Santri Gontor putri mengibarkan bendera merah putih | Youtube

Opini

Pengalaman di Gontor: Dapur Jalan Hidupku

Di Gontor aku bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia yang memperkaya wawasan kulinerku.

RIFKA RAHMA WARDATI; Alumnus KMI Pondok Modern Darussalam Gontor 2000

 

“Pondok pesantren tidaklah identik dengan dunia kuliner.” Demikian ungkap sebagian orang. Dan akulah salah satu yang tidak menyetujuinya. 

Namaku Rifka Rahma Wardati. Orang biasa memanggilku Vicka. Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara. Jujur, sejak kecil aku memiliki kebiasaan yang bisa dibilang unik dan mungkin tidak lazim untuk anak seusiaku. Aku suka bahkan sangat nyaman mengamati kegiatan yang biasa dilakukan orang dewasa. Seperti mengamati kegiatan tetangga yang notabene banyak pedagang cincau dan dawet ayu, pun menemani dan membantu masak.

Aku suka “nimbrung” kala ada tetangga mengadakan walimah, meski hanya untuk membantu kupas bawang saja. Aku merasa nyaman, bahkan aku mampu bertahan lebih dari 1 jam atau bahkan dari awal hingga selesai kegiatan itu, aku masih duduk manis tanpa merasa bosan.

Di keluargaku, tak jarang pula bapak mengajakku kuliner atau masak bersama. Hal itu mungkin terkesan sepele, namun sungguh banyak hal yang aku pelajari dari sosok bapak. Kami memiliki banyak kesamaan hobi. Selain masak, bapak pun sering mengajakku ke pasar. Untuk nengok “simbah” dan budhe yang berjualan ikan asin atau belanja sayur dan bumbu. Dari itu aku banyak belajar cara memilah dan memilih bahan.

Lulus SD, aku mondok di KMI Gontor Putri 1. Dan semua tentang kuliner itu aku anggap hanya sebagai hobi semata. Karena dalam perjalanan hidupku setelah itu, aku lebih banyak terjun di dunia yang melibatkan fisik.

Entah mengapa, kala Dianpinru dan Dianpinsa, kelompokku selalu meraih nilai tertinggi untuk lomba memasak. Pengalaman lain yang kudapat adalah paskibra dan di puncak karir sebagai Ankulat. Hidup di Koord seakan mengakomodir hobiku di dapur. Tak jarang, aku dan teman-teman membuat nasi goreng untuk menemani lembur membuat pionering atau memasak untuk kegiatan bazar.

Di pondok aku bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia yang memperkaya wawasan kulinerku. Indahnya sebuah ukhuwah, kala salah seorang teman dikunjungi orangtuanya, aku bisa ikut mencicip makanan khas yang menjadi oleh-oleh. Lambat laun, sudah banyak makanan daerah yang pernah kucicipi. 

Selepas dari Gontor Putri, aku melanjutkan kuliah ke UIN Syahid Jakarta. Disana aku memilih kemiliteran mahasiswa sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang dan berorganisasi di IMM Ciputat. Tinggal di asrama IMM mengharuskanku aktif dalam kepanitiaan. Tak jarang aku diamanahi menjadi sekretaris panitia dan lebih banyaknya bagian konsumsi yang mengharuskanku nimbrung masak untuk peserta karena minimnya bugjet.

Sampai pada akhirnya aku menikah dan mempunyai anak. Aku suka bereksplorasi membuat MPASI yang bervariasi untuk anak sulungku. Pun di rumah, semua masakan yang aku buat selalu ludes dan konon sedap walaupun aku tidak menggunakan MSG.

Lambat laun aku mengajar untuk mengisi kegiatan. Waktuku habis di sekolah. Tapi entah tenaga darimana, aku selalu menyempatkan diri untuk memasak dengan porsi banyak untuk sebagian aku bawa ke sekolah karena tau banyak teman-teman yang tidak sempat masak dan sarapan. Teman-temanku sangat paham masakan yang aku buat aman dari MSG.

Hingga di suatu acara dalam kepanitiaan workshop (aku diamanahi sebagai bagian konsumsi), teman-teman memintaku untuk membuat orek tempe. Mereka ternyata tidak lupa dengan masakanku yang kata mereka enak dan beda. Sejak saat itu, banyak teman-teman yang memintaku berjualan orek tempe dan bisa dibilang, ini adalah awal karirku dalam dunia kuliner. Berlanjut dengan pesanan yang semakin banyak, membuatku kuwalahan membagi waktu ngajar dan bisnis.

Alasan inilah yang membuatku memilih resign ngajar dan mulai fokus merintis bisnisku di dunia kuliner. Respon yang positif membuatku semakin bersemangat menjelajah dalam bisnis perkulineran.

Awalnya selain berjualan orek tempe secara online, aku aktif mencari info bazar. Menu andalan yang selalu kubawa adalah dimsum dan bakso. Tak jarang untuk bazar aku harus keluar rumah dari jam 3 pagi, bahkan pulang larut malam.

Lelah itu sudah pasti, namun dengan berbekal ilmu keikhlasan yang selama ini ditanamkan Gontor membuatku tak patah semangat. Hal itu semata karena aku ingin berdikari, berdiri di atas kaki sendiri dan tidak bergantung pada orang lain membangun ekonomi keluargaku.

Anakku 4 dan masih kecil-kecil. Banyak anggaran yang harus aku siapkan untuk mereka. Suamiku aktif dalam sebuah organisasi dakwah dan masih merintis karir. Hal ini membuatku dan suami sepakat dan saling mendukung untuk menjadikan kuliner sumber penghasilan kami. Kami memilih nama Ayya Catering untuk usaha kami, karena sesuai nama anak prempuan kami “Ayya”.

Hingga akhirnya beberapa pelanggan meminta nasi box. Kami tak pernah memilah dan memilih job. Hampir tak ada pesanan yang kami tolak. Semua kami kerjakan berdua meski harus dari pagi ketemu pagi.

Makin hari, makin banyak dan beragam permintaan pelanggan yang harus dipenuhi. Sering karena terlalu nekad, aku bingung dan panik karena menu yang diminta belum pernah aku masak, bahkan melihat wujudya pun belum. Background pendidikanku sekolah agama. Tak ada pendidikan khusus yang kukenyam berhubungan dengan kuliner.

Semua hanya modal percaya diri saja bahwa Rahmat Allah sangatlah luas. Alhamdulillah, aku hidup di zaman digital. Saat butuh resep, aku bisa mencarinya di google sembari memilah dan memilih resep mana yang paling pas.

Sesekali aku pun harus wisata kuliner agar belajar apakah makanan yang kumasak selama ini sudah sesuai standar atau belum. Didukung suami yang memiliki jaringan baik, kami mencari dan mencoba menerima prasmanan dengan bekal ilmu dan alat alakadarnya. Hingga klimaks kebutuhanku menambah dan memperdalam ilmu masakku, aku ikut kelas masak.

Gontor mengajarkanku ukhuwah islamiyah. Aku pun banyak mengambil hikmah dari sebuah ukhuwah. Sungguh benar jikalau ukhuwah membuka pintu rizki. Aku banyak bersilaturrahim dengan senior-senior yang sudah lebih dulu berkecimpung dalam dunia katering. Banyak ilmu yang kudapat. Tidak jarang pula aku diamanahi untuk jadi vendor gubugan event dan wedding.

Selain itu aku pun bergabung dalam sebuah perkumpulan para pengusaha katering yaitu PPJI (Perkumpulan Penyelenggara Jasaboga Indonesia) di Depok. Hikmah tertinggi dari silaturrahim dengan PPJI DPC Kota Depok adalah diberi kesempatan ikut uji kompetensi masak “cook” berstandar dan alhamdulillah lulus.

Bisnisku semakin 'greget'. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajukan test food produk di istana kepresidenan dengan kriteria yang sangat ketat. Aku tak gentar, karena kriteria masakanku tak jauh berbeda dengan yang sudah ditetapkan istana. No pewarna, no penyedap, no pengawet. 'Its me' banget. Majulah karya-karya pamungkasku ke hadapan penguji.

Dimsum, pempek, siomay, dan beberapa sample nasi box. Alhamdulillah semua dikategorikan aman dan lolos standarisasi lab kedokteran istana. Dimsum ku sudah beberapa kali menjadi jamuan di rapat kepresidenan; baik di istana Kepresiden Jakarta atau di Istana Bogor. Pengalaman lain dan masih berjalan hingga saat ini adalah menjadi salah satu vendor nasi box untuk Kementrian Kesehatan, Kementrian Pariwisata, dan RSUD Depok. 

Pastinya tak cukup sampai disitu, aku mencoba membuat modul kelas memasak dengan takaran resep yang sudah aku uji sebelumnya. Terciptalah formula sambal dan banyak sekali para ibu rumah tangga yang mulai produktif berjualan sambal setelah mengikuti kelasku. Aku mengisi kelas aneka sambel mulai dari kelas masak di Depok, Jakarta, Bogor, bahkan Bekasi.

Saat ini Ayya Catering masih terus berkembang. Alhamdulillah kami sudah memenuhi banyak permintaan seperti nasi box, prasmanan pernikahan, aqiqah, menu harian pabrik, menu harian rumah tangga, dan lain sebagainya.

Dulu kami tidak berasisten, hari ini asisten kami sudah siap menerima katering event besar dan kecil. Armada mobil hasil jerih payah selama ini pun selalu siap menemani perjuangan kami.

Sepenggal kisah ini menggambarkan, bahwa pendidikan agama tidaklah membatasiku untuk berkarir dan berkarya. Gontor mengajarkanku kebebasan berekspresi, semangat pantang menyerah, serta ikhlas dan tawakal akan hasil yang diterima di manapun aku berada.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Momentum Tak Terlupakan dari Perjalanan Gontor Putri

Gontor menyiapkan para santrinya untuk menjadi kader umat yang siap memperjuangkan kehidupan bernegara, berbangsa dan beragama.

SELENGKAPNYA

Takaranmu Adalah Apa Yang Kamu Cari

Setiap orang yang hendak belajar di Gontor akan ditanyakan, ke Gontor apa yang kau cari.

SELENGKAPNYA

Ruh Pondok Bernama Keikhlasan

Keikhlasan menjadi energi yang mewarnai seluruh aktivitas Pondok Modern Darussalam Gontor

SELENGKAPNYA