Anggota kepolisian melakukan penjagaan jelang sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (26/6/2019). | ANTARA FOTO

Teraju

Habis Tiga Periode, Terbitlah Presiden Nyawapres

Yang lebih menarik, isu ini bukan bergulir dari kalangan politisi maupun pengamat.

OLEH HARUN HUSEIN

Isu presiden tiga periode baru saja reda. Tapi, sebuah isu panas --dengan tone sama, yaitu berkaitan dengan nasib orang nomor satu di negeri ini-- kembali bergulir. Isu panas itu adalah “Jokowi bisa menjadi calon wakil presiden (cawapres)” dalam Pemilu 2024.

Yang lebih menarik, isu ini bukan bergulir dari kalangan politisi maupun pengamat. Isu ini justru di-trigger dari lingkaran Mahkamah Konstitusi, lembaga yang berpredikat sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution).

Ya, isu ini dimuntahkan oleh juru bicara MK, Fajar Laksono, awal pekan lalu. Dia bicara, tidak ada aturan yang melarang seorang presiden yang telah menjabat dua periode untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres). “Kalau itu secara normatif boleh saja. Tidak ada larangan. Tapi, urusannya jadi soal etika politik saja, menurut saya,” kata Fajar seperti dikutip sejumlah media, pada Senin, 12 September lalu.

Apa dasar Fajar? Dia menunjuk Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

photo
Wartawan berjalan di depan ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (26/6/2019). - (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Kata kunci dari pasal tersebut, menurut Fajar, adalah “menduduki jabatan yang sama dua kali, berturut-turut atau tidak.”

Dengan demikian, dia menyimpulkan, pasal tersebut tidak mengandung larangan bagi presiden yang telah menjabat dua periode, untuk maju menjadi cawapres di periode berikutnya. Dia mengatakan larangan tersebut hanya berlaku bagi presiden yang telah menjabat dua periode, untuk kembali menjadi calon presiden, karena presiden tidak boleh menjabat tiga periode.

Alhasil, bila membaca jalan pikiran sang jubir, boleh menjadi presiden dua kali, dan menjadi wakil presiden dua kali. Yang penting, kata kuncinya, “tidak menduduki jabatan yang sama dua kali, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut.” Karena itu, boleh pula selang-seling.

Prabowo-Jokowi

Tak lama setelah Fajar melempar bola panas, suasana pun gaduh. Tapi, jamak pula dalam politik, dalam kemelut selalu ada kesempatan mengail di air keruh. Menyikapi isu panas dari Merdeka Barat itu, Partai Gerindra, memberi isyarat Jokowi bisa berpasangan dengan Prabowo. Jokowi jadi cawapres, Prabowo jadi capres.

photo
Warga memakai topeng bergambar peserta Pilpres 2019, Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto (kanan) saat aksi Rukun Agawe Santoso pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Solo, Jawa Tengah, Ahad (13/10/2019).  - (ANTARA FOTO/Maulana Surya)

“Ya, kalau kemungkinan, ada saja,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman kepada wartawan di kompleks parlemen, pada Rabu, 14 September lalu --atau dua hari setelah pernyataan yang disampaikan Fajar Laksono.

Tapi, dia buru-buru membatasi pembicaraan: “Kalau secara konstitusi memungkinkan, tapi dalam konteks politik itu bukan kewenangan saya. Kewenangan ada di Pak Prabowo, Ketua Umum Partai Gerindra,” katanya.

Yang pasti, kata dia, sampai pekan lalu, Partai Gerindra belum menentukan cawapres. Yang sudah pasti, Gerindra akan mencalonkan Prabowo, sebagai calon presiden untuk ketiga kalinya.

Sebelum direspons Habiburokhman, isu tersebut sudah pula dikomentari Ketua DPP PDIP, Bambang Wuryanto. Pria yang akrab disapa Bambang Pacul tersebut juga mengatakan tak ada aturan yang melarang Jokowi maju menjadi cawapres.

Meski begitu, dia menegaskan semua itu tergantung keputusan Jokowi. “Apakah peluang itu mau dipakai atau tidak? Kan, urusan Pak Presiden Jokowi,” katanya.

Meski aturan memungkinkan Jokowi nyawapres, Bambang Pacul mengingatkan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden harus melalui partai politik atau gabungan partai politik. Dan, sesuai Pasal 222 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, partai atau gabungan partai politik harus memenuhi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah dalam Pemilu DPR 2019.

Dari sembilan partai politik peserta Pemilu 2019 yang berhasil masuk parlemen, hanya satu partai yang bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden, tanpa perlu bergabung. Yaitu, PDIP, yang jumlah kursinya mencapai 22,26 persen. Lalu, mungkinkan Jokowi jadi cawapres PDIP? Soal itu, kata Bambang sepenuhnya berada di tangan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Ditolak pakar konstitusi

Tapi, pemahaman jubir MK dan para politisi tersebut, disanggah oleh para pakar konstitusi. Mantan MK, Jimly Asshiddiqie, menegaskan Jokowi tidak bisa menjadi cawapres dalam Pemilu 2024. Dia menegaskan, Pasal 7 UUD 1945 tidak boleh dibaca secara harfiah dan terpisah dengan pasal-pasal lainnya, melainkan harus dibaca utuh, sistematis, dan kontekstual.

Pembacaan Pasal 7 tersebut, tegas Jimly, tidak bisa dipisahkan dari Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”

Persoalannya adalah, jika Jokowi terpilih menjadi wapres dalam Pemilu 2024, dan kemudian presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, akan muncul jalan buntu. Sebab, Jokowi sebagai wapres tidak mungkin menggantikan presiden. Kalau sampai wapres Jokowi menggantikan presiden, maka dia akan melanggar Pasal 7 yang menyatakan tidak boleh menjabat lebih dari dua periode.

Terkait pernyataan Fajar Laksono yang menyatakan presiden dua periode boleh menjadi cawapres, Jimly mengatakan: “Dari mana itu dasarnya dia bicara itu. Dia itu jubir yang justru merusak citra MK.”

Jimly menegaskan Jokowi tidak memenuhi syarat menjadi cawapres dalam Pemilu 2024. “Dia tidak boleh jadi presiden lagi dan tidak boleh jadi wakil presiden lagi, titik. Itu aturan konstitusinya. Tegas begitu,” tandasnya.

Hal yang sama dikatakan pakar hukum tata negara lainnya, Denny Indrayana. Dia menegaskan, kalau Jokowi sampai jadi cawapres dalam Pemilu 2024, maka Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 berpotensi tidak bisa dilaksanakan. Karena, kalau dilaksanakan, itu berarti Jokowi akan menjabat tiga periode, dan itu melanggar Pasal 7 konstitusi, yang melarang presiden menjabat tiga periode.

Lalu, apakah dengan demikian seseorang yang sudah menjabat menjadi presiden tidak bisa lagi menjadi wapres? Denny mengatakan peluang itu terbuka, asalkan seorang presiden tidak menjabat berturut-turut. Misalnya, kata dia, pada periode pertama dia menjadi presiden.

Kemudian, periode berikutnya menjadi wapres. Sehingga, kalau dalam masa jabatannya sebagai wapres itu muncul kejadian seperti dalam Pasal 8 ayat (1), maka dia bisa menjadi presiden untuk periode kedua. Dan, bila ternyata tidak ada kejadian seperti Pasal 8 ayat (1), yang bersangkutan bisa mencalonkan diri menjadi presiden dalam pemilu berikutnya.

Tapi, Denny mengatakan, di planet bumi ini, kisah seorang presiden yang kemudian menjadi wapres di periode kedua, belum pernah terjadi. Alhasil, jika sampai kejadian, dia berseloroh: “Itu akan menjadi keajaiban dunia ke delapan.”

photo
Mantan Wakil Meteri Hukum dan HAM Denny Indrayana memaparkan pandangannya saat menjadi narasumber dalam diskusi publik di Jakarta,Selasa (31/7/2021). - (Republika/Prayogi)

MK Dikecam

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, dalam kolom singkatnya di Republika, yang dimuat Jumat, 16 September, mengecam pernyataan juru bicara MK. Menurut dia, pernyataan itu mencerminkan sikap lembaga MK yang tendensius, free kick, dan berpotensi dianggap melanggar konstitusi.

Ketua Umum Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020 itu menegaskan: “Pernyataan itu tidak bisa tidak dianggap sebagai pernyataan lembaga Mahkamah Konstitusi. Seorang Jubir biasanya mewakili lembaga, dan tidak akan berani mengeluarkan pernyataan kecuali atas restu bahkan perintah pimpinan MK. Kalau MK membantah, maka harus ada sanksi tegas berupa pencopotan sang jubir yang telah melakukan pelanggaran, tidak hanya off side, tapi free kick.”

Pernyataan jubir MK tersebut, kata Din, seolah kian membenarkan dugaan selama ini bahwa MK tidak lagi netral, imparsial, dan adil dalam menegakkan keadilan menyangkut isu pemilu dan pilpres. “Seperti yang ditunjukkannya pada keputusan tentang presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden,” katanya.

Jika hal tersebut benar, Din mengatakan hal itu merupakan malapetaka bagi negara Indonesia yang berdasarkan hukum/konstitusi, tapi perisai terakhir penegakan hukum/konstitusi-nya justru berkecenderungan melanggar hukum atau konstitusi. “Maka, sudah waktunya rakyat me-review atau merevisi keberadaan MK dari perspektif UUD 1945 yang asli,” tandas Din.

 
Pernyataan jubir MK tersebut, kata Din, seolah kian membenarkan dugaan selama ini bahwa MK tidak lagi netral, imparsial, dan adil dalam menegakkan keadilan menyangkut isu pemilu dan pilpres.
 
 

Din menegaskan MK bukan hanya harus memberi sanksi tegas kepada jubirnya, tapi juga harus mengeluarkan pernyataan sikap yang clear terkait isu tersebut. MK, kata dia, “Harus mengeluarkan pernyataan bahwa seorang presiden hanya untuk dua masa jabatan dan tidak boleh diutak-atik untuk diberi peluang mencalonkan diri lagi walau sebagai wakil presiden. Jika hal ini diabaikan oleh MK, saya sebagai warga negara bersedia bergabung bersama rakyat cinta konstitusi melakukan aksi protes besar-besaran,” kata Din.

Menyikapi kegaduhan akibat persoalan tersebut, MK buru-buru memberikan klarifikasi pada Kamis, 15 September lalu. MK mengungkapkan, pernyataan Fajar Laksono adalah pernyataan pribadi, bukan sikap resmi MK, bukan pula putusan MK.

“Pernyataan mengenai isu dimaksud bukan merupakan pernyataan resmi dan tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi," demikian siaran pers Humas MK.

Pernyataan tersebut, menurut MK, merupakan respons atau jawaban yang disampaikan Fajar Laksono dalam diskusi informal, saat menjawab pertanyaan wartawan yang disampaikan melalui whatsapp. Pernyataan itu, kata Humas MK, bukan disampaikan dalam forum resmi, doorstop, maupun ruang pertemuan yang khusus dibuat untuk itu.

Jokowi heran: “bukan saya”

Dan, seperti dalam persoalan-persoalan serupa sebelumnya, Jokowi kembali merasa terkejut. Dalam pernyataannya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jumat, 16 September –sepulangnya dari kunjungan kerja di Maluku--  Jokowi balik bertanya: “Itu dari siapa?”

Jokowi mengaku heran karena ada pihak-pihak tertentu yang kerap mencatut namanya dan seolah mendorongnya untuk maju dalam Pilpres 2024. Sejak isu presiden tiga periode, penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, hingga nyawapres. Dia mengaku tahu siapa yang menginisiasinya. Yang jelas, kata dia, “Bukan saya!”

“Tiga periode, saya jawab. Begitu dijawab, muncul lagi perpanjangan [masa jabatan presiden], juga sudah saya jawab. Ini muncul lagi jadi wapres. Itu dari siapa? Kalau dari saya, akan saya terangkan. Kalau enggak dari saya, saya enggak mau nerangin,” tandasnya.

Bercadar, Wajib, Sunah, atau Mubah?

Terdapat berbagai pandangan para fuqaha (ahli fikih) tentang cadar

SELENGKAPNYA

Perempuan dan Peradaban

Dua perempuan yang teguh menyiapkan generasi untuk tegaknya peradaban, yaitu istri Imran dan Maryam binti Imran.

SELENGKAPNYA

Ratu Siti Aisyah We Tenriolle, Penyelamat Epos La Galigo

Siti Aisyah berjasa mengumpulkan naskah La Galigo dan menulis ulang ke dalam bahasa bugis kuno

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya