Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Rekayasa Menjegal Islam Politik

Ketika Jepang menyerah dan meninggalkan Indonesia, era umat Islam berpolitik tak semulus yang dibayangkan.

OLEH ALWI SHAHAB

Sebelum Belanda menancapkan kukunya di Indonesia, Portugis lebih dahulu datang ke Kepulauan Nusantara. Pada waktu itu (abad ke-XV), Portugis dan Spanyol masih terlibat dalam Perang Salib melawan Islam di Semenanjung Iberia (Spanyol).

Apalagi dalam abad tersebut, Portugis menjadi pemimpin agama Katolik terhadap Islam. Dan sudah menjadi tekadnya untuk memerangi Islam di mana saja. Sesudah Portugis dikalahkan Belanda di Malaka, yang kemudian menguasai rute pelayaran ke Indonesia, pihak kolonial Belanda memperluas jangkauannya di berbagai kepulauan di Tanah Air.

Sekalipun tidak sekeras Portugis, tapi upaya membendung Islam tetap dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda yang mewakili Kristen Protestan, sejak bercokol di koloninya yang baru ini. Dalam rangka menghadapi Islam di Indonesia, pemerintah kolonial antara lain bekerja sama dengan para kepala adat dan menggunakan lembaga adat untuk membendung pengaruh Islam politik di Tanah Air.

Kerja sama ini tampak jelas dalam Perang Diponegoro, Perang Padri, dan Perang Aceh. Sehingga orang Islam terpaksa menghadapi penjajah Belanda dan kaum adat sekaligus. (Lihat H Aqib Suminto: Politik Islam Hindia Belanda, terbitan LP3S).

Karena perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang dimotori para kiai dan ulama tidak pernah surut, bahkan kian meningkat, banyak di antara mereka kemudian diasingkan setelah perang selesai. Termasuk Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan masih banyak lagi. Karena itulah, melihat pengaruh para kiai dan mubaligh yang begitu besar, pemerintah kolonial Belanda dalam politiknya kemudian memisahkan kaum priyayi dan kiai.

 
Karena perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang dimotori para kiai dan ulama tidak pernah surut, bahkan kian meningkat, banyak di antara mereka kemudian diasingkan setelah perang selesai.
 
 

Bukan hanya itu, penjajah juga mempersulit umat Islam untuk melakukan ibadah haji. Apalagi, sejak dibukanya Terusan Suez menjelang abad ke-20 semakin banyak umat Islam di Indonesia yang ingin menunaikan rukun Islam kelima.

Kekhawatiran Belanda itu disebabkan karena setelah mereka menunaikan ibadah haji, banyak membawa ajaran-ajaran dan semangat Islam dari luar selama mereka bermukim di tanah suci. Apalagi pemerintah kolonial tidak melupakan berbagai perlawanan umat Islam banyak dimotori oleh para haji, ulama dan kiai.

Untuk membendung semangat Islam ini, pada 1889 Prof Christian Snouck Hurgronje yang memiliki pengetahuan luas dan pandai berbahasa Arab, diangkat sebagai Kepala Kantor Penasehat Urusan Arab dan Islam. Bagi Snouck, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Tapi, ia tetap tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda.

Sekalipun Snouck tahu bahwa Islam di Indonesia banyak bercampur dengan unsur-unsur kepercayaan animisme dan Hindu, tapi ia berpendapat umat Islam memandang agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dengan agama lain. Apalagi, dalam kenyataannya Islam di Indonesia berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing. (Lihat Priyono: Riwayat Penjajahan Barat dan Perlawanan Umat Islam).

Lewat kebijakan Islam politik yang menjalankan saran Snouck, maka lahirlah keputusan untuk memisahkan umat Islam dari persoalan politik. Dalam soal peribadatan, Snouck menyarankan pemerintah Kolonial untuk bersikap netral.

Namun, sebaliknya untuk semua gerakan politik umat Islam, ia menyarankan untuk memberangus secepat mungkin. Semangat inilah yang mendorong semua kebijakan Kolonial diarahkan untuk mengebiri semangat keagamaan dalam politik.

 
Untuk membendung semangat Islam ini, pada 1889 Prof Christian Snouck Hurgronje yang memiliki pengetahuan luas dan pandai berbahasa Arab, diangkat sebagai Kepala Kantor Penasehat Urusan Arab dan Islam.
 
 

Tidak heran, dalam menghadapi Pan Islamisme awal abad ke-20 yang pengaruhnya juga bergetar di Indonesia, pihak kolonial bertindak tegas. "Adalah sangat gegabah andaikata pemerintah Hindia Belanda tidak turun tangan terhadap penyebaran ide Pan Islamisme," kata Snocuk dalam sarannya kepada Gubernur Jenderal.

Ketika era Kolonial Belanda berakhir, Jepang punya kebijakan khusus dalam menghadapi umat Islam. Aparat pemerintahan Jepang justru mendekati para ulama dan kiai. Jepang menilai, mereka tidak saja sebagai pemimpin nonformal, tapi tokoh masyarakat yang berwibawa dan sangat berpengaruh di kalangan masyarakat.

Apalagi para ulama mengambil sikap tidak mau membungkukkan badan menghormati Kaisar Tenno Haika yang dianggap sebagai putra matahari. Para ulama yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas menganggap membungkukkan badan menghormati sang kaisar sebagai pengingkaran terhadap akidah Islam.

Intinya, pada masa pendudukan Jepang, para pejabatnya di Indonesia berupaya menjadikan ulama sebagai mitra. Ini tentu saja dalam kaitan perjuangan mereka melawan Sekutu pada Perang Dunia II.

Ketika Jepang menyerah dan meninggalkan Indonesia, era umat Islam berpolitik tak semulus yang dibayangkan. Tantangan justru makin besar lewat pertentangan yang terjadi di kalangan nasionalis sekuler. Mereka tak ingin prinsip-prinsip Islam menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Puncaknya, ketika partai Islam Masyumi yang memainkan peran penting di awal kemerdekaan, akhirnya dibubarkan pada 1960. Tak hanya itu, para tokohnya yang mayoritas memainkan peran penting dalam pergerakan kemerdekaan dan awal berdirinya negara ini, dijebloskan dalam penjara.

Situasi seperti ini pun masih mewarnai suasana kehidupan umat Islam di era Orde Baru. Bahkan, tekanan kepada umat Islam yang mencoba bergerak dalam bidang politik ketika angin kebebasan muncul di awal Orde Baru makin menjadi-jadi.

Dalam banyak segi, Ali Moertopo, selaku Aspri Presiden Soeharto dan CSIS, lembaga think thank yang didirikannya memainkan peran penting merekaysa berbagai kegiatan yang merugikan umat Islam.

 
Intinya, pada masa pendudukan Jepang, para pejabatnya di Indonesia berupaya menjadikan ulama sebagai mitra. Ini tentu saja dalam kaitan perjuangan mereka melawan Sekutu pada Perang Dunia II.
 
 

Tuduhan yang mengada-ada dengan dalih ingin mendirikan negara Islam dibuat untuk menangkap orang-orang seperti Abdul Qadir Djaelani, AM Fatwa, Syarifin Malako, dan puluhan orang lainnya. Selain itu, untuk meredam semangat Islam politik yang muncul di kalangan umat juga diberlakukan asas tunggal Pancasila.

Partai-partai politik diciutkan, sedangkan yang duduk di dalam kepengurusan adalah orang-orang yang telah 'dijinakkan' dan harus sejalan dengan pemerintah. Hingga tidak heran, saat Parmusi didirikan di Malang, Mohammad Roem sekalipun secara aklamasi terpilih sebagai ketua umum kemudian disingkirkan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah waktu itu tetap menganggap bahwa Islam politik merupakan ancaman.

Ini karena kekhawatiran semacam itu tidak diberlakukan terhadap tokoh-tokoh dari Partai Murba dan PSI, sekalipun kedua partai ini juga dibubarkan pada masa Bung Karno. Tokoh-tokoh seperti Adam Malik (Murba) dan Sumitro Djojohadikusumo (PSI) justru mendapat tempat di dalam kabinet Orde Baru.

Demikian juga dengan sejumlah tokoh PSI lainnya yang menduduki posisi penting di berbagai departemen. Bahkan mereka menjadi arsitek pembangunan dengan menduduki pos-pos penting di Bappenas.

 
Ketika Jepang menyerah dan meninggalkan Indonesia, era umat Islam berpolitik tak semulus yang dibayangkan.
 
 

Ketika menghadapi Pemilu 1971, Soedjono Hoemardani yang juga Aspri Presiden Soeharto mendirikan GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam), yang ketika itu mendapat reaksi keras dari tokoh NU Subchan ZE dan para ulamanya. Mereka menilai pendirian GUPPI sebagai wadah yang memayungi lembaga pendidikan dari tokoh-tokoh NU merupakan politik 'adu domba'.

Karena itu, Soedjono Humardani dianggap berniat memecah belah NU mengingat sebagian besar anggota GUPPI adalah orang NU dan NU sendiri telah memiliki wadah semacam itu yang disebut Al-Maarif.

Peran politik umat makin lama makin membaik ketika 1990-an, khususnya lewat kehadiran Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Peran itu semakin mendapat bentuknya lewat era Reformasi sekarang ini dengan hadirnya era multipartai.

Yang jadi pertanyaan, apakah tidak mungkin orang-orang yang membenci kehadiran Islam politik merekayasa kembali upaya peminggiran umat dari pentas politik?

Wallahu a'lam.

Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 28 Mei 1999. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman yang wafat pada 2020.

Kisah Jong Islamieten Bond

Jong Islamieten Bond diisi pemuda Muslim yang memantapkan Islam sebagai sandaran identitas.

SELENGKAPNYA

Ir Juanda Konseptor Perairan Indonesia

Semasa mudanya Juanda hanya aktif dalam organisasi nonpolitik Pagoeyoeban Pasoendan (PP) dan anggota Muhammadiyah.

SELENGKAPNYA

Era Gila Kaisar Caligula

Caligula semakin tidak terkontrol. Kekuasaan mengantarkannya dari seorang tiran menjelma menjadi monster.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya