Opini
Ruh Pondok Bernama Keikhlasan
Keikhlasan menjadi energi yang mewarnai seluruh aktivitas Pondok Modern Darussalam Gontor
DEVI ANGGRAINI OKTAVIKA; Alumnus KMI Pondok Modern Darussalam Gontor 2004
Akhir November 2011, di lantai teratas bangunan berlantai empat itu, saya menekuri layar komputer dalam hening. Sambil sesekali mengetikkan beberapa kata kunci dan—sesekali pula—kesal karena harus menghentakkan mouse berkabel yang kurang responsif, saya menelusuri halaman demi halaman yang tampil di layar monitor berukuran 16 inci itu.
Dering telepon, diskusi beberapa rekan seputar isu pemberitaan terkini, raungan AC tua yang lelah, dan deru kendaraan yang lalu-lalang di depan halaman kantor mewarnai keheningan itu, tapi saya terlalu serius dan sibuk untuk mengindahkan semuanya. Saat itu, otak saya sedang berjuang untuk fokus pada satu hal: menyusun sebuah tulisan tentang sosok bersahaja sekaligus figur penuh jasa yang sangat saya kenal dan kagumi: KH Imam Zarkasyi.
Setelah beberapa jam berkutat dengan berbagai data, saya mengawali tulisan itu dengan paragraf ini:
Hari itu, dengan menumpang delman, seorang ibu dengan tiga putra kecilnya menembus hutan belantara Ponorogo, Jawa Timur. Mereka tengah memenuhi panggilan seorang bangsawan di Kadipaten Ponorogo. Sepanjang perjalanan, sang ibu tak berhenti bertanya-tanya; untuk apa kiranya mereka dipanggil?
Sampai di kediaman sang bangsawan—yang tak lain adalah kakak ipar sang ibu, ketiga bocah tersebut dipanggil masuk ke dalam sebuah kamar dan diminta membaca ayat-ayat Alquran. Beberapa saat kemudian, bangsawan itu keluar. Ia berpesan pada adik iparnya untuk mendidik ketiga putranya sebaik mungkin, untuk menyelamatkan pesantren yang pernah didirikan leluhurnya.
Mandat itu berubah menjadi sebuah beban di dada sang ibu, yang dibawanya pulang bersama ketiga putra kecilnya. Sang ibu adalah Nyai Sudarmi Santoso, istri pimpinan sebuah pesantren di Jawa Timur. Sang Kiai, Santoso Anom Besari, wafat pada usia yang masih muda. Ketiga bocah kecil tadi adalah tiga putra terkecilnya. Seorang di antaranya bernama Imam Zarkasyi...
Saya terhenyak membayangkan adegan itu, terlebih ketika mendapati bahwa kala itu Zarkasyi kecil berusia kurang dari 10 tahun dan telah menjadi yatim. Sang Ibu pun meninggal tak lama setelah itu, menjadikan Zarkasyi kecil yatim-piatu di usia 10 tahun.
Di usia 26 tahun, Imam Zarkasyi dipercaya menjadi guru sekaligus direktur di Kweekschool, sebuah sekolah guru di Padang Panjang (Sumatera Barat), tempat beliau menimba ilmu. Pada tahun berikutnya, beliau kembali ke Ponorogo, lalu mendirikan Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), dan bertindak sebagai direkturnya—di usia 27 tahun!
Detik itu, saya tersadar, bahwa di samping izin Allah, visi-misi Kiai Zarkasyi bersama dua kakak beliau—K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Zainuddin Fananie—adalah fondasi penting bagi keberlanjutan dan kebermanfaatan Gontor. Visi-misi itu dibangun di atas nilai-nilai yang dikenal sebagai Panca Jiwa Pondok Modern: Keikhlasan, Kesederhanaan, Berdikari, Ukhuwah Islamiyah, dan Kebebasan.
Dalam bahasa Indonesia, “jiwa” didefinisikan sebagai “nyawa” atau “sesuatu/orang yang utama dan menjadi sumber tenaga dan semangat”. Dalam bahasa Sanskerta, jiwa atau jiva berarti “benih kehidupan”.
Saya pernah mengira Pancajiwa yang terpampang di sejumlah sudut Pondok itu tak lebih dari sekadar jargon pemanis untuk memotivasi santri. Baru setelah melihat langsung bagaimana para kiai dan guru di Gontor bergerak dan berjuang dengan nilai-nilai itu, saya menyadari bahwa Panca Jiwa adalah nyawa Gontor yang sesungguhnya.
Dari nilai-nilai yang menghidupkan dan menggerakkan Gontor selama ini, Keikhlasan adalah nilai yang, bagi saya, paling menakjubkan. Ia melahirkan karakter yang luhur dan mengakar di lingkungan Gontor: mengabdi tanpa pamrih, menghidupi tanpa menuntut penghidupan, berjasa tanpa meminta balas jasa. Nilai itu pula yang mendorong para pendiri Gontor untuk mewakafkan Gontor—beserta seluruh asetnya—untuk umat Islam.
Dari keikhlasan, lahir kesederhanaan. Tak heran, tak ada kiai Gontor yang hidup bergelimang harta. Tak ada pula santri Gontor yang mendapat fasilitas khusus selama nyantri, sekalipun ia anak orang paling terpandang di muka bumi ini. Semua santri tinggal di asrama dengan fasilitas sederhana, memakai seragam yang sama, dan harus antre untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Sanksi? Tak ada pilih kasih untuk segala bentuk pelanggaran di sana.
Perihal itu, K.H. Hasan Abdullah Sahal mengatakan bahwa Gontor sejak dahulu selalu menerapkan prinsip tajarrud dalam pengelolaan dan pola tadarruj dalam pembinaan. Tajarrud berarti “melepaskan diri dari segala bentuk ketamakan duniawi dan kepentingan-kepentingan selain ridha Allah”, dan tadarruj berarti “bertahap, step by step sesuai sunnatullah di alam semesta”—sebagaimana dikutip oleh Ustaz Ahmad Suharto dalam Senarai Kearifan Gontory.
Lantas, bagaimana Trimurti dapat membangun fondasi itu sedemikian kokohnya hingga mampu bertahan selama hampir seabad lamanya? Menurut saya, pendidikan karakter yang kokoh dan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diimplementasikan dalam keluarga Kiai Santoso Anom Besari adalah salah satu kunci keberhasilan itu. Karenanya, kehilangan ayah dan ibu di usia belia tidak menghalangi Trimurti muda untuk tumbuh menjadi ulama panutan umat.
Maka, sebagian kita mungkin tidak dilahirkan dari keluarga pesantren, tidak mewarisi nama besar ataupun aset orang tua, atau tidak pula menyandang status terpandang di tengah masyarakat. Namun, masing-masing kita memiliki kesempatan untuk mendidik dan mewariskan nilai-nilai luhur Islam; bagi keluarga kita, bagi anak-keturunan kita, bagi anak-anak yatim yang kita santuni, bagi siapapun yang menanti peran kita.
Masing-masing kita harus mengambil peran, sekalipun di lingkup masyarakat terkecil bernama keluarga. Dan, ketika kita telah ber-azzam untuk menempa anak didik kita menjadi pejuang sekaliber Trimurti, saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri: “Sekaliber siapa kita dalam hal keikhlasan?”
“Kalau kamu ingin mengetahui sesuatu, ajarkanlah sesuatu itu kepada orang lain. Karena, hakikat mengajar adalah belajar.” – K.H. Imam Zarkasyi
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Politik Santri di Tengah Gempuran Sekularisme
Santri dan pesantren kerap menjadi rujukan bagi elemen masyarakat dalam pencarian solusi permasalahan hidup berdasarkan Islam.
SELENGKAPNYACyberdakwah: Inspirasi Society 5.0 dari Rasulullah
Cyberdakwah menggambarkan kegiatan dakwah umat melalui penguasaan teknologi informasi.
SELENGKAPNYAMenyemai Benih Takwa di Lombok Utara
Gempa bumi tak menyurutkan tekad Arif dan Tias membangun pendidikan dan dakwah Islam di Lombok Utara.
SELENGKAPNYA