
Khazanah
Haji dan Internalisasi Tauhid
Persaksian tauhid tersebut semakin jelas ketika para hamba berthawaf tujuh kali putaran.
DIASUH OLEH USTAZ DR AMIR FAISHOL FATH; Pakar Tafsir Alquran, Dai Nasional, CEO Fath Institute
Ayat berbunyi, “Wa atimmul hajja wal umrata lillahi” menunjukkan makna bahwa ibadah haji dan umrah harus dilaksanakan sesempurna mungkin. Tidak saja dari segi pelaksanaan sebagai ritual fisik, tetapi juga dari segi pemaknaan.
Banyak hamba Allah yang datang ke Tanah Suci hanya dapat menjalankan ritual fisiknya, sementara pemaknaan ibadah tersebut tidak diraih. Akibatnya, setelah pulang ke negerinya, mereka kembali berbuat zalim.
Kata perintah “atimmu” (sempurnakanlah) mengandung dua makna, pertama, adalah seorang hamba belum dianggap lengkap melaksanakan syariat sebelum melaknsakan ibadah haji bila ia mampu. Seakan dikatakan: “Wahai hamba-Ku yang mampu, sempurnakanlah syariat yang telah engkau lakukan dengan menjalankan ibadah haji.”
Makna kedua, seakan diakatakan: “Wahai hamba-Ku sempurnakanlah ibadah hajimu, tidak saja hanya menjalankan ritualnya secara fisik, tetapi juga menjiwai maknanya sehingga keyakinanmu akan kebesaran Allah semakin kokoh.”
Inilah makna “lillah” (karena Allah) pada ayat di atas, yaitu seorang hamba dalam menjalankan ibadahnya kepada Allah, termasuk ibadah haji, harus disempurnakan dengan jiwa ikhlas karena-Nya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Innallaha laa yanzhuru ilaa ajsaamikum wa laa ilaa shuwarikum wa laakin yanzhuru ilaa quluubikum. (Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh dan penampilanmu, tetapi Ia melihat kepada hatimu).” (HR Muslim).
Jadi, tidak cukup dalam menjalankan ibadah haji kecuali harus dipastikan bahwa niat yang mengantarkannya benar-benar “lillahi” (karena Allah). Suatu cerminan tauhid dan kepatuhan total hanya kepada-Nya.
Semakin kuat ketika para hamba melepaskan baju kebanggaan dengan mengenakan kain ihram. Lalu, berangkat menuju miqat. Dari miqat mereka memucapkan talbiyah yang intinya persaksian tauhid: “Labbaikallahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika. (Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang, mengakui tiada tuhan selain-Mu).”
Persaksian tauhid tersebut semakin jelas ketika para hamba berthawaf tujuh kali putaran, mengitari Ka’bah Baitullah, lalu bersai antara bukit Shafa dan Marwah tujuh kali perjalanan. Puncak tauhid itu adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah. Nabi bersabda: “Al hajju arafah.” (HR Ahmad). Maksudnya, inti ibadah haji adalah wukuf di Arafah.
Imam Izzuddin bin Abdus Salam mengatakan, “Bahwa seorang dikatakan ikut haji jika ia ikut wukuf di Arafah. Artinya siapa yang tidak mengikuti wukuf otomatis tidak sah hajinya.”
Ritual melempar jumrah adalah ujung perjalanan haji. Selama empat hari, sejak 10 sampai 13 Dzulhijah ritual jamarat tersebut berlangsung di Mina. Para hamba Allah tidak keluar dari kawasan Mina dengan melakukan mabit di tenda-tenda yang tersedia.
Itu semua tidak hanya sebagai komitmen untuk tidak akan ikut setan, tetapi lebih dari itu untuk mempersaksikan kepatuhan total hanya kepada Allah SWT.
Ihram Kain Persaudaraan
Selama tiga hari itu, ihram akan menjadi kita yang sejati tanpa parfum dan seragam.
SELENGKAPNYASubairi, Setia Menjaga Barang Keperluan Jamaah
Subairi sudah tinggal di Arab Saudi hampir seperempat abad.
SELENGKAPNYA