
Opini
Kemerdekaan Berkota
Kota harus merawat semangat pluralisme sosial, partisipasi warga yang setara, serta terobosan inovasi, dan kreativitas yang tinggi.
NIRWONO JOGA, Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan
Di tengah kemeriahan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia, masih banyak persoalan bangsa yang belum terselesaikan. Di antaranya mewujudkan keadilan tanah, kemerdekaan berkota, dan bermukim bagi seluruh rakyat Indonesia.
Cerita sengketa/perebutan lahan, penggusuran permukiman warga/kampung kumuh miskin akibat terdampak pembangunan infrastruktur terus berlangsung dalam kehidupan kota dan kita.
Pemerintah perlu membangun kota inklusif berkelanjutan yang menjamin terwujudnya kemerdekaan berkota. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan? Pertama, penataan pertanahan di perkotaan yang sangat kompleks.
Masalah penataan lahan ini penting karena persentase penduduk Indonesia di perkotaan semakin meningkat tajam, dari 49,8 persen pada 2010 menjadi 56,7 persen pada 2020 dan diperkirakan mencapai 63,4 persen pada 2030 (Badan Pusat Statistik, 2020).
Pemerintah harus melakukan reforma agraria di perkotaan. Pemerintah harus mengendalikan persaingan yang tak adil antara alokasi tanah untuk fasilitas publik, ruang terbuka hijau, dan kebutuhan dasar publik dengan alokasi tanah yang bersifat kumulatif dan pencadangan oleh para pengembang.
Masalah penataan lahan ini penting karena persentase penduduk Indonesia di perkotaan semakin meningkat tajam, dari 49,8 persen pada 2010 menjadi 56,7 persen pada 2020.
Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria membuka peluang reforma agraria di perkotaan untuk memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup berkelanjutan.
Kedua, praktik perkotaan sekarang lebih menyerupai predator ekonomi yang melakukan sesuatu yang selalu dianggapnya benar.
Komersialisasi lahan kota memaksa warga miskin, penghuni kampung kumuh, kaum marginal, dan pekerja muda dipaksa ke pinggiran bahkan kini ke luar kota, jauh dari tempat kerja.
Ruang kota dikuasai dan digunakan pemodal/pengembang untuk kegiatan ekonomi bernilai tinggi, seperti pusat belanja, gedung perkantoran, real estate, hotel, dan apartemen mewah.
Ketidakadilan ruang sosial, memaksa warga menghabiskan waktu, energi, dan biaya perjalanan yang semakin mahal dari pinggiran/luar kota menuju tempat kerja di pusat kota.
Pemerintah harus menempatkan dimensi manusia sebagai subjek pembangunan kota, memberi jaminan akses warga tinggal di pusat kota, hak bermukim yang layak, menyediakan ruang terbuka hijau memadai, memperluas peluang usaha, serta meningkatkan layanan fasilitas umum.
Ketidakadilan ruang sosial, memaksa warga menghabiskan waktu, energi, dan biaya perjalanan yang semakin mahal dari pinggiran/luar kota menuju tempat kerja di pusat kota.
Ketiga, tanah dapat dijadikan sebagai objek reforma agraria. Tidak semua lahan di kota harus dikapitalisasi secara ekonomi. Peran dan fungsi ekologis lahan kota secara berkelanjutan juga harus dikedepankan.
Reforma agraria hijau perkotaan diwujudkan dalam bentuk penyelesaian permasalahan lingkungan di perkotaan. Misalnya, banjir, krisis air bersih, pencemaran udara, sampah dan limbah, kampung kumuh, serta permukiman padat.
Penyediaan tanah untuk pengelolaan lingkungan diperoleh dari tanah telantar, yang telah diidentifikasi Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, pemerintah daerah, atau dari sumber lain.
Keempat, reforma agraria perkotaan dapat diwujudkan dalam bentuk alokasi tanah untuk permukiman (hunian vertikal) kelompok rentan secara sosial-ekonomi. Mereka adalah masyarakat berpenghasilan rendah, orang lanjut usia, penyandang disabilitas, kelompok pekerja, dan generasi milenial.
Pemerintah perlu menata kawasan padat dan kumuh, mengonsolidasi tanah, mengembangkan kawasan terpadu, menyediakan tanah untuk perbaikan, atau pelestarian lingkungan seperti tempat pengolahan sampah dan limbah.
Pemerintah perlu menata kawasan padat dan kumuh, mengonsolidasi tanah, mengembangkan kawasan terpadu, menyediakan tanah untuk perbaikan, atau pelestarian lingkungan seperti tempat pengolahan sampah dan limbah.
Pemerintah daerah dapat mengalokasikan tanah untuk ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air (pengendali banjir), paru-paru kota (penyerap pencemaran udara), ruang interaksi warga (kesehatan jiwa-raga), dan kebun pertanian (ketahanan pangan lokal).
Kelima, hak kemerdekaan berkota dikembangkan berdasarkan asas kebersamaan, kebebasan, kesetaraan, harga diri, dan keadilan sosial bagi semua (anak-anak, orang lanjut usia, penyandang disabilitas).
Seluruh lapisan warga kota didorong untuk berpartisipasi aktif mendapatkan keadilan tata ruang dan tata kelola lingkungan kehidupannya, serta bersama-sama meningkatkan kualitas kehidupan kota lestari.
Kota lestari ialah kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota-wilayah, seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota.
Kota harus merawat semangat pluralisme sosial, partisipasi warga yang setara, serta terobosan inovasi, dan kreativitas yang tinggi. Kolaborasi antarwarga beragam latar belakang sosial-budaya adalah energi utama keberhasilan membangun kota lestari.
Kota harus merawat semangat pluralisme sosial, partisipasi warga yang setara, serta terobosan inovasi, dan kreativitas yang tinggi.
Kita perlu mendesak pemerintah untuk mengembangkan kota sedang, kota kecil, hingga desa menjadi layak huni dan berkelanjutan sebagai wujud kemerdekaan berkota.
Program revitalisasi desa dan pinggiran kota diharapkan mampu menambah infrastruktur serta memperbanyak lapangan pekerjaan baru. Kawasan itu perlu dilengkapi fasilitas modern yang setara dengan kota besar agar bisa pulih dan bangkit lebih cepat, serta dapat berkembang lebih baik.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Upacara 17 Agustus Pertama di Istana Merdeka
Pada 17 Agustus 1950, bendera pusaka untuk pertama kalinya berkibar di halaman Istana Merdeka.
SELENGKAPNYAKartini di Mata Agus Salim dan Buya Hamka
Kartini kemudian meminta anggaran beasiswa untuknya dialihkan seluruhnya kepada Agus Salim.
SELENGKAPNYA