Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Kontribusi Terhadap Penyimpangan

Al-i’anah terbagi menjadi dua bagian, yakni kontribusi langsung dan kontribusi tidak langsung.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamualaikum wr wb.

Bagaimana membedakan antara satu aktivitas termasuk berkontribusi terhadap penyimpangan dan tidaknya? Adakah batasan dan kaidah-kaidahnya? Mohon penjelasan, Ustaz. -- Hanafi, Cilandak

Waalaikumussalam wr wb.

Jika merujuk pada beberapa kajian seperti Al-I’anah ‘ala al-Haram wa Tathbiqatuha ‘ala ‘Uqud al-‘Amal fii asy-Syarikat wa al-Bunuk at-Tijarah dari Nasyat al-Hauri, al-I’anah ‘ala al-Itsmi wa al-‘Udwan: Haqiqatuha, Hukmuha, Dhawabith Man’aha fii al-Fiqh al-Islam Utsman Abdul Qadir, al-I’anah ‘ala al-Ma’shiyah al-Jabali, Khalashatu al-Kalami fii Masalati al-I’anati ‘ala al-Harami fii al-Mazhabi al-Hanafi Shalah Abu al-Haj, Ma’ayir Hurmati at-Ta’awun ‘ala al-Itsmi fii al-Mu’amalat al-Maliyah Hamd Yahya al-Kamali, dan Isma’il Kazim al-‘Isawi, maka bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut ini.

Pertama, ada dua pandangan ahli fikih terkait dengan batasan membantu maksiat (al-I’anah ‘ala al-Ma’shiyah). (1) Menurut Abu Hanifah, sesuatu dikategorikan sebagai al-I’anah jika maksiat itu tergantung pada aktivitas tersebut. Jika maksiat terjadi karena aktivitas tersebut maka aktivitas tersebut dikategorikan sebagai i’anah.

Namun, sebaliknya, jika maksiat tersebut terjadi bukan karena aktivitas tersebut maka bukan dikategorikan sebagai i'anah. (2) Menurut mayoritas ahli fikih, yang dikategorikan sebagai i’anah adalah melakukan suatu aktivitas yang memudahkan maksiat terjadi atau dilakukan atau mendekatkan pelaku maksiat terhadap perbuatan maksiat tersebut. Pandangan jumhur ini yang menjadi pendapat pilihan karena dalil-dalilnya. 

Kedua, rujukan al-i’anaha ala al-haram menurut ahli ushul itu dalam bab al-muharram lidzatihi waghairihi, al-fasad wa al-buthlan, sad adz-dzara'i, dan pemilahan antara al-mubasyir wa ghair al-mubasyir lil muharam.

Ketiga, para ahli ushul berbeda pendapat seputar legalitas sad dzara’i. (a) Hanafiyah Syafi’iyah, dan Dzahiriyah tidak berdalil dengan sad dzara’i. (b) Malikiyah dan Hanabilah berdalil dengan sad dzara’i walaupun menyebabkan haram berdasarkan dugaan semata. Jika ditelaah kembali, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Dzahiriyah juga berdalil dengannya saat menyebabkan kepada yang haram secara pasti. 

Keempat, al-i’anah terbagi menjadi dua bagian, yakni kontribusi langsung dan kontribusi tidak langsung (dibagi menjadi yang sifatnya pasti, dugaan kuat, dan dugaan yang tidak menimbulkan yang haram).

Kelima, setiap aktivitas walaupun ketentuan asal dibolehkan itu menjadi terlarang saat ada unsur al-i’anah dalam kondisi berikut. (a) Apabila ada maksud menyebarkan dan memudahkan maksiat walaupun maksiat tidak terjadi. (b) Jika tujuan disebutkan dalam kontrak walaupun maksiat tidak terjadi setelah itu. (c) Jika diketahui dan diduga kuat bahwa pihak kedua akan menggunakan objek akad untuk hal maksiat. Namun, jika sebatas dugaan maka tidak haram dan mukalaf yang mengetahuinya.

Kemudian, (d) ada unsur niat dan disengaja. (e) Perbuatan tersebut menyebabkan secara langsung terhadap perbuatan maksiat. (f) Fikih ma’alat atau risk reputation, maksudnya secara risiko memberikan stigma negatif terhadap reputasi perusahaan.

Jika pihak yang melakukan i’anah menggunakannya untuk yang haram, baik diketahui meyakinkan ataupun diduga kuat, maka pihak tersebut saat melakukan transaksi bisnis itu haram hukumnya bagi yang melakukan transaksi tersebut. Tidak ada perbedaan antara Muslim dan non-Muslim mengenai larangan i’anah terhadap aktivitas yang diharamkan dalam keyakinan seorang Muslim walaupun pekerjaan tersebut menurut non-Muslim adalah mubah.

Keenam, aktivitas yang termasuk dalam kategori al-i’anah ‘ala al-ma’shiyah itu mengakibatkan aktivitas yang dilakukannya menjadi bathil, transaksinya infisakh atau bubar, dan masing-masing pihak mengembalikan apa yang sudah ia terima.

Jika kompensasinya sudah tidak ada maka transaksi tetap lanjut dan pelaku transaksi lain yang masih memiliki kompensasi itu harus diserahkan, dan ia harus menyedekahkannya karena itu kompensasi yang tidak halal (keji).

Wallahu a'lam.

Mengenang Penangkapan DN Aidit

Saat-saat menjelang G30S, Aidit banyak membuat pernyataan yang memanaskan situasi.

SELENGKAPNYA

Munir dan Keberaniannya

Munir belum pantas meninggal, ia berumur masih 39 tahun.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya