
Tema Utama
Heliosentris dan Geosentris, Antara al-Thusi dan Copernicus
Buah pemikiran para Muslim astronom menginspirasi hingga era Renaisans Eropa.
OLEH HASANUL RIZQA
Peradaban Islam turut mengembangkan astronomi, terutama pada masa keemasan yang merentang sejak abad kesembilan hingga 13 Masehi. Hingga kini, pengaruhnya masih dapat dijumpai dalam kajian ilmu falak.
Misalnya, nama-nama yang digunakan para astronom modern untuk beberapa perangkat atau metode. Sebut saja, alidad (berasal dari kata bahasa Arab, al-‘adhudiyah, alat ukur untuk melihat objek yang jauh dengan garis pandang); azimut (dari as-samtu, sudut putar dari arah barat hingga timur); dan nadir (dari nazhir, titik terendah dari bulatan cakrawala di bawah kaki pengamat).
Begitu pula dengan nama bintang gemintang di ruang angkasa, semisal Aldebaran (al-Dabaran), Altair (an-Nisr ath-Tha`ir), atau Deneb (adz-Dzanab). Penamaan mereka mengikuti bahasa Arab. Menurut Mohammad Ilyas dalam Islamic Astronomy and Science Development (1996), saat ini terdapat lebih dari 10 ribu manuskrip astronomi karya para saintis Muslim dari abad pertengahan.
Korpus dalam jumlah besar itu tersebar di berbagai perpustakaan dunia. Kebanyakan menunggu tangan peneliti sehingga belum dikatalogkan.
View this post on Instagram
Para ilmuwan itu tidak muncul dari kevakuman. Sebelum Islam datang, pelbagai sistem ilmu falak dan kosmologi telah dikembangkan sejumlah peradaban, semisal Yunani, Persia, Babilonia, dan India. Setidaknya sejak era Dinasti Umayyah, kalangan sarjana Muslim mulai menerjemahkan karya-karya astronomi dari kebudayaan non-Arab itu. Selanjutnya, mereka mempelajari, mengembangkan, dan bahkan mengoreksinya dengan penuh ketekunan.
Dari seluruh peradaban pra-Islam, Persia, India, dan Yunani menghasilkan kontribusi yang besar bagi keilmuan falak. Dari yang pertama, lahirlah Zij-i Syahi atau Zij-i Syahriyari (Tabel Raja). Karya itu dirancang sekira tahun 555 M atau pada masa Anusyirawan memerintah Dinasti Sasaniyah.
Dari yang kedua, terbitlah Surya Siddhanta. Teks yang ditulis pada abad keenam sebelum Masehi (SM) itu berisi panduan untuk menghitung pergerakan planet, bulan, serta orbit berbagai benda langit.
Adapun peradaban Yunani pada abad kedua menghasilkan Mathematike Syntaxis. Buku yang ditulis oleh Klaudius Ptolemaeus (Claudius Ptolemy) itu terkenal di Eropa dan juga Asia barat dengan judul Almagest.
Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam (1968), ketiga teks tersebut berperan penting dalam pembentukan awal ilmu falak Islam. Baik Zij-i Syahi, Surya Siddhanta, maupun Almagest diterjemahkan dan dipelajari secara ekstensif oleh para saintis Muslim sejak zaman Daulah Abbasiyah.

Pada pertengahan abad ke-13 M, bangsa Mongol menyapu banyak kota di negeri-negeri Muslim. Bahkan, pada 1258 M Baghdad luluh lantak akibat diserbu pasukan Hulagu Khan. Jatuhnya pusat Kekhalifahan Abbasiyah menandakan hancurnya tatanan sosial, budaya, dan peradaban Islam yang telah dibina sejak lebih dari 500 tahun. Sebab, penyerangan itu ikut melumatkan berbagai pusat literasi atau pendidikan, seperti madrasah, universitas, dan perpustakaan.
Sesudah runtuhnya Abbasiyah, geliat studi keilmuan—termasuk astronomi—pun ikut terdampak. Husein Heriyanto dalam Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (2011) menuturkan, dalam kondisi demikian tampil seorang sarjana Muslim yang bernama Nashiruddin al-Thusi (1201-1274 M).
Intelektual Muslim Persia itu sesungguhnya tidak hanya berkiprah di ilmu falak, tetapi juga fisika, matematika, dan filsafat. Di ranah astronomi, dirinya dikenang antara lain sebagai pembuat tabel pergerakan planet-planet yang sangat akurat.
Ia pun mengoreksi berbagai aspek dalam Almagest peninggalan Ptolemy. Metode matematisnya, yang kini disebut sebagai Pasangan Thusi, menjadi inspirasi bagi ilmuwan Eropa era Renaisans. Bahkan, tokoh sepopuler Nicolaus Copernicus (1473-1543 M) diduga kuat menjiplak metode buatannya itu.
Maraghah
Al-Thusi, sebagaimana warga Abbasiyah umumnya kala itu, turut merasakan penjajahan Mongol walaupun barangkali tidak separah Baghdad. Untuk menjaga keberlangsungan aktivitas intelektual di kawasan Persia, ia pun berdiplomasi dengan Hulagu Khan.
Penakluk dari dataran Asia tengah itu akhirnya membolehkan kaum sarjana setempat untuk tetap menjalankan kegiatan ilmiahnya. Bahkan, saintis tersebut kemudian diangkat menjadi penasihatnya dalam bidang ilmu perbintangan.
Atas saran al-Thusi, Hulagu mendirikan sebuah lembaga sains dan observatorium di Maraghah, Persia. Ilmuwan Muslim tersebut kemudian diangkat menjadi direktur institusi itu. Dalam waktu relatif singkat, penulis kitab At-Tadzkirah fii ‘Ilm al-Hayah itu berhasil mengumpulkan para saintis dari berbagai daerah ke pusat studi itu. Kepemimpinannya juga sukses menyelamatkan 400 ribu buku ilmiah yang sebelumnya berserakan di kota-kota Islam taklukan Mongol.
Menurut Heriyanto, Observatorium Maraghah merupakan lembaga kajian astronomi terbesar di dunia pada masa itu. Reputasinya terkenal lantaran mutu instrumen-instrumennya serta keahlian orang-orang yang bekerja di dalamnya.
Banyak sarjana dan tokoh ilmuwan yang muncul dari lembaga pimpinan al-Thusi itu. Sebut saja, Quthbuddin al-Syirazi (1236-1311 M) dan Ibnu Syathir (1304-1375 M). Pada akhirnya, mereka dikenal sebagai peletak dasar Mazhab Maraghah dalam disiplin ilmu falak.
Selama memimpin Observatorium Maraghah, al-Thusi menulis banyak karya, baik dalam bahasa Arab maupun Persia. Di antara tulisan-tulisannya adalah ulasan atas siklus teks matematika dan astronomi Yunani yang dihasilkan sejak Euclide hingga Ptolemy.
Sejumlah buah pikirnya di kemudian hari membuka jalan bagi astronomi modern, terutama dalam kaitannya dengan pergeseran peradigma: dari geosentrisme kepada heliosentrisme.
Sejumlah buah pikirnya membuka jalan bagi astronomi modern, terutama dalam kaitannya dengan pergeseran peradigma: dari geosentrisme kepada heliosentrisme.
Umpamanya, model baru yang ditawarkan al-Thusi untuk mengatasi masalah-masalah yang dijumpai dalam sistem Ptolemy. Heriyanto menjelaskan, model baru itu berupaya lebih setia kepada konsepsi sifat bola dari langit ketimbang model yang digagas astronom Yunani tersebut. Caranya dengan menempatkan bumi pada pusat geometris bola-bola langit, tidak pada jarak tertentu dari pusat, seperti yang ditemui dalam teori ahli ilmu falak Iskandariah, Mesir, itu.
Al-Thusi menggambarkan dua bola, yang satu berpusat di dalam yang lainnya, untuk menerangkan apa yang tampak sebagai gerak planet. Di kemudian hari, konsep itu dinamakan sebagai Pasangan Thusi (Thusi Couple) oleh akademisi Amerika, ES Kennedy. Gagasan astronom Muslim itu pun konsisten dengan hukum-hukum fisika modern. Model orbit-planet baru itu dikerjakan hingga tuntas oleh muridnya, al-Syirazi dan al-Syathir.

Menjadi acuan
Para peneliti pada abad ke-20 menemukan kemiripan yang kuat antara model planet al-Thusi—yang dikembangkan pula oleh para penerusnya di Maraghah—dan model yang dituliskan Copernicus dalam magnum opus-nya, De Revolutionibus Orbium Coelestium (1543).
Bahkan, saking miripnya beberapa penulis saat ini menuding bahwa tokoh Renaisans Italia itu telah menjiplak hasil pemikiran sang ilmuwan Muslim. Sebab, tidak ada satu pun nama al-Thusi ataupun para saintis Maraghah disebutkan dalam De Revolutionibus.
Ada jarak masa dua abad antara al-Thusi dan Copernicus. Beberapa sejarawan, yang mengambil perspektif moderat, menduga bahwa Copernicus sesungguhnya mengenal perkembangan akhir astronomi Islam, yang direpresentasikan oleh Mazhab Maraghah.
Teks-teks karya al-Thusi, al-Syirazi dan al-Syathir kemungkinan besar diperoleh ilmuwan Polandia itu melalui tangan-tangan para pengumpul manuskrip di Italia. Memang, terjemahan Bizantium atas naskah-naskah Arab dapat dijumpai di berbagai kampus atau perpustakaan setempat kala itu.
Nama Copernicus menjadi terkenal pada medio abad ke-16 M karena dirinya menyatakan bantahan terhadap geosentrisme. Mengikuti pemahaman Aristotelian dan—tentunya—Ptolemy, Dewan Inkuisisi Gereja Katolik saat itu berpegang pada keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam raya.
Dukungan saintis Katolik tersebut pada heliosentrisme dianggap sebagai bidah. Vatikan sempat menjatuhkan vonis mati atasnya, tetapi alumnus Akademi Krakow itu terlebih dahulu meninggal dunia akibat sakit dalam usia 70 tahun.

Berbeda dengan Copernicus, al-Thusi dan para saintis Maraghah mengikuti Ptolemy. Dengan perkataan lain, kalangan ilmuwan Muslim itu menggunakan model geosentrisme saat menjelaskan berbagai kaidah astronomi di dalam karya-karya mereka. Hal ini cukup menarik. Sebab, kelompok yang menginspirasi pencetus heliosentrisme pada Era Renaisans justru tetap bertahan pada geosentrisme, paradigma yang dibuat sejak abad kedua Masehi.
Bagaimanapun, pernyataan tersebut mesti diturutkan dengan catatan penting berikut ini. Para intelektual Muslim tersebut tidak menerima begitu saja pemikiran Ptolemy dengan tangan terbuka. Malahan, tokoh-tokoh ilmu falak, semisal al-Thusi, telah banyak mengkritik dan mengoreksi sistem geosentris Ptolemy.
Maka dari itu, tidak mengherankan apabila hasil pemikiran mereka berabad-abad kemudian menimbulkan pengaruh besar terhadap para astromom Renaisans, semisal Copernicus, Johannes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1642), dan Tycho Brahe (1546-1601).
Untuk menjawab pertanyaan, mengapa Copernicus—bukan ilmuwan Muslim Mazhab Maraghah—yang mencetuskan heliosentrisme, beberapa peneliti masa kini mengaitkannya dengan konteks waktu dan tempat. Di samping itu, ada pula latar perbedaan “semangat zaman” (zeitgeist) antara dunia Islam dan Eropa (Barat) Era Renaisans.
Hasil pemikiran mereka berabad-abad kemudian menimbulkan pengaruh besar terhadap para astromom Renaisans, semisal Copernicus, Johannes Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1642), dan Tycho Brahe (1546-1601).
Di Balik Anggapan Revolusioner De Revolutionibus
Buku Almagest karya Klaudius Ptolemaeus alias Claudius Ptolemy menjadi acuan kaum ahli falak hingga abad pertengahan. Para Muslim astronom di era keemasan peradaban Islam pun merujuk pada buah pikir ilmuwan Yunani tersebut, setidaknya pada abad kedelapan Masehi. Dan, salah satu anggapan-dasar dari teks terbitan abad kedua Masehi itu adalah geosentrisme.
Mulai abad kesembilan, banyak kritikan tajam dilayangkan oleh para ilmuwan Muslim kepada Almagest. Di antara mereka yang mengkritik karya Ptolemy itu adalah al-Farghani (wafat 861 M), Tsabit bin Qurrah (wafat 901 M), dan al-Battani (wafat 929 M). Nama yang terakhir itu merenovasi astronomi Ptolemy yang statis menjadi astronomi yang dinamis.
Husein Heriyanto dalam Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (2011) menuturkan, koreksi atas konsep-konsep Ptolemy kian deras dilancarkan kalangan terpelajar Muslim. Pada abad ke-11, al-Biruni mengajukan untuk pertama kalinya dalam ranah astronomi konsep mengenai gerak bumi mengelilingi matahari.
Sang ilmuwan serba bisa (polymath) itu juga membahas kemungkinan rotasi bumi. Kedua teori itu diajukannya lima abad sebelum astronom Renaisans Eropa, Nicolaus Copernicus (1473-1543 M).

Puncak kajian falak dalam peradaban Islam terjadi ketika Observatorium Maraghah berdiri. Direkturnya, al-Thusi, mengajukan model orbit-planet baru yang sama sekali non-Ptolemy. Model yang kini masyhur dengan sebutan Pasangan Thusi itu pada abad ke-16 menginspirasi—untuk tidak mengatakan “dijiplak”—oleh Copernicus.
Bagaimanapun, yang akhirnya dikenang sebagai pendobrak total paradigma Ptolemy bukanlah para ilmuwan Muslim di atas, melainkan Copernicus. Penulis De Revolutionibus itu memaklumkan heliosentrisme dan menolak geosentrisme yang dicanangkan paradigma Ptolemy sejak 1.400 tahun sebelumnya.
Maka, mengapa Copernicus, bukan Muslim semisal al-Thusi? Menurut Heriyanto, hal tersebut berkaitan dengan semangat zaman (zeitgeist) yang mengisi sosiokultural Eropa ketika itu. Yakni, anggapan bahwa manusia modern tidak terikat pada cara berpikir metafisis atau teologis, seperti yang digariskan doktrin Gereja.
Pemetaan yang dibuat Copernicus pun dianggap revolusioner. Sebab, tidak seperti peta-langit buatan Mazhab Maraghah, karya astronom Renaisans itu diinterpretasikan sebagai alat perlawanan terhadap (otoritas) agama dalam konteks sosiokultural mereka.
Astronomi dan Jejak Islam, Heliosentris Vs Geosentris
Dalam beberapa segi, ilmuwan Islam-lah yang membuka jalan bagi astronomi modern.
SELENGKAPNYAGaung Pan-Islam di Pekojan
Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 menetapkan Pekojan sebagai kampung Arab.
SELENGKAPNYAYang Hilang karena Perang
Perang tak hanya menghilangkan banyak nyawa, tapi juga warisan sejarah suatu bangsa.
SELENGKAPNYA