
Tuntunan
Nasihat KH Abdullah Syukri
Ada tiga tingkatan ikhlas yang dijelaskan Syekh Nawawi al-Bantani
Pada sebuah hari pada 2005, sejumlah mahasiswa menghadap Kiai Abdullah Syukri Zarkasyi (Pak Syukri/1942-2020). Sekitar pukul 18.30 WIB, Pak Syukri membuka pintu dan memanggil mahasiswa tersebut.
Semuanya berjalan cepat, mencium tangan beliau, dan duduk. “Apa ini?” kata beliau menanyakan maksud kedatangan kami.
Seorang mahasiswa menjelaskan kedatangan mereka adalah untuk melaporkan jalannya bakti sosial di Desa Sooko, sebelah timur Kota Ponorogo, Jawa Timur, beserta besaran dana yang digunakan untuk menyukseskan program tersebut.
Pak Syukri membaca berkas yang disusun halaman per halaman. Ketika membaca laporan keuangan, dia mempertanyakan satu hal. “Ini ada honor penceramah. Siapa penceramahnya?” tanya Pak Syukri. Seorang mahasiswa menyebut nama seorang ustaz kader pondok.
Pak Syukri kemudian menandatangani laporan dan menutupnya. Setelah itu beliau memberikan nasihat tentang perjuangan membangun pesantren. “Kami di sini berjuang membangun pondok ini, termasuk meningkatkan kesejahteraan para kader pondok, guru-guru pondok, sehingga kehidupan mereka jauh lebih baik,” ujarnya menjelaskan dengan raut wajah sedikit tersenyum.
Memperjuangkan dan membantu pondok itu harus dengan ikhlas lillahi ta’ala. Kerjakan yang terbaik untuk pondok. Didik anak-anak dengan sungguh-sungguh. Ajarkan mereka ilmu dan keterampilan hidup dengan penuh kasih sayang. Berdakwah di masyarakat dengan ikhlas.
“Saya di sini mendidik guru, kalian semua, santri, untuk ikhlas dalam beramal, termasuk berdakwah,” kata beliau. “Ikhlas bukan dengan cara memberikan honor seperti ini,” kata Pak Syukri menambahkan.
Mahasiswa itu menganggukkan kepala. Dalam tradisi Gontor, ikhlas merupakan energi yang menggerakkan setiap insan di dalamnya menjalankan manhaj dan membangun infrastruktur pondok. Para guru yang menjadi pendidik santri tidak dibayar dengan uang bayaran santri.
Mereka mendapatkan ‘kebaikan’ (ihsan) yang merupakan keuntungan amal usaha Pondok. Jumlahnya beragam sesuai dengan masa pengabdian dan kesungguhan bertotalitas untuk pondok.
Segala yang dikerjakan di dalam lingkungan pondok adalah khidmah yang tujuannya menghasilkan kebaikan. Niatnya adalah ibadah karena Allah semata, bukan untuk menggapai martabat dan penghasilan keduniaan yang fana.
Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897) dalam Nashaihul Ibad menjelaskan, barang siapa melakukan amal kebaikan demi mendapatkan perhatian dan pujian orang lain, amal itu menjadi riya alias pamer. Jauh dari ikhlas.
Lalu apa batasan suatu amal yang dikategorikan ikhlas. Ada tiga hal. Yang terendah adalah kita berbuat kebaikan untuk mendapatkan kenikmatan duniawi. Misal, mendirikan shalat Shalat Dhuha dengan maksud mendapatkan kelapangan rezeki.
Hal ini dibolehkan karena Rasulullah berkata, orang yang mengerjakan Shalat Dhuha lebih banyak mendapatkan harta rampasan perang (rezeki). Hadis ini diriwayatkan Abu Ya’la dan disahihkan Ibnu Hibban.

Berikutnya adalah ikhlas dalam tingkatan menengah. Hal ini diwujudkan melalui ibadah atau kebaikan dengan maksud menghindari azab neraka (al-Furqan: 65), dan bercita-cita masuk surga. Mereka kekal di dalamnya dan tak ingin berpaling dari surga (al-Kahfi: 107-108).
Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah akan dibalas sebuah kebaikan yang kemudian tumbuh tujuh kebaikan. Lalu dari setiap kebaikan itu tumbuh ratusan kebaikan yang lain (al-Baqarah: 261).
Kelak balasan ini akan memberatkan timbangan kebaikan ketika dihisab pada hari pembalasan. Ada banyak lagi ayat Alquran dan hadis yang menjelaskan tentang amal kebaikan yang berbuah hindaran dari azab dan mendapatkan surga.
Ikhlas yang tertinggi adalah seseorang melakukan amal kebaikan hanya mengharapkan Allah. Tidak ada harapan selain itu. Tak peduli surga, neraka, rezeki, dan segala kebaikan. Yang ada di hati hanya Allah.
Mendidik anak di rumah, mengerjakan tugas di kantor, berdakwah di masyarakat, mengayomi warga, melakukan tugas kedinasan, menyetir mobil, mengantarkan orang ke tujuannya, bersedekah, wakaf, zakat, puasa, haji, dan segala ibadah dan amal saleh, semata-mata untuk Allah.
Ini tidak mudah. Hati harus dibiasakan untuk beribadah karena Allah dan tidak memedulikan omongan orang. Kita harus melatih dan membiasakan diri untuk ikhlas semacam ini, seperti Pak Syukri melatih dan membiasakan guru dan santri untuk ikhlas berkhidmat membangun Pesantren Gontor.
Toleransi yang Sebenarnya
Tak satu pun ayat yang mengandung ujaran kebencian terhadap agama Yahudi dan Nasrani.
SELENGKAPNYAPengobatan THT Warisan Peradaban Islam
Pengobatan gangguan THT merupakan kontribusi besar dunia Islam bagi peradaban manusia hingga saat ini
SELENGKAPNYASubchan ZE, Penggalang Kekuatan Antikomunis
Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI, Subchan menggalang kekuatan anti komunis.
SELENGKAPNYA