Rizal.
Rupa-Rupa Sumpah
Sumpah Palapa
“Sira Gajah Mada Pepatih Amangkubumi tan ayun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, ring Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsung amukti Palapa.”
Keputusan Kongres Pemuda II 1928
Kerapatan mengambil keputusan: Pertama, kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua, kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesai. Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda Teks Pidato Sukarno, 28 Oktober 1958
Kami putra-putri Indonesia bersumpah, satu, mengakui tanah air, tanah air Indonesia. Dua, kami putra-putri Indonesai mengakui satu bangsa, bang sa Indonesia. Ketiga, kami putra-putri Indonesia mengakui satu bahasa, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda Teks Pidato Soeharto, 28 Oktober 1978
Kami putra dan putri Indonesia bersumpah, satu, mengaku bertanah air satu, bangsa Indonesia. Kedua, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga, mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Disadur dari Harian Republika edisi 7 November 2007.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Sumpah Pemuda Bukan Sekadar Mitos
Peristiwa Sumpah Pemuda jadi serius karena keberadaan idenya yang sudah sangat lama.
SELENGKAPNYASaat WR Soepratman Menggugah
WR Soepratman sudah sejak lama ingin menyumbangkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya.
SELENGKAPNYA