
Kabar Utama
Dampak Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan
Perubahan iklim berdampak sangat luas dan multisektoral, mulai dari bencana alam hingga ketahanan pangan.
JAKARTA – Presiden Joko Widodo memerintahkan seluruh jajarannya melakukan berbagai langkah antisipasi menghadapi dampak dari perubahan iklim. Ancaman tersebut kian nyata seiring banyaknya data yang menunjukkan perubahan iklim semakin mengkhawatirkan sekaligus mengancam ketahanan pangan global.
Presiden Jokowi mengatakan, perubahan iklim berdampak sangat luas dan multisektoral, mulai dari bencana alam hingga ketahanan pangan. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), lebih dari 500 juta petani usaha kecil yang memproduksi lebih dari 80 persen sumber pangan dunia merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
“Hati-hati, ini persoalan yang sangat serius, perlu penanganan yang komprehensif, perlu antisipasi sedini mungkin, secepat-cepatnya, dan sebaik-baiknya,” ujar dia dalam Rapat Koordinasi Nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Rakornas BMKG) 2022, di Jakarta, Senin (8/8).
Menurut mantan wali kota Solo itu, dunia saat ini tengah menghadapi tantangan perubahan iklim dalam kondisi kritis. Data World Meteorological Organization menyatakan, indikator perubahan iklim dan dampaknya di tahun ini pun semakin menunjukan perburukan. Karena itu, penanggulangan perubahan iklim akan menjadi isu prioritas dan juga tantangan global setelah meredanya pandemi Covid-19.
“World Meteorological Organization menyatakan indikator perubahan iklim dan dampaknya di tahun 2021 makin memburuk, di mana tujuh tahun terakhir telah menjadi tujuh tahun dengan suhu terpanas. Kondisi ini menjadi tantangan nyata bagi kita,” kata Jokowi.
Dia menegaskan, dampak dari perubahan iklim yang terjadi sangat serius. Pemerintah, kata dia, perlu memiliki kebijakan dan sistem yang teruji dan tangguh untuk menjamin ketahanan pangan secara merata dan berkesinambungan, serta sistem peringatan dini ketika bencana akan terjadi.
Menurutnya, BMKG memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkannya, khususnya terkait monitoring prediksi dan peringatan dini kondisi cuaca serta iklim ekstrem. “Ini sangat membantu untuk perumusan strategi pencegahan dan penanggulangan,” kata dia.
Jokowi pun menginstruksikan BMKG untuk mengidentifikasi risiko iklim dan dampaknya secara menyeluruh. Selain itu, ia juga meminta BMKG mengidentifikasi dan melakukan adaptasi terkait kondisi ini, serta meningkatkan kapasitas SDM dan peralatan untuk permodelan cuaca dan iklim yang menggabungkan informasi dari teknologi satelit.

“Memperkuat layanan informasi BMKG dan literasi terutama di wilayah pertanian dan perikanan sehingga petani dan nelayan bisa mengantisipasi terjadinya cuaca ekstrem. Perluas cakupan forum sekolah lapang iklim dan sekolah lapang cuaca nelayan sehingga bisa memberi dampak signifikan,” ujar dia.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, fenomena perubahan iklim berakibat pada semakin meningkatnya frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem. Menurut dia, dampak perubahan iklim secara nyata dapat mengancam kedaulatan pangan nasional. Sebab, kondisi ini akan mengganggu kegiatan pertanian dan perikanan, bahkan mengancam produktivitas hasil panen dan tangkap ikan.
Dwikorita mengatakan, fenomena perubahan iklim menyebabkan sering terjadinya banjir, longsor, banjir bandang, badai tropis, puting beliung, hingga kekeringan. Berbagai kejadian ekstrem dan bencana hidrometeorologi ini juga dikhawatirkan mengganggu ketahanan pangan serta dapat berakibat pula pada terganggunya kedaulatan pangan.
Karena itu, BMKG memaksimalkan sekolah lapang kepada petani maupun nelayan dalam mengantisipasi cuaca dan iklim ekstrem yang dapat berdampak kepada kegiatan pertanian maupun kegiatan melaut. Sekolah lapang BMKG didesain untuk memfasilitasi literasi petani dan nelayan tentang pemanfaatan info BMKG dalam mendukung kegiatan pertanian dan perikanan secara lebih adaptif, produktif, dan tangguh.
“Pengenalan cuaca dan iklim bagi para petani dan nelayan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman petani dalam mensiasati metode dan waktu tanam agar tidak gagal panen,” ujar Dwikorita.
Selain itu, dia berharap para nelayan juga dapat menyiasati waktu dan penentuan target zona tangkap ikan agar hasil tangkapan lebih produktif dan tetap terjaga keselamatan.
Batas kritis
Dwikorita mengatakan, saat ini perubahan iklim telah berada pada batas kondisi kritis dan dampaknya semakin serius. Laju kenaikan suhu dalam 42 tahun terakhir telah mencapai rata-rata 0,02 derajat Celcius hingga 0,443 derajat Celcius per dekade di wilayah Indonesia. BMKG pun menganalisis dan memproyeksikan kenaikan suhu akan terus terjadi jika tidak dilakukan mitigasi perubahan iklim.
“Kenaikan suhu udara akhir abad ke-21 dapat sampai 3 derajat Celcius atau lebih di seluruh Indonesia apabila kita tidak berhasil melakukan mitigasi perubahan iklim,” kata Dwikorita.
Selain itu, Dwikorita mengatakan, dampak perubahan iklim menjadi salah satu penyebab terjadi sejumlah bencana di Tanah Air. Ini karena semakin meningkatnya frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan, dampak perubahan iklim telah nampak dengan terjadinya bencana hidrometereologi basah dan kering dalam waktu bersamaan di suatu daerah. Bencana hidrometereologi basah di antaranya seperti banjir, banjir bandung, maupun tanah longsor. Sedangkan hidrometereologi kering seperti kekeringan dan kebakaran hutan.
Suharyanto mengatakan, dampak fenomena perubahan iklim juga semakin terasa di wilayah Indonesia. BNPB menilai, tantangan pengurangan risiko bencana ke depan akan semakin kompleks. Sehingga, diperlukan langkah-langkah antisipasi yang semakin terintegrasi antara BNPB dan BMKG.
“Perlu penguaan koordinasi dan kerja sama dari hulu yang menjadi domain BMKG hingga ke hilir yang menjadi ranah BNPB akan terus kita perkuat sehingga visi besar resiliensi bangsa yang berkalnjutan dapat segera kita wujudkan,” kata Suharyanto.
Tangkapan Nelayan Turun 30 Persen
Cuaca ekstrem mengakibatkan gelombang tinggi di sejumlah daerah di Jawa Barat (Jabar) berpengaruh pada produktivitas nelayan. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat (Jabar) Hermansyah, akibat gelombang tinggi, nelayan susah melaut sehingga hasil tangkapan ikan jauh berkurang.

“Hasil tangkapan nelayan turun 20-30 persen saat ini. Karena sekarang cukup ekstrem, beberapa kali peringatan BMKG dan pekan ini lebih diwaspadai nelayan harus lebih berhati-hati,” ujar Hermansyah, di Bandung, Senin (8/8).
Hermansyah mengatakan, produksi ikan tangkap Jabar totalnya sebanyak 1,6 juta ton, termasuk budi daya. Dari jumlah tersebut, hasil ikan tangkapnya hanya sekitar 280-300 ribu ton. “Jadi budi daya masih unggul karena ikan tangkap ini hanya di beberapa kabupaten yang punya pesisir dan waduk,” kata dia.
Saat ditanya tentang prediksi Bank Indonesia (BI) terkait potensi ikan di Jabar wilayah selatan yang belum termanfaatkan optimal, dia menyebut ada potensi 1,2 juta ton per tahun, tapi baru dimanfaatkan 11 ribu ton. Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, menurut dia, akan ditambah alat tangkap dan perahu nelayan serta memperbaruinya. Sebab, saat ini perahu nelayan relatif kecil.
Cuaca ekstrem yang terjadi di Jabar tersebut merupakan salah satu dari dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan memprediksi, lapisan es atau gletser di Puncak Jaya, Pegunungan Jayawijaya, Papua, akan mencair pada 2025-2026. Prediksi ini berdasarkan riset BMKG sebagai dampak perubahan iklim dan kenaikan laju suhu secara terus-menerus.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, gletser di Puncak Jayawijaya berdasarkan hasil riset BMKG saat ini, hanya tinggal kurang lebih 2 kilometer (km) persegi atau satu persen dari luas awannya, yakni sekitar 200 km persegi. Dia mengingatkan, saat ini perubahan iklim telah berada pada batas kritis yang akan menjadi tantangan besar bagi Indonesia.
Dia menjelaskan, laju kenaikan suhu dalam 42 tahun terakhir telah mencapai rata-rata 0,02 derajat Celsius hingga 0,43 derajat Celsius per dekade di wilayah Indonesia. Tertinggi mencapai 0,47 derajat Celsius terjadi di Kalimantan Timur. Dia mengatakan, kenaikan suhu udara permukaan global telah mencapai 1,1 derajat Celsius dibandingkan masa pra-industri pada 1850 hingga 1900.
Dia melanjutkan, BMKG juga mencatat dampak perubahan iklim mengakibatkan semakin hangatnya suhu muka air laut di perairan Indonesia hingga mencapai suhu 29 derajat Celsius, pada saat terjadi La Nina Moderat dan badai tropis Seroja. Selain itu, kenaikan muka air laut global termonitor pula mencapai 4,4 mm per tahun pada periode 2010-2015, lebih tinggi lajunya jika dibandingkan periode sebelum 1990-an, yaitu sebesar 1,2 mm per tahun.
Begitu juga, periode ulang anomali iklim El Nino dan La Nina juga semakin pendek dari lima hingga tujuh tahun pada periode 1950-1980, menjadi hanya dua hingga tiga tahun selama pascaperiode 1980 hingga saat ini. Menurut Dwikorita, seluruh fenomena tersebut juga berakibat pada semakin meningkatnya frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Panik Sebelum Serangan Jepang
Oleh Jepang, orang-orang Belanda yang berusia 18 tahun ke atas dimasukkan ke kamp.
SELENGKAPNYABom Atom dan Kemerdekaan Indonesia
Bertekuk lututnya balatentara Jepang tak banyak diketahui bangsa Indonesia karena semua radio disegel.
SELENGKAPNYA